Cerita Pungli FKIP, Dosen Punya Backingan dan Hilang Percaya dengan BEM FKIP
Desas-desus pungli hal yang biasa dibicarakan di kampus para pendidik. (Sumber foto: istimewa)
- 20 Jun 2017
- Komentar
- 2373 Kali
SKETSA – Senin petang (5/5) lalu, tampak seorang mahasiswa masih duduk di area kampus FKIP Unmul Pahlawan. Dia masih saja duduk di situ, padahal semua mahasiswa Unmul tahu, sore itu sudah tak ada jam kuliah.
Hujan deras yang baru mereda selepas Ashar membuat udara sekitar terasa segar. Tetapi perbincangan antara Sketsa dengan Alif (hanya nama samaran) soal pungli di FKIP tak begitu.
Cerita Jadi Korban Pungli
Alif sebenarnya sudah sering mendengar desas-desus pungli di kampus para pendidik. Dirinya bahkan sudah familiar dengan isu ini sebelum menjadi mahasiswa. Setelah diterima di FKIP Unmul dan resmi menyandang status mahasiswa, dia yang memilih Prodi Pendidikan Bahasa Inggris itu akhirnya benar-benar menjadi korban pungli.
“Kalau yang saya alami, itu ada beberapa kali,” ucapnya bersiap memulai cerita.
Saat semester awal berkuliah, Alif sudah menemukan indikasi pungli yang dilakukan oknum dosen tertentu. Operandinya klasik dan cenderung berulang: jual buku.
Buku itu ditulis dan diterbitkan sendiri oleh dosen yang bersangkutan. Parahnya, ada unsur pemaksaan dalam proses transaksi jual beli buku tersebut. Mahasiswa cuma bisa pasrah dan takut kalau-kalau nilainya jelek karena ketahuan tidak membeli.
“Mahasiswa disuruh beli (buku). Wajib. Saya pernah ditagih pas pertemuan kuliah sekitar kesepuluh kali. Harus bayar, kalau tidak saya tidak boleh ikut ujian. Akhirnya saya bayar,” ujarnya.
Bukan sekali dua kali peristiwa ini terjadi. Secara keseluruhan, Alif mengaku sudah tiga kali mengalami nahas pungli dosen berkedok jual buku seperti itu. Cara oknum dosen menjaja buku ke mahasiswanya pun cukup sederhana, mengajar di kelas lalu membagikan buku ke seluruh mahasiswa. Beli atau tidak, mereka tetap akan menerima buku. Tak ada celah mereka menolak. Buku yang diterima harus dibayar, sekalipun tidak semua mahasiswa mempelajari isi buku, termasuk Alif.
“Jadi buku itu sistemnya dibagi langsung ke semua mahasiswa. Ya sudah, langsung catat namanya. Yang sudah bayar, ya dicentang-centangin. Saya simpan aja itu bukunya.”
Kejadian serupa kembali dialami Alif saat semester empat. Kali ini, dosen yang menjual buku berbeda dari sebelumnya. Buku tersebut berupa modul, namun isi materinya hanya berupa pemindahan isi internet ke dalam medium lain.
“Saya tahu sumbernya dari mana. Itu diambil dari beberapa sumber, jadi tidak nyambung antara paragraf satu dengan paragraf lain,” kata Alif.
Hitung-hitungan Alif, jika ia memfotokopi sendiri, harga modul hanya berkisar Rp10 ribu sampai Rp12 ribu per modul. Selisih jauh dengan kenyataan harga modul yang dijual dosen yakni Rp35 ribu per modul.
Dosen Punya Backingan dan Tak Percaya BEM FKIP
Alif dan beberapa kawannya sudah sering mendengar kisah dari mahasiswa-mahasiswa terdahulu bahwa kasus pungli sempat terbongkar dan sudah diadukan ke dekan hingga rektor. Namun nyaris semua kasus tak pernah terdengar penyelesaiannya.
Ia memberi gambaran. Prodi Pendidikan Bahasa Inggris, kata Alif, sudah beberapa kali gonta ganti Kaprodi. Alif curiga, Kaprodi bernasib buntung itu sulit diatur oleh oknum dosen pelaku pungli. Bagi Alif, itu sudah jadi rahasia umum.
Ketika Sketsa melempar tanya perihal jabatan oknum dosen tersebut apakah lebih tinggi daripada Kaprodi, Alif menyambar dengan menjawab, “Iya!” singkatnya. Kemudian, ketika ditanya lagi apakah oknum dosen tersebut masih aktif mengajar hingga sekarang, ia kembali menjawab, "Masih.”
“Tampaknya dia memang lebih tinggi dari Kaprodi," ujar Alif. Ia menambahkan, "Kalau memang banyak yang berupaya menangkal pungli, sampai sekarang pun masih terjadi. Makanya saya bilang, dari cerita-cerita seperti itu, dia punya backing-an banyak!” imbunya.
Atas pemikiran itulah, Alif tak tertarik mengadukan kasus itu ke BEM FKIP. Baginya, lembaga sekelas BEM tidaklah kuat, karena mereka juga masih mahasiswa. Siapa pun dia, termasuk Presiden BEM sekalipun masih butuh ijazah yang otmatis masih butuh dosen, sehingga kritik yang mereka lakukan masih belum kuat dan setengah-setengah.
“Jadi saya rasa percuma kalau BEM tahu,” tukas Alif.
Perlawanan Sederhana Ala Alif
Alif melihat, celah paling mudah bagi oknum dosen merawat budaya pungli adalah dengan menjual buku atau modul. Sehingga ia dan beberapa rekannya berinisiatif, tak akan membayar uang buku. Dan, di akhir semester, ia dan beberapa kawannya memilih mengembalikan buku tanpa membayar.
Pada semester sebelumnya, Alif pernah melakukan hal demikian, dan tak mendapati respons apa-apa dari dosen bersangkutan. Karena di semester ini kembali terjadi kasus serupa, maka ia berencana akan melakukan hal serupa juga. Respons oknum dosen sangat dinantikannya.
“Jadi respons kita ya biasa-biasa saja. Kalau memang dia minta bayar, ya kita tidak mau bayar. Bukunya kita kembalikan. Sudah ada tiga dosen yang memaksa membeli buku mereka. Bukunya ada di rumah," jawabnya.
Selama tak dirugikan, Alif tak akan melakukan perlawanan. Namun, jika sudah sampai dilarang ikut ujian dan memengaruhi nilai suatu mata kuliah hanya karena tak membeli buku, dirinya siap melakukan aduan dan memgambil langkah serius.
Ia tak tertarik melaporkan kasus ini ke pihak kampus, tapi ke pihak yang lebih tinggi seperti Saber Pungli. Baginya, kredibilitas Saber Pungli lebih bisa dipercaya ketimbang mengadu ke internal kampus semisal ke pihak dekanat atau rektorat apalagi BEM FKIP. (dan/asr/adn/iki/adl/pil/aml)