Jalan Menuju Tanah dan Penabur Bunga
Kepada cerita di ruang fana, kualamatkan semua afirmasi.

Sumber Gambar: Canva
Kepada cerita di ruang fana, kualamatkan semua afirmasi.
Bermula rundung, gelisah dan yang antah berantah.
Perkara menyangkal nyeri, kita paling bisa.
Membasuh dan bersepakat tak membahas siapa paling sakit siapa paling miris.
Tawa yang terdengar memang tak dibuat-buat, sebab kau tahu cara mengolah perih.
Kepada semua mosaik kualamatkan memori hari itu.
Menyangkal waktu tak bisa membawanya.
Meski sesungguhnya aku belum jadi pemain andal;
yang tahu di mana lahirmu, arti pulang bagimu, dan semringahmu saat masih belia.
Luput bertanya ada berapa mimpi buruk menyertaimu.
Seberapa jarak yang kamu tempuh dari rumah ke sekolah untuk bentangkan pilu juga sepi.
Tapi kau bilang hidup ini membumi dan berkawan adalah pasti.
Bagiku, berkawan dengan sepi itulah yang nyata dihadapi.
Kita arah mata angin yang membelakangi.
Aku belum juga menjangkaumu,
puluhan tulisan sepi ini kualamatkan;
segala lampiran sunyi tertera mengisi riuh.
Tiba di hari itu,
langkah ini melewati batu-batu kasar.
Kita bukan lagi arah mata angin yang membelakangi,
tapi kompas mimpi yang mengubah jadi apa saja yang dimau nasib.
Keyakinanku belum bisa memayungimu untuk pastikan kau tak basah dan senantiasa harum.
Siang itu, yang lain menangis,
aku telah habis air mata.
Bingung hendak apa, sebab aku penggemar realita; siap ungkap kemalangan di depan mata.
Kau penggila fiksi, jauh terhempas di balik doa dan tanda tanya.
Temanmu yang lain meringkuk, menggumpal tanah jadi bola kecil.
Aku tak paham berguna buat apa,
toh kau juga tidak bisa bermain dengan gumpalan itu,
yang lain ingin tinggal lebih lama.
Aku enggan.
Langkahku kian menjauh, meskipun aku yakinkan menjangkaumu.
Kamu telah jadi Utara.
Biarpun gumpalan tanah tergerus hujan,
Aku titip cerita dari doa yang sudah kurangkai meski tak cukup indah.
Ditulis oleh Restu Almalita, mahasiswi Ilmu Komunikasi, FISIP 2018.