Resensi

Perfect Blue: Metamorfosis dalam Krisis Identitas

Mima, publik figur yang mengorbankan ranah privasinya.

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar: Pinterest

Sutradara: Satoshi Kon

Pengisi Suara: Junko Iwako, Rica Matsumoto, Shiho Niiyama, Masaki Okura

Produksi: Madhouse

Musik: Masahiro Ikumi

Genre: Psychological-thriller

Durasi: 81 menit

Rilis: 5 Agustus 1997 (Fantasia Festival), 28 Februari 1998 (Jepang)

SKETSA – Jika mendengar kata idola, apa yang akan terpikirkan oleh Anda? Serba bisa, pandai menyanyi serta akting, bersikap manis, dan digemari banyak orang. Namun, benarkah seorang idola semata-mata hanya figur hiburan bagi masyarakat, sementara ia mengorbankan waktu, pikiran, dan kehidupannya untuk menjadi sosok yang selalu sempurna? Mari kita menelusuri kisah Mima Kirigoe, seorang mantan idola yang memutuskan untuk mengejar kariernya sebagai aktris.

Mima adalah salah satu member dari grup idola Jepang bernama CHAM! yang cukup sukses mempertahankan eksistensi mereka dan memiliki banyak penggemar. Di tengah kesuksesan tersebut, ia memilih untuk mundur dari profesi idolanya dan memutuskan untuk menjadi full-time aktris. Dalam perjalanannya, Mima didampingi oleh manajernya sekaligus mantan idola pop, Rumi Hidaka dan pemilik agensinya, Tadokoro.

Tak menunggu lama setelah mundurnya ia sebagai idol, sebuah tawaran berupa peran pendukung datang untuknya. Atas keputusan bersama antara dirinya dan manajer serta pemilik agensi, ia menerima peran pertamanya dalam sebuah drama televisi bertema detektif berjudul Double Bind. Meski Mima berusaha untuk mengembangkan dirinya, tak sebagian orang menganggap ini sebagai hal yang baik.

Beberapa penggemarnya merasa kecewa dengan perubahan drastis yang terjadi pada persona Mima: seorang remaja polos yang menyenangkan, berubah menjadi aktris dengan peran suram dan dewasa. Perubahan ini sangat mengganggu seorang stalker pria berwajah seram yang menjadi penggemar setia Mima (bahkan menyebut dirinya sebagai Me-Mania). Pria ini digambarkan sebagai seorang fanatik yang mengikuti seluruh kegiatan Mima, baik kegiatan profesional maupun kegiatan pribadi.

Suatu malam ketika hendak beristirahat, Mima menerima telepon dari ibunya. Saat ia bercakap-cakap mengenai kemundurannya sebagai idola, tiba-tiba dirinya mendapatkan panggilan telepon lainnya. Ketika ia mengangkatnya, tak terdengar suara apapun. Mengiranya hanya salah sambung, ia kembali berbicara kepada ibunya lalu menyudahi telepon dan melanjutkan kegiatan. Tidak lama kemudian, mesin faksimilenya berbunyi dan sebuah selebaran bertuliskan “pengkhianat”. Mima kaget dan mulai ketakutan.

Hari syuting perdananya datang keesokan harinya. Sambil melatih dialognya, Rumi sang manajer membaca sebuah surat penggemar dan menyerahkannya kembali kepada Mima. Dalam surat tersebut, si penggemar menyarankan Mima untuk membuka suatu situs dengan forum bernama “Kamar Mima” atau “Mima’s Room”. Dalam forum tersebut, terdapat diari yang dapat dilihat secara publik dan berisi segala tentang keseharian Mima dalam perspektifnya, di mana cerita-cerita tersebut terasa sangat nyata, akurat dan begitu mendetail. Karena kepikiran, ia meminta Rumi untuk menemaninya melihat forum tersebut, namun Rumi meminta Mima untuk mengabaikannya saja.

Saat bagian Mima siap untuk di-shoot, sang sutradara bersama penulis naskah drama datang ke lokasi syuting. Melihat hal ini, Tadokoro sebagai pemilik agensi memohon agar bagian Mima dalam drama ini lebih diperbanyak agar perannya lebih menarik. Setelah sang sutradara berkelakar bahwa ia akan mempertimbangkannya, sebuah surat diberikan kepada Tadakoro agar disampaikan kepada Mima―yang nampak seperti surat penggemar. Malang, surat itu meledak ketika Mima akan mengucapkan dialognya. Tadakoro terluka cukup parah, namun syuting tetap harus berlanjut.

Pulang ke rumah, ia dan Rumi memutuskan untuk melihat forum mencurigakan tersebut. Mima yang asing dengan internet, mencoba memperhatikan penjelasan Rumi terkait forum tersebut. Setelah sang manajer pulang, Mima mencoba mengakses sendiri forum tersebut. Semula, ia menganggap betapa aneh dan lucunya cerita-cerita yang benar-benar terjadi padanya tersebut. Sampai ia sadar, betapa mengerikannya hal ini, karena sama sekali tak ada yang terlewatkan dalam kesehariannya―seperti seolah memang dialah yang menulis semua cerita tersebut.

Di lain sisi, Tadokoro rupanya berhasil melobi sutradara dan penulis naskah untuk menambah peran Mima menjadi lebih “penting” dalam drama ini. Namun, naskah tersebut memuat adegan di mana karakter yang diperankan Mima menjadi korban pemerkosaan di klub striptease. Tadokoro, terutama Rumi khawatir jika hal ini dapat mempengaruhi image Mima yang sudah ia bangun selama menjadi idola. Meski Mima juga meragukan naskah tersebut, ia tetap menerimanya dan berusaha meyakinkan kedua orang tersebut bahwa ia akan melakukan yang terbaik.

Ketika syuting adegan tersebut dilaksanakan, terlihat betapa cemasnya Tadakoro dan Rumi yang melihatnya langsung di depan mata mereka. Selama syuting berlangsung, Mima memang diperlakukan baik dan profesional. Sayangnya, atmosfer dan pelaksanaan adegan pemerkosaan tersebut membuatnya mengalami pengalaman traumatik―ia mulai menyesali tindakannya yang mundur dari aktivitas idola, takut akan adanya seorang stalker, dan terobsesi oleh siapa yang menulis segala kegiatannya di “Kamar Mima”.

Ia mulai tak bisa membedakan kenyataan dari pekerjaannya sebagai aktris. Mima lalu “melihat” bagian dirinya yang lain: dirinya yang berwujud sebagai idola, polos, dan dicintai banyak orang. Sosok ini membuatnya semakin meragukan dirinya sendiri, tenggelam dalam paranoia serta ketakutan yang mengerikan. Sementara itu, berbagai orang yang berhubungan dengan “berubahnya” image Mima di masyarakat satu per satu mulai terbunuh. Dimulai dengan kematian sang penulis naskah hingga Tadokoro sang pemilik agensi. Apa yang sebenarnya terjadi?

Krisis yang Nyata

Melihat berbagai kejadian yang dialami Mima, tak bisa dipungkiri bahwa kehidupannya sebagai public figure sangat memengaruhi kesehatan mentalnya. Secara sadar, ia menginginkan pengalaman baru dalam hidupnya―tantangan baru untuk meningkatkan kemampuannya. Tetapi, tentu saja ia tak bisa mengenyahkan pandangan orang lain terhadap pilihannya, terutama para penggemarnya. Ini karena dirinya secara alamiah ingin “didukung” dan “diapresiasi” atas kerja kerasnya. Sayangnya, pengalaman traumatik yang ia alami juga berbagai kritik mengenai langkahnya dalam menjadi aktris menjadi beban psikologis. Di mana ia mengalami psychotic disorder, yakni gangguan mental yang membuatnya merasa “lepas” dari kenyataan.

Meski bukan ditulis oleh sang sutradara―Satoshi Kon, Perfect Blue patut diapresiasi karena dibawakan sangat apik. Seperti kebanyakan karya Satoshi, garis antara kenyataan dan khayalan sangat kabur sehingga penonton perlu memperhatikan setiap kisahnya dengan baik. Dengan musik yang cukup disturbing pada bagian-bagian kritis, film ini juga diikuti dengan sinematografi yang cukup baik―mengingat Perfect Blue rilis pada tahun 1997.

Yang menarik, meski film ini menyebut kata “biru” pada judulnya, tak ada kontras biru yang menonjol dalam berbagai adegan. Hampir semua bagian dari Perfect Blue didominasi warna merah, yang mencerminkan kegigihan, emosi, sensualitas, dan pertumpahan darah. Namun, frasa biru tersebut bisa diinterpretasikan sebagai perasaan melankolis, sedih yang mendalam, dan keadaan stres atau depresi. Ini sesuai dengan keadaan yang dialami Mima, terutama saat-saat menyedihkan ketika ia meragukan karirnya. Adapun istilah ini juga terkenal untuk menyebut unsur sinematik yang mengandung pornografi atau erotisme. Lagi-lagi, frasa ini tercerminkan perspektif Mima, di mana sebagai aktris ia mengalami kesulitan dan mengalami trauma ketika menjalani adegan pemerkosaan.

Dapat disimpulkan, Perfect Blue ingin menyampaikan betapa sulitnya kehidupan public figure juga bagaimana mengerikannya ketika seseorang sangat terobsesi dengan idolanya. Tak luput, penggunaan internet yang kian mencekal kehidupan pribadi mereka sehingga kesulitan untuk “berpegangan” pada kewarasan. Tertarik untuk menyaksikannya? (len/rst)



Kolom Komentar

Share this article