Resensi

Perjalanan Menghargai Kehidupan dalam The Hours of My Life

Resensi bergenre melodrama.

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Judul: The Hours of My Life

Genre: Melodrama, Romantis

Waktu Tayang: 8 Januari – 19 Maret 2014

Sutradara: Hayama Hiroki, Joho Hidenori

Pemain: Haruma Miura, Tabe Mikako, Saito Takumi

Episode: 11

SKETSA – Mencari pekerjaan sebelum resmi lulus kuliah merupakan fenomena yang sering ditemui di kehidupan mahasiswa. Selain untuk mempersiapkan diri, mendapatkan pekerjaan tentunya bisa melatih agar bisa mandiri dan menjadi penopang dari segi finansial. Inilah yang dilakukan oleh Sawada Takuto, seorang mahasiswa tahun keempat yang kesulitan mencari pekerjaan.

Selain kesulitan mendapat pekerjaan, ia yang merupakan anak pertama dari seorang direktur rumah sakit di Tokyo juga mendapat tekanan untuk mengikuti jejak ayahnya dan menjadi dokter. Ketatnya persaingan para pencari kerja di Jepang tak membuat Takuto patah arang. Bersama sahabatnya Mizushima Mamoru, ia terus mencari pekerjaan yang memungkinkan dan mempersiapkan dirinya sebaik mungkin.

Suatu hari saat interview perusahaan berlangsung, Takuto menolong seorang gadis yang ikut dalam interview tersebut dengan melindungi dirinya. Gadis bernama Hongo Megumi tersebut mengejar Takuto untuk berterima kasih, namun Takuto hanya menjawab bahwa yang ia lakukan sekadar membangun image baik di hadapan perusahaan.

Melaju ke beberapa waktu kemudian, Takuto kembali bertemu dengan Megumi yang ternyata satu fakultas dengannya. Keduanya saling menyapa dan mengabarkan bahwa masing-masing dari mereka tak mendapatkan pekerjaan tersebut. Ingin melepas penat, mereka kemudian pergi ke pantai untuk piknik singkat. Saat di pantai, mereka saling mengutarakan keinginan untuk menjadi seseorang yang mandiri dan bertanggung jawab dengan keputusan apapun yang akan diambil. Setelah mengobrol panjang, Takuto dan Megumi memutuskan untuk berteman dekat.

Setelah melalui hari-hari bersama dan berakhir sebagai sepasang kekasih, Takuto akhirnya mendapatkan pekerjaan di sebuah perusahaan bernama Miyamae Furniture. Sayangnya, Megumi yang turut melamar tidak menerima kabar yang sama. Meski perbedaan pandangan terhadap pekerjaan tetap dan pekerjaan sementara—yang Megumi jalani sejak kuliah—tak dapat dihindari, mereka mencoba untuk saling mendukung satu sama lain.

Hingga sebuah cobaan yang mengubah hidup mereka datang dan begitu menyakitkan. Tak lama setelah Takuto mulai bekerja, ia mulai merasakan sesuatu yang aneh dengan tangan kirinya. Saat bermain futsal bersama teman-temannya, kaki kirinya juga tak dapat menopang tubuhnya dengan kuat hingga ia jatuh. Berusaha mengabaikannya, Takuto tetap menjalani aktivitasnya seperti biasa. Suatu hari, saat sedang mandi, ia sadar bahwa tangan kirinya tak lagi terasa, meski dia sedang memakai sampo.

Dirinya yang semakin khawatir mulai mencari tahu tentang keadaan tangannya. Dengan terkejut, ia menemukan sebuah artikel yang menyebutkan bahwa dirinya mengalami gejala awal dari sebuah penyakit bernama Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS). Penyakit ini tak ada obatnya, dan membuat penderitanya mengalami kelumpuhan perlahan-lahan hingga meninggal dunia.

Setelah membulatkan tekad, ia menemui seorang dokter untuk memeriksakan keadaannya. Ketakutan terbesarnya pun terjadi, sebab ia benar menderita ALS, dan akan terus lumpuh seumur hidupnya. Dalam kekalutannya, ia mencoba untuk tetap bertahan hidup. Salah satu keputusan terberatnya pun ia ambil, yakni memutuskan hubungan dengan Megumi agar ia dapat tetap bahagia tanpa dirinya yang sakit-sakitan.

Lantas, seperti apa Takuto menjalani hari-harinya sebagai pengidap ALS? Bagaimana dengan pekerjaan dan hubungannya dengan Megumi?

Bukan Alasan Menyerah

Pada umumnya, beberapa orang menjadi kurang percaya diri dan takut untuk menjalani hidup ketika mendengar dirinya mengidap penyakit mematikan. Hal ini juga tak luput dari diri Takuto. Namun, dengan segala keterbatasannya yang sangat menyulitkan, ia berjuang untuk tetap hidup dan beradaptasi dengan penyakitnya. Bahkan ketika akhirnya sebagian tubuhnya tak berfungsi, ia masih dapat bermain bola dengan kursi roda elektrik dan ikut perlombaan. Ia juga masih tetap bekerja di perusahaan, bahkan berniat kembali mengenyam pendidikan di jurusan kedokteran.

Di sini kita dibawa untuk menelusur lebih jauh dengan sudut pandang penderita ALS, bagaimana keadaan mereka seringkali menjadi beban di lingkungan mereka. Dapat dikatakan, The Hours of My Life merupakan sebuah kisah yang realistis sebab tak banyak kejutan-kejutan ala keajaiban yang seringkali terjadi di plot semacam ini.

Dengan kecepatan alur yang santai dan tak terburu-buru, penonton akan lebih nyaman untuk menyaksikan kisah ini dengan lebih seksama. Singkat kata, tokoh Takuto menggambarkan betapa keinginan hidup seorang pengidap penyakit akut sangat besar dan membuatnya lebih hidup dan berdamai dengan dirinya sendiri.

“Tujuanku? Tujuanku adalah menemukan tujuan,” begitulah Takuto berseru akan hidupnya. Ia mempersiapkan dirinya untuk berbagai tujuan hidup yang ia rancang, sesuai dengan tingkat keparahan penyakitnya. Menginspirasi, bukan? Sangat cocok untuk ditonton bersama keluarga, atau bagi kamu yang sedang mengalami patah semangat. (len/wil)



Kolom Komentar

Share this article