Resensi

1 Kakak 7 Ponakan: Kisah Haru Perjuangan Generasi Roti Lapis

Kisah yang menyentuh tentang perjuangan seorang pemuda

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar: Instagram sanjufufu

SKETSA – Film layar lebar berjudul “1 Kakak 7 Ponakan” yang tayang sejak 23 Januari 2025 lalu memuat pesan haru yang disajikan melalui cerita bernuansa keluarga. Dipadukan dengan fenomena sandwich generation atau generasi roti lapis yang lekat dengan masyarakat saat ini.

Diperankan oleh Chicco Kurniawan (Moko) dan Amanda Rawles (Maurin), film ini mampu mengalirkan air mata penonton. Berdurasi dua jam sebelas menit, film ini berpusat pada Moko yang menjadi kakak bagi empat keponakannya.

Hidup di rumah sederhana bersama tiga keponakan remaja dan satu bayi perempuan, Moko harus memikul tanggung jawab sebagai sosok tertua di rumah. Ia rela mengorbankan sekolah S2 yang diimpikannya demi mengurus anak almarhum kakaknya.

Bermula dari kakak iparnya yang meninggal akibat serangan jantung, disusul kakak perempuan yang meninggal pasca melahirkan, Moko bertanggung jawab atas hidup keponakan-keponakannya. Siang malam ia mengurus bayi ditambah keharusan mencari pekerjaan, Moko berjuang demi kelangsungan hidup yang layak.

Quarter life crisis atau masa krisis menggelayuti hidupnya hingga ia mengambil keputusan untuk mengakhiri hubungan dengan Maurin. Moko merasa Maurin dapat menempuh hidup lebih baik dan meraih cita-citanya sendiri, tidak seperti dirinya yang harus mengurus rumah. 

Di perjalanannya melewati masa itu, Moko berhasil mendapat pekerjaan yang layak. Namun, kebahagiaan belum berpihak pada mereka. Setelah mendapat pekerjaan yang layak, Moko bertransformasi menjadi mesin uang bagi kakak dan suaminya dengan kedok mengurus seluruh keponakannya.

Dua orang dewasa yang seharusnya membantu Moko dalam mencari nafkah justru membebaninya dengan berbagai kebutuhan rumah tangga. Keadaan Moko yang ikut serta membiayai kedua “keponakan tambahan” menggambarkan perannya sebagai generasi roti lapis.

Menyaksikan usaha keras Moko berhasil membuat penonton merasa sedang bercermin, utamanya bagi mereka yang merasa senasib. Meskipun bukan melihat Moko sebagai diri sendiri, penonton turut merasakan kekhawatiran menjadi beban bagi orang tua atau kakaknya.

Bertemakan isu keluarga yang menyedihkan, film ini tidak hanya membuat penonton meneteskan air mata. Film ini juga membawa tawa dari tingkah lucu beberapa tokoh di dalamnya. 

Meskipun film ini sudah memasuki kata sempurna, terdapat detail yang sedikit mengganggu penonton, terutama yang berpengalaman di bidang arsitek. Beberapa detail dianggap terlalu dangkal bagi tokoh Moko yang merupakan lulusan jurusan tersebut, contohnya tulisan tangan yang tidak khas layaknya seorang arsitektur.

Film “1 Kakak 7 Ponakan” sukses menyadarkan kita bahwa tidak ada perasaan terbebani bagi anggota keluarga yang saling peduli dan memberi kasih secara tulus.

Jadi, kapan kamu ingin menyaksikan perjuangan Moko? (mlt/myy)



Kolom Komentar

Share this article