Menyelami Patriarki di Industri Rokok dalam Serial Gadis Kretek
Perjuangan wanita pada industri kretek 60an
- 21 Nov 2023
- Komentar
- 1044 Kali
Sumber Gambar: Instagram @base.id
SKETSA — Seberapa tertariknya kamu dengan industri rokok? Serial orisinal Netflix, Gadis Kretek mengambil latar 1960-an mengenai industri kretek sembari mengajak penonton turut merasakan aroma kretek dibalut kisah romansa. Menggunakan premis seorang wanita yang ingin membuat saus (inti kretek), tetapi terhalang anggapan bahwa wanita tidak boleh memasuki ruang saus.
Diangkat dari novel berjudul sama, Gadis Kretek diterbitkan oleh Gramedia Pustaka pada 2012 dengan Ratih Kumala sebagai pengarangnya. Disutradarai oleh Kamila Andini dan Ifa Isfansyah, serial Gadis Kretek resmi rilis di Netflix pada 2 November 2023 lalu.
Menggunakan alur maju-mundur, Gadis Kretek menceritakan Lebas (diperankan oleh Arya Saloka), pewaris perusahaan rokok DR yang mencari wanita bernama Jeng Yah (diperankan oleh Dian Sastrowardoyo) atas suruhan ayahnya yang sedang sakit keras. Lebas mendatangi museum kretek untuk mendapatkan petunjuk dan di sana ia bertemu dengan Arum (diperankan oleh Putri Marino) yang ternyata mengenal Jeng Yah.
Pencarian Jeng Yah membawa Lebas dan Arum menapaki perjalanan industri kretek pada zaman orde baru dan membuka tirai masa lalu keluarga. Jeng Yah tertarik dengan dunia kretek, ketertarikan itu melahirkan keinginan untuk membuat saus yang merupakan inti dari kretek.
Sayangnya, keinginan tersebut terhalang mitos yang mengatakan jika wanita berada di ruang saus akan mengubah rasa rokok menjadi masam. Di tengah keinginannya tersebut, Jeng Yah bertemu Raja, ayah Lebas (diperankan oleh Ario Bayu) yang membantu mewujudkan keinginannya membuat saus.
Jeng Yah membuktikan bahwa wanita bisa membuat saus. Bersama Raja, ia berhasil membuat varian kretek baru dengan campuran mawar. Sering bertemu, membuat benih cinta tumbuh di antara keduanya. Jeng Yah dan Raja pun berencana menikah. Namun, beberapa hari sebelum pernikahan, terjadi penangkapan terhadap pemberontak dari partai merah. Kala itu, partai merah atau partai komunis turut mendirikan pabrik kretek. Meski tidak menjadi bagian dari partai, Raja sempat menjalin kerja sama, yang membuat namanya masuk ke dalam daftar. Raja berhasil kabur, tetapi Jeng Yah tertangkap dan dibawa ke penampungan.
Raja yang ingin membebaskan Jeng Yah justru tertipu oleh saingannya sendiri. Sampai pada akhirnya ketika Jeng Yah dibebaskan, Raja telah menikah dengan perempuan lain. Jeng Yah kemudian memutuskan menikah dengan orang lain. Di akhir cerita, terungkap bahwa Arum yang membantu Lebas mencari Jeng Yah ternyata anak dari Jeng Yah sendiri serta perintah ayah Lebas untuk mencari Jeng Yah, didasari rasa bersalah karena telah meniru racikan saus milik Jeng Yah dan menyaingi kretek buatan mereka sendiri.
Gadis Kretek memperlihatkan posisi wanita dalam industri kretek yang dipandang sebelah mata oleh kaum laki-laki, yaitu wanita hanya boleh melinting rokok. Tidak ada tempat bagi wanita untuk meracik saus. Kondisi tersebut menggambarkan patriarki pada zaman itu, terutama yang dilakukan oleh laki-laki pekerja pabrik kretek.
Usaha Jeng Yah untuk mewujudkan keinginannya menggambarkan ideologi feminisme dalam series ini. Jeng Yah berusaha untuk melawan mitos bahwa keberadaan wanita mengubah rasa rokok menjadi masam dengan membuat varian kretek yang lebih enak.
Lima episode dengan durasi kurang lebih satu jam setiap episodenya, tidak membuat saya sebagai penonton merasa jenuh. Penyajian jalan cerita dengan premis yang menarik, penggarapan yang matang serta didukung akting pemainnya yang bagus, membuat series ini layak mendapat apresiasi.
Perlahan, penonton dibuat merasakan kerasnya persaingan industri kretek. Hal apapun akan dilakukan untuk menjatuhkan pesaingnya, tidak peduli seberapa kejam dan liciknya. Menuju akhir cerita penonton akan merasa kaget sekaligus kasihan dengan nasib keluarga Jeng Yah dan Raja.
Pergantian scene antara masa lalu dengan masa sekarang ditampilkan dengan sangat halus, teknik pengambilan gambar juga dilakukan dengan sangat baik, serta penggambaran detail dengan jarak sangat dekat saat Jeng Yah meracik saus melekat di ingatan saya sebagai scene yang sangat apik.
Menggunakan warna yang berbeda untuk menggambarkan perbedaan masa lalu dengan masa sekarang, sangat bijak dipilih untuk membuat penonton mengerti pergantian scene dalam perjalanan cerita.
Hanya saja, saya pribadi merasa penyelesaian masalah terlalu berlarut-larut di akhir. Episode terakhir sebagai jawaban atas setiap pertanyaan justru dijawab dengan alur yang sangat lama. Meski begitu, rasa penasaran penonton dijawab penuh pada akhir cerita.
Ideologi feminisme yang diselipkan dalam cerita nampaknya masih sangat relevan dengan keadaan saat ini. Upaya Jeng Yah melawan patriarki di pabrik kretek memberikan semangat pada wanita-wanita saat ini untuk memperjuangkan impian dan mewujudkan keinginan besar mereka. Terutama apabila itu menyangkut kepentingan bersama. (mlt/ems)