BEM FKIP Bungkam Soal Pungli, Inkonsistensikah?
Pergerakan BEM FKIP dalam memberantas pungli belum sepenuhnya selesai. (Sumber ilustrasi: istimewa)
- 20 Jun 2017
- Komentar
- 2831 Kali
SKETSA – Nada suara Budi (hanya nama samaran) meninggi saat ditanya perihal pungli di FKIP Unmul. Nada suaranya bahkan terus meninggi kala menceritakan runtutan pengalamannya saat jadi korban pungli oknum tertentu. Bukan tanpa sebab, mahasiswa Prodi Pendidikan Biologi ini diminta membayar Rp200 ribu. Besaran itu hukumnya wajib berdasarkan perintah Kaprodi.
Tenangnya suasana FKIP Gunung Kelua saat tak ada jam kuliah membuat nada suara Budi tak menjadi pusat perhatian banyak pihak. Budi terus bercerita, meski sekali dua kali ritmenya terganggu saat beberapa mahasiswa hilir mudik melewati lokasi wawancaranya bersama Sketsa.
Budi merincikan, iuran sebesar Rp200 ribu itu ditarik untuk sumbangan alumni dan membeli proyektor. Sumbangan alumni Rp150 ribu, sedang Rp50 ribu sisanya untuk membeli proyektor. Iuran tersebut tidak untuk satu dua mahasiswa saja, tetapi semua mahasiswa lintas angkatan di Prodi Pendidikan Biologi.
Budi bahkan mendengar isu, mahasiswa di semester sebelumnya juga ditariki iuran serupa. Meski secara spesifik, ia tak tahu nominal pasti dari iuran yang dibayar senior-seniornya terdahulu.
“Dulu tidak tahu berapa, tapi sekarang Rp200 ribu. Kalau Rp150 buat sumbangan alumni, aku tidak tau buat apa. Tapi nanti dikasihnya tiap maju seminar (skripsi)," ucapnya.
Kepada Sketsa, Budi mengungkapkan rangkaian seminar di Pendidikan Biologi sebanyak tiga kali, yakni seminar proposal, hasil, dan pendadaran. Rp150 ribu itulah akumulasinya dan bisa dibayar setiap seminar atau satu kali maju saat seminar terkahir, yaitu pendadaran.
Oleh sebab bersifat wajib, mahasiswa pun tak bisa mengelak. Ada beberapa yang terdengar protes. Namun menurut Budi, jika hanya satu atau dua mahasiswa yang melakukan protes, tidak akan bisa mengubah keadaan.
Keadaan makin diperparah dengan maraknya mahasiswa yang tak mau ambil pusing. Berpikir bahwa jika tidak bayar maka nilai jelek dan urusan akan dipersulit. Hal lain yang membuat mahasiswa makin bungkam adalah karena Kaprodi akan marah kepada mahasiswa yang protes. Sehingga sebagian dari mereka hanya berani menyampaikan pendapatnya ke sekretaris prodi saja.
Budi juga beberapa kali terkena pungli dengan modus berbeda. Di luar iuran Rp200 ribu, ada iuran lain yang mesti dibayarkan mahasiswa ketika ingin mengurus berkas. Hal tersebut dikatakan Budi sebagai syarat agar urusan bisa jauh lebih mulus.
“Ada lagi Rp30 ribu setiap mau ngurus maju seminar. Mulai dari undangan ke dosen, fotokopi proposal, dan tanda tangan dosen diurus ke staf prodi. Kaprodi bilang kalau mau ngurus apa-apa silakan ke staf prodi biar enggak ribet. Memang enggak ribet, tapi aku mengira sudah include, namun aku tanya-tanya ternyata di luar dari iuran Rp200 ribu,” ungkapnya.
Tak cukup sampai di situ, ada pula iuran Rp50 ribu yang harus dibayarkan ke prodi untuk membeli buku petunjuk skripsi. Uang tersebut untuk mengganti fotokopi dan jilidan buku yang diperbanyak oleh prodi, karena pihak fakultas hanya memberikan ke prodi berupa soft file. Pungli pun beranak pinak.
BEM FKIP Kini Terbungkam
Pengakuan Budi saat dimintai iuran sebesar Rp200 ribu di Prodi Pendidikan Biologi menjadi bukti bahwa pungli di FKIP belum benar-benar musnah. Modus pungli yang dilakukan oleh oknum tertentu juga kian beragam jenisnya.
Selain pengakuan Budi, Alif, mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa Inggris juga pernah menyampaikan pengalamannya saat jadi korban pungli oleh oknum dosen. Modus klasik berupa penjualan buku jadi cara oknum tersebut untuk mendapat pemasukan tambahan dari mahasiswa.
Dalam hal ini, BEM FKIP menjadi lembaga paling strategis sebagai pihak yang memposisikan diri memperjuangkan aduan dan keluhan mahasiswa di FKIP, tak terkecuali masalah pungli.
Ikhtiar BEM FKIP di bawah komando Gubernur Rizaldo, tampak beberapa kali menuai kemenangan. Beberapa kasus yang diadvokasi pihaknya mendapatkan respons cepat dari pihak Dekanat FKIP.
Salah satu kasus yang diperjuangkan adalah pengusutan terhadap usaha penjilidan laporan, fotokopi, dan legalisir berbayar yang dilakukan Unit Pelaksana Teknis Praktik Pengajar Lapangan (UPT PPL) beberapa waktu lalu. Karena usaha yang dilakukan UPT PPL tersebut tidak memiliki dasar hukum, BEM FKIP akhirnya mengirimkan surat kepada dekan tertanggal 1 Desember 2016.
Surat itu ternyata direspons cepat. Sehingga, pada 5 Desember 2016, Dekan FKIP mengeluarkan surat pemecatan untuk kepala UPT dan pemindahan tugas dua orang staf. Selengkapnya di sketsaunmul.co ( https://sketsaunmul.co/berita-kampus/bem-fkip-melawan-pungli/baca )
Bertolak dari dua aduan mahasiswa di atas, Sketsa berupaya menjalin komunikasi dengan BEM FKIP guna membahas fenomena pungli yang modusnya semakin beragam dari sudut pandang elemen pergerakan mahasiswa. Namun, Rizaldo enggan angkat bicara.
“Nanti coba kami koordinasikan ya,” balas Rizaldo melalui pesan singkat saat dikonfirmasi 5 Juni lalu.
Namun, sampai berita ini diturunkan BEM FKIP masih terbungkam membicarakan pungli.
Menggali Indikator Pungli
Sejak sistem pembayaran kuliah masih berbentuk SPP, hingga kini bertransformasi jadi sistem UKT, kasus pungli masih saja sering mencuat. Fenomena pungli beberapa kali terjadi di FKIP Unmul. Bahkan fenomena ini juga ada di berbagai kampus se-Indonesia.
Operandi pelaku pungli juga terbilang beragam. Modus paling umum biasanya dengan menjual buku ke mahasiswa. Ada lagi pungutan dengan modus memudahkan mahasiswa mengurus berbagai dokumen, harus membayar jika ingin ikut ujian, iuran membeli proyektor, dan beragam jenis iuran ini itu.
Pungli menjadi kian miris manakala ditujukan sebagai pemulus jalan mencapai nilai yang baik. Nilai bisa dibeli, dengan uang urusan lancar jaya. Ironis, pengajaran mental semacam ini sudah diajarkan kepada calon pendidik Indonesia.
Adapun, cara paling mudah mengkategorikan suatu pungutan itu dikatakan pungli atau tidak adalah dengan mencermati dua hal. Pertama, pungutan tersebut tanpa tanda terima dan tanpa dasar hukum. Namun dalam beberapa waktu, ada saja aturan yang sengaja dibuat baik di tingkat universitas maupun fakultas untuk melanggengkan praktik pungli.
Setiap uang yang disetorkan mahasiswa dan masuk ke kas kampus, haruslah menjadi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Tapi tidak semuanya. Artinya, ketika uang yang kita setor tidak masuk sebagai PNBP, bisa dipastikan pungutan tersebut merupakan pungli.
“Dalam Pasal 3 ayat 2 UU Nomor 20 tahun 1997 tentang PNBP, diatur bahwa setiap PNBP harus diatur dengan undang-undang maupun peraturan pemerintah. Artinya, ketika ada pungutan yang punya dasar hukum, tapi hanya sekadar peraturan rektor, dekan, atau bahkan kajur, hal itu tidak dapat dibenarkan,” tulis Panji Mulkillah Ahmad, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman dikutip dari hukumpedia.
Satu contoh menarik perlawanan mahasiswa terhadap pungli pernah terjadi Desember 2014 di IAIN Purwokerto. Front Mahasiswa Nasional cabang Purwokerto bersama dengan Solidaritas Mahasiswa IAIN Purwokerto (Somasi IAIN) mengusut kasus pungutan bernama Persatuan Orangtua Mahasiswa (POM) di IAIN Purwokerto.
Pungutan yang ditarik sejumlah Rp1.6 juta. Melalui analisis yang jitu hingga pengorganisiran massa yang masif, gerakan mahasiswa kala itu berhasil memenangkan kasus POM. Jajaran Rektorat IAIN Purwokerto mau memenuhi tuntutan mahasiswa, yakni mengembalikan seluruh uang POM kepada mahasiswa.
Kesadaran seluruh elemen mahasiswa dalam menyuarakan kasus pungli perlu digaungkan. Ikhtiar melawan pungli adalah salah satu tindakan melawan korupsi “skala kecil” di lingkungan sekitar kita yang apabila tidak ditindak, maka akan terus ada dan terpelihara. Aduan dari mahasiswa kepada birokrat kampus akan mendorong pembenahan sistem untuk meminimalisir pungli di berbagai kampus, baik di FKIP Unmul maupun kampus lain se-Indonesia. (dan/asr/adn/iki/adl/pil/aml)