Resensi

Psycho: Standar Tinggi Horor Klasik

Psycho: Standar Tinggi Horor Klasik

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar: Google

Sutradara: Alfred Hitchcock

Pemeran: Anthony Perkins, Janet Leigh, Vera Miles, John Gavin, Martin Balsam

Musik: Bernard Herrmann

Sinematografi: John L. Russell

Distribusi: Paramount Pictures

Genre: Psychological Horror

Rilis: 8 September 1960

SKETSA - Nama Alfred Hitchcock mungkin agak sedikit asing di telinga masyarakat saat ini. Namun untuk penggemar horor atau thriller, Alfred yang dikenal sebagai "The Master of Suspense" adalah seorang tokoh yang telah menciptakan standar tinggi bagi sebuah film horor.

Psycho adalah salah satu karyanya yang paling terkenal. Diangkat dari novel berjudul sama karya Robert Bloch, kisah dalam film ini sebenarnya cukup sederhana. Penonton akan diajak mengenal seorang wanita yang menarik bernama Marion Crane (Janet Leigh) dan pacarnya yang telah beristri, Sam Loomis (John Gavin). Sadar akan affair yang mereka lakukan, Sam berjanji pada Marion untuk menceraikan istrinya dan segera meminangnya. Mereka kemudian berjanji untuk bertemu kembali setelah pekerjaan Marion usai.

Ketika kembali ke kantor, Marion kemudian digoda oleh salah satu klien bosnya, yang kemudian menitipkan uang sangat banyak padanya. Uang tersebut kemudian diminta sang atasan untuk segera dimasukkan ke bank. Mengiyakan bosnya, Marion segera menyimpan uang tersebut. Dan dengan alasan sakit, ia minta izin untuk pulang lebih awal dari kantor.

Sampai di kediamannya, Marion tak tahan dengan uang sebanyak itu. Dengan niat liciknya, ia segera berkemas dan kabur membawa uang tersebut. Ia kemudian berkendara menuju tempat tinggal Sam di Fairvale, California.

Saat merasa dirinya telah berada jauh, ia menepi dan tidur sebentar di dalam mobilnya. Di tengah tidurnya, seorang polisi datang dan mengetuk kaca mobilnya. Ia terbangun dan kaget sebab takut ketahuan. Nyatanya, sang polisi hanya meminta SIM Marion untuk diperiksa dan memintanya segera keluar dari jalur tersebut karena tidak diperbolehkan menepi.

Dengan terburu-buru, ia segera pergi dari jalur tersebut. Namun, sang polisi yang menaruh curiga akhirnya mengikuti Marion di sepanjang perjalanan. Marion yang semakin takut akhirnya mengambil jalur lain dan memisahkan diri dari sang polisi. Tak lantas merasa aman, ia segera menepi di sebuah dealer mobil dan mendesak sang pemilik untuk menjual mobilnya dan menukarnya dengan yang baru.

Setelah akhirnya berhasil mendapatkan mobil baru, ia segera melaju ke luar kota tanpa diikuti polisi tersebut. Dalam perjalanan, ia mendengarkan saluran radio, namun terbayang-bayang dengan aksi yang ia lakukan. Ketika hujan turun dengan deras, tanpa sadar dirinya telah berada jauh dari kota dan merasa lelah.

Ia kemudian melihat sebuah plang nama dipinggir jalan yang bertuliskan Bates Motel. Karena tak ada pilihan lain, ia segera memasuki jalan tersebut dan sampailah dirinya di motel tersebut.

Ternyata, motel ini dikelola oleh seorang pria bernama Norman Bates. Ia memiliki perawakan yang tinggi namun kurus, serta kepribadian yang agak aneh dengan selera humor yang sedikit dipaksakan. Ia terlihat sangat tertarik dengan Marion.

Karena ingin 'mengenal' Marion lebih dekat, maka Norman menawarkan makan malam kepadanya. Namun saat Norman kembali ke rumahnya untuk meminta izin sang Ibu, dia ditentang atas inisiatifnya ini. Marion lantas merasa tak enak.

Dengan sedikit paksaan, akhirnya Marion mengikuti Norman untuk makan bersama di kantornya, tepat di sebelah kamar yang disewakan untuknya. Sambil duduk, Norman bercerita bahwa ia tinggal bersama ibunya yang overprotective dan pemarah. Ibunya tinggal di rumah mereka yang berada di bukit belakang motel ini.

Karena semakin lelah dan bosan menanggapi cerita Norman, Marion lantas pamit untuk beristirahat dan membersihkan diri. Setelah keluar dari ruangan kantor, ia bergegas mengeluarkan barangnya serta menyembunyikan uang curiannya ke dalam sebuah koran dan melipatnya.

Ia lalu melucuti semua pakaiannya dan pergi menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Tanpa ia sadari, Norman ternyata sedang mengintipnya dari lubang kecil di balik dinding kantornya. Saat Marion hendak mandi, ia kemudian menghilang dari kantornya.

Senang karena akhirnya dapat melepas penat, Marion kemudian mandi dengan riang. Ia bahkan tak mendengar derit pintu kamarnya yang terbuka, diikuti langkah kaki seseorang, yang kemudian membuat dirinya menemui ajalnya. Bagian inilah yang membuat Psycho menjadi terkenal dan ikonik. Di mana Marion berteriak histeris saat seseorang yang misterius menusuknya berkali-kali secara sadis hingga mati. Ini dijuluki sebagai 'the shower scene' yang legendaris.

Setelah Marion 'menghilang' tanpa kabar, saudarinya Lila Crane (Vera Miles) berusaha mencarinya. Ia merasa panik, takut, serta tertekan dengan kantor Marion yang merasa ditipu. Tahu bahwa penemuannya nihil, ia lantas mendapat bantuan seorang detektif swasta bernama Milton Arbogast (Martin Balsam), yang ternyata disewa untuk mencari jejak Marion.

Di sisi lain, Sam bertemu dengan Lila dan menjadi khawatir akan keberadaan Marion, entah nyawanya terancam ataupun sebagai buronan. Ia dan Lila akhirnya hanya bisa menunggu kabar dari sang detektif terkait investigasi tersebut.

Lalu, berhasilkah Milton menemukan Marion? Apakah akhirnya uang tersebut ditemukan? Lantas seperti apakah aksi Norman Bates sang pemilik motel? Semua akan terjawab pada akhir film ini.

Klasik Tak Murahan

Meski masih berskala hitam putih, film ini tak lantas menjadi biasa saja. Dengan kepandaiannya meramu sebuah plot, Alfred berhasil menyajikan film ini dengan kelas yang berbeda. Dengan alur tak tertebak dan twisted, ia berhasil menjebak penonton untuk menebak-nebak siapakah pelaku pembunuhan Marion.

Tak luput akting dari Anthony Perkins sebagai Norman Bates yang patut diapresiasi. Karena perannya inilah yang menggiring emosi serta mengundang goosebump dari siapapun yang menyaksikannya.

Unsur yang tak kalah penting adalah scoring atau musik film yang digubah oleh Bernard Herrmann. Atas karyanya, Psycho menjadi sangat menarik dan mendebarkan. Untuk shower scene, ia menggunakan string instrument yang membuat bagian tersebut menjadi lebih kelam dan intens.

Meski Psycho kemudian dibuat menjadi series, film ini tetaplah 'tonggak' utama dari kisah seorang Norman dengan motelnya yang misterius. Dengan budget yang sangat minim yakni $806,947 ribu (setara dengan Rp11 juta/lebih), film ini meraih box office dengan total pendapatan $50 juta (atau setara Rp683 juta/lebih).

Film ini juga mendapat empat nominasi di Academy Awards (Oscar), termasuk Best Director untuk Alfred Hitchcock dan Best Supporting Actress untuk Janet Leigh.

Berani untuk memacu jantung saat menontonnya? (len/rst)



Kolom Komentar

Share this article