Resensi

Ranah 3 Warna, Sebuah Kisah dari Trilogi Negeri 5 Menara

Ranah 3 Warna, novel kedua dari Trilogi 5 Menara karya A. Fuadi. (Sumber foto: Tokopedia)

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Judul buku      : Ranah 3 Warna
Penulis            : Ahmad Fuafi
Tebal buku      : 416
Penerbit          : Gramedia
Tahun terbit     : Januari 2011

SKETSA - Novel dengan 51 bagian ini adalah buku kedua dari Trilogi 5 Menara, di mana sebagian cerita dalam novel ini terinspirasi dari pengalaman sang penulis. Novel ini menceritakan tentang Alif (karakter utama pada novel trilogi) yang menghadapi lika-liku untuk menempuh kuliah setelah menyelesaikan pendidikannya di Pondok Modern Gontor.

Di mana bagian 1 diawali dengan aktivitas memancing di tepi danau Maninjau yang dilakukan oleh Alif dan Randai, sahabat sekampungnya. Randai sedang libur panjang dari ITB dan Alif baru menyelesaikan pendidikannya di Pondok Madani. Waktu yang pas untuk menghabiskan waktu bersama.

Walaupun Alif mengakui kerinduannya akan kebersamaan mereka, tapi ada perasaan getir yang dia rasakan untuk bertemu Randai.

”Eh, Alif, jadi setelah tamat pesantren ini, Waang masih tertarik jadi seperti Habibie?”

"Tentulah. Aden akan segera kuliah. Kalau Aden berusaha, ya bisa."

Dalam Bahasa Minang, Wa'ang berarti kamu. Wa'ang biasa digunakan untuk menyapa orang yang sudah sangat dekat. Sedangkan, Aden dalam Bahasa Minang berarti saya. 

Sebelumnya Alif sangat yakin kalau ia bisa menggapai impiannya layak Habibie, belajar sampai ke Amerika. Tapi karena pertanyaan Randai, ia jadi memikirkan bagaimana cara untuk meraih impiannya. Melihat dirinya sekarang menangkap ikan danau saja tak mampu.

Tak berhenti di situ, mulut Randai terbuka lagi bersiap meluncurkan pertanyaan lainnya. Kuliah di mana setelah pesantren, "Emang bisa Wa'ang ambil kuliah umum, kan tak punya ijazah SMA?" Rentetan tanya yang menikam, membuat Alif gamang.

Ayah Alif mungkin yang paling mengerti, tentang kekalutan putra sulungnya itu. Sesuai yang dijanjikan sebelumnya saat Alif berniat keluar dari Pondok Madani karena di sana tidak mengeluarkan ijazah, bahwa ayah akan menguruskan segala keperluan yang dibutuhkan untuk mendapatnya ijazah melalui ujian persamaan. 

Kepada Alif, ayah memberikan formulir pendaftaran ujian persamaan. Tak lupa, juga mengatakan bahwa ujian akan berlangsung 2 bulan lagi.

Alif cukup terkejut mengetahui waktu yang dimilikinya tak banyak, 2 bulan untuk mempelajari materi kelas 10-12. Apa cukup, dan lagi belajar dari awal karena semasa di pondok materi yang diajarkan berbeda dengan SMA. Pelajaran seperti matematika tentu ada, tapi tentu tak sebanding dengan yang di SMA.

Alif kembali membesarkan hati, meneguhkan niat, dan meyakinkan diri kalau dirinya pasti mampu. Mulai dengan mendatangi beberapa kawan guna meminjam catatan SMA mereka guna belajar untuk persiapan ujian persamaan dan UMPTN (sekarang SBMPTN). Selagi meminjam Alif mendapatkan banyak pandangan, mulai dari pandangan kasihan, prihatin, dan bahkan sampai meremehkan.

Ada juga yang melontarkan pertanyaan. "Waang, Lif? Mau coba UMPTN? Emang sekolah kamu di SMA mana?" Ada juga yang bilang, "Aden aja dari SMA favorit, ndak tembus UMPTN, berat benar. Mending daftar D3 persaingannya kurang dan cepat untuk dapat kerja." Alif tak memberi kata tanggapan, walau hati tak terima juga. Hanya dibalas senyum kecut saja. Alif bertekat bahwa ia akan membuktikan dengan kelulusannya.

Setelahnya Alif mengunci diri di kamar, niat hati ingin khusyuk belajar. Ada tiga bukit buku yang menanti jamahan tangan dan tatapan matanya. Baru 20 menit, matanya sudah berat dan otaknya tak menangkap maksud dari buku yang dia baca. Tak ingin menyerah, dia mencoba buku yang lainnya. Dan masih tak paham juga otaknya. Dipanggilnya Randai untuk mengajarinya maksud dari apa yang tertulis pada buku. 

Tetap tak membantu, kapur yang digunakan patah jadi 3 karena kesal dan frustasinya dengan Alif yang tak kunjung paham. Sampai Randai berujar, bahkan jika Alif belajar selama 1 tahun pun, tetap tak akan bisa. Mampukah Alif menggapai cita-citanya agar bisa lulus ujian persamaan dan melanjutkan studinya ke jenjang perkuliahan?

Novel kedua A. Fuadi ini sangat menginspirasi dan memotivasi, tak sedikit pembaca yang rela mengulang membaca novel sampai berkali-kali karena pesan moralnya. Culture Minang, menjadi ciri khas dari novel karya A Fuadi ini. Karena terinspirasi dari pengalaman pribadi sang penulis, membuat kesan nyata semakin membuat pembaca termotivasi. (ycp/els)



Kolom Komentar

Share this article