Resensi

Cinta Kasih Ayah dalam Buku Ayahku (bukan) Pembohong

Resensi buku Tere Liye

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar: Istimewa

Judul Buku: Ayahku (bukan) Pembohong

Pengarang: Tere Liye

Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama

Tahun Terbit: 2011

Tempat Terbit: Jakarta

Tebal Buku: 304 halaman

SKETSA - Ada banyak cara dan pilihan untuk mendidik dan membesarkan buah hati. Menjadi orang tua adalah pekerjaan yang tak berkesudahan. Jika salah mendidik, besar kemungkinan anak akan tumbuh dengan penyimpangan baik secara internal atau eksternal.

Lain hal dengan keluarga Dam yang bersahaja. Dam, anak yang dibesarkan oleh ayah dan ibu yang mendidiknya dengan kesederhanaan. Ayahnya selalu hadir bercerita untuk Dam, agar Dam mengerti nilai-nilai kehidupan. Kisah Si Nomor Punggung Sepuluh, Apel Emas, atau Suku Penguasa Angin selalu terendap di otaknya semakin ia beranjak dewasa. Kehidupan sekolahnya dibumbui oleh beberapa teman yang suka mengejeknya pengecut atau keriting—karena rambut yang dimilikinya—namun ibu selalu berpesan agar sabar serta ayah selalu hadir dengan cerita sarat makna untuk menenangkan hati Dam.

Ketika SMA, orang tuanya mengirim Dam ke Akademi Gajah, sekolah asrama yang turut mewarnai masa remaja Dam. Di Akademi Gajah, ia beberapa kali melanggar aturan yang membuatnya diingat oleh staf, baik guru, penjaga perpustakaan, sampai kepala sekolah. Setiap semester Dam pulang ke kampung halaman. Semester pertama dijemput oleh ibu dan ayahnya di terminal. Tahun pertama Dam diliputi rasa bahagia dan rindu saat bertemu ayah ibunya. Satu hal yang disorotnya, yakni kesehatan ibunya.

Dam selalu ingin ibunya mendapat perawatan maksimal di rumah sakit. Ibu dan ayah selalu menolak, berkata bahwa dengan bahagia ibu akan baik-baik saja. Semakin dewasa, Dam mulai mempertanyakan cerita ayahnya. Ketika bertanya tentang nyata tidaknya cerita ayah, air muka ayah berubah.

Hingga Dam mulai tak selera mendengar cerita-cerita itu. Sampai pada ibu jatuh sakit, dan Dam bersikukuh agar ibu dirawat, ayah harus menjamin keselamatan ibu. Malam sebelum ibu pergi, ayah lagi-lagi ingin mengulang cerita. Dam muak serta setelah kepergian ibu, Dam dan ayahnya semakin dalam relasi yang canggung. Dam dewasa adalah seorang arsitek dengan dua anak bernama Zas dan Qon. Istrinya adalah teman lamanya di SMP.

Lama tinggal sendiri di rumah itu, ayah Dam dibujuk menantunya untuk tinggal bersama mereka. Dam sebenarnya tak pernah suka ayahnya tinggal di rumahnya. Karena ayah pasti akan bercerita dan memengaruhi Zas dan Qon. Seperti ia saat kecil dulu. Bagi Dam, cerita khayal ayah tidak pantas lagi di zaman sekarang. Dam selalu merasa berkuasa penuh untuk mendidik kedua anaknya. Kebenciannya pada cerita ayah, selalu mengingatkan akan kepergian ibunya beberapa tahun silam.

Sampai pada satu waktu, pertengkaran ayah dan Dam terjadi. Dam menyuruh ayah untuk kembali tinggal di rumah sendiri agar tak memengaruhi Zas dan Qon dengan cerita-cerita bohong. Ayah tersinggung dan bersedih. Berkata akan tinggal sendiri, dan kapanpun ingin menjenguk pintu rumah akan selalu terbuka. Merasa sedih akan pertengkaran kakek dan ayahnya, Zas dan Qon memeluk kakek membujuk agar kakeknya tetap tinggal bersama mereka. Keputusan Dam sudah bulat.

Besoknya, ayah Dam dikabarkan jatuh sakit. Malam setelah meninggalkan rumah itu, ayah Dam ziarah ke makam sang istri. Jalan menuju pemakaman licin dan ayah Dam tergelincir hingga harus dilarikan ke rumah sakit. Mendapat kabar demikian, Dam mulai merasa bersalah. Ingatannya membawa pada memori saat ia harus kehilangan ibu. Dam lekas bergegas bersama istri dan kedua anaknya. Dalam hatinya sangat menyesal dan takut harus kehilangan seperti ia kehilangan ibu dulu.

Di saat mencekam, ayah bangun dari koma dan ingin bercengkrama dengan Dam. Sedang dokter mengimbau untuk tidak terlalu lama bercengkrama, sebab kondisi ayahnya sangat mengkhawatirkan.

Dalam ruangan itu, Dam meminta maaf kepada ayahnya. Ayah membuka cerita, menjelaskan bahwa cerita ayah benar. Ayah tak pernah berbohong sekalipun cerita apel emas dan suku penguasa angin yang terdengar seperti fantasi. Semasa muda, ayah lulusan terbaik luar negeri kemudian bertemu ibu yang seorang artis cantik dan terkenal masa itu di bandara. Pertemuan ayah dan ibu Dam kala itu, diawali dengan tangisan ibu Dam yang divonis sakit berujung pada pemutusan kontrak. Sedangkan ayah Dam yang baru saja mengelana mencari arti kebahagiaan hingga harus berguru pada sufi terkenal.

Di pertemuan kala itu, ayah Dam berujar bahwa kebahagiaan datangnya dari diri sendiri. Dan ibu Dam terenyuh karena sedang mengalami hal yang menyakitkan atas kariernya. Setelah pertemuan itu, mereka menjalin hubungan serius. Ibu Dam meninggalkan popularitas dan belajar menjadi ibu yang baik untuk anak semata wayangnya, Dam. Lahirnya Dam membawa kebahagiaan teramat. Ibu Dam mulai jarang sakit-sakitan. Vonis dokter yang mengatakan ia akan bertahan hanya beberapa tahun, nyatanya tak kunjung nyata. Dua puluh tahun ibu Dam bertahan. Lebih lama dari dugaan. Itu semua berkat kebahagiaan yang datang dari dalam diri sendiri.

Dam memeluk ayah menangis merasa amat bersalah karena menuduh ayah pembohong. Menuduh ayah tak pernah membahagiakan ibu. Padahal, sikap ayah yang membumi dengan cerita-ceritanyalah yang membawa kebahagiaan untuknya dan ibunya. Meski beberapa waktu kemudian ayah telah tiada, Dam amat bersyukur karena telah memercayai ayahnya kembali. Ia menjadi anak yang dibesarkan dengan nilai-nilai kehidupan. (rst/ann)



Kolom Komentar

Share this article