Resensi

Lagom: Sebuah Cara Hidup Optimal dan Berkelanjutan Ala Swedia

Lagom dipandang sebagai cara hidup masyarakat Swedia dan punya nilai sejarah sejak era kaum Viking

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber gambar: lidbahawares.com

SKETSALagom adalah sebuah kata yang kerap dikaitkan dengan Swedia. Kata tersebut dipandang sebagai cara hidup masyarakat di sana dan punya nilai sejarah sejak era kaum Viking. Solidaritas kelompok dan nilai yang diyakini secara personal itu membentuk kata Lagom menjadi penafsiran berupa cukup, pas, tidak kurang tidak lebih. Kata ini juga kerap diyakini sebagai kondisi optimal seseorang yang tentu dapat berbeda ukuran satu dengan yang lain.

Lagom yang bukan merupakan ilmu pasti, kini bermanifestasi menjadi sebuah tata cara untuk melakukan atau meyakini sesuatu baik secara terlihat maupun tidak. Lagom akhirnya memoderasi masyarakat Swedia dari tindakan yang ekstrem. Di buku inilah, Lola A. Akerstrom menjabarkan bagaimana Lagom menjadi bagian hidup masyarakat Swedia yang secara konsisten menjadi negara dengan indeks kualitas hidup tertinggi.

Dalam buku ini, Lagom dijelaskan lewat banyak aspek kehidupan. Mulai dari makanan, pakaian, dekorasi, pekerjaan, uang, hingga alam. Jika masyarakat di belahan dunia lain menyanjung produktivitas tinggi, maka Lagom berupaya mencegah keekstreman yang bisa jadi berujung pada hustle culture ini.

Swedia telah lama mengaplikasikan tradisi Fika, di mana saat bekerja lumrah bagi mereka mengambil jeda satu hingga tiga kali untuk istirahat di luar ruang kerja. Alasan di balik mengapa Fika ada ialah sebagai bentuk penyeimbang dan upaya terhubung kembali dengan diri sendiri, kolega dan keluarga.

Lagom juga meyakini bahwa tak perlu detoks atau healing apabila sehari-harinya kita sudah bisa menghindari ketegangan. Mulai dari menyederhanakan pilihan untuk sarapan pagi, memilih pakaian untuk beraktivitas bahkan membeli barang yang hanya kita butuhkan. 

Hal rutin tersebut membantu kita terhindar dari telat bekerja yang bisa berujung pada tidak fokus, rasa tertekan, boros atau terlilit utang. Lagom meyakini bahwa manusia perlu bertindak sepantasnya dan tidak berlebihan dalam suatu keputusan. Tentu saja kebijakan ini akan membawa kita pada ekuilibrium.

Pada tataran kelompok, Lagom memposisikan diri agar kita tak merasa lebih baik dibanding orang sekeliling kita. Sebenarnya, hal ini didasarkan pada pertimbangkan kesamarataan, keadilan dan tidak mendominasi agar solidaritas kelompok tetap terjaga. Tak heran apabila di samping kebaikan Lagom, ada Jante yang kerap bermanifestasi jadi keraguan untuk tampil mencolok dan eksis dibanding dengan yang lain.

Lagom memang punya sisi gelapnya, yakni hadirnya Jante. Namun, jika diartikan dengan baik, Lagom dan Jante beriring untuk menghindari kesenjangan yang begitu jauh. Agar setiap orang memiliki kesempatan untuk berkembang dan tetap memberi kenyamanan pada kelompok.

Hal unik lainnya dari Lagom yang tergambar di buku ini ialah bagaimana keterhubungan masyarakat Swedia dengan alam. Hidup berkelanjutan sudah jadi bagian penting di sana. Hak setiap warga untuk mendapatkan akses terhadap alam maupun lingkungan yang berkualitas tak dapat dikesampingkan. Ini berkaitan dengan prinsip yang dipegang soal ekuilibrium atau keseimbangan yang telah dijelaskan sebelumnya. Terlebih alam menjadi elemen penting yang dibutuhkan manusia dalam menjalankan aktivitasnya.

Buku Lagom ini telah diterjemahkan ke berbagai bahasa dan cocok untuk kamu yang butuh mengambil jeda dengan mempelajari referensi budaya dari masyarakat negara lain, dalam hal ini Swedia. Buku ini juga ditulis oleh Lola, yang telah tinggal di tiga benua. Kini ia mendedikasikan dirinya menjadi fotografer perjalanan, dan telah mendapat berbagai penghargaan. Salah satunya dari Society of American Travel Writers. Tertarik mempelajari Lagom lebih jauh dalam buku ini? (rst/fzn)



Kolom Komentar

Share this article