Puisi

Izinkan Aku Menangis di Depan-Mu Ya Rabb

Sebuah puisi yang ditulis oleh Nur Jumiati, mahasiswi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya 2016. (Sumber foto: worldhijabday.com)

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Kehidupan adalah waktu yang singkat, yang berjalan seperti menit, dimana pada setiap detiknya, manusia menunggu sebuah keajaiban. Benar, “waktu” itu cukup adil memperlakukan dunia bahwa segalanya sangat berarti. Terkadang penyesalan hadir meminta waktu untuk kembali, namun pada hakikatnya waktu tidak akan berhenti mendengarkan penyesalan. Tetapi waktu cukup andil memberikan kesempatan pada setiap manusia yang mencari jawaban dari pertanyaan yang belum terpuaskan.

Duduk termenung di bibir pantai dengan bersandar pada bebatuan yang rapuh, menghadirkan pertanyaan yang selalu ku tanyakan pada hati yang ragu “kemanakah perginya ketenangan dan ketenteraman yang selama ini aku cari?". Mengayunkan kaki silih berganti, tanda hati ragu, diam tanpa jawaban lagi. Saat itu terlihat buih-buih mulai menarik pandanganku, yang datang dari arah kaki yang kuayunkan berulang kali. “apakah aku seperti buih-buih ini, yang terombang-ambing oleh ombak yang tidak memiliki tujuan?” berbisik hati yang kebingungan.

Saat itu aku yakin bahwa terkadang keajaiban alam yang dihadirkan di hadapanku adalah sebuah perbandingan yang sama seperti apa yang kualami dalam kehidupan, agar peka pada kebaikan hingga aku mampu membedakan keburukan. Untuk menemukan sebuah jawaban dari kedua pertanyaan, seharusnya melalui proses berfikir yang benar. Berawal dari hati yang harus menyatu dengan pemikiran. Tidak  berlandaskan pada perasaan semata, tetapi ada pemikiran yang menjadi dasar dari segala perbuatan. Teringat kutipan singkat, buku mungil yang menjadi bacaanku tujuh hari yang lalu.

Ia, bernar. Bagaimana mungkin selama ini aku melakukan sesuatu sesuai dengan kehendak hati, pada suasana perasaan yang tidak menentu? Bisa saja aku berhijab hari ini, karena suasana hati yang stabil serta didukung keadaan seperti adanya Majlis Taklim, yang terkadang rasa malu mendorongku untuk melakukan sesuatu karena berada di lingkungan muslimah hingga pada akhirnya hatiku tergerak untuk berbusana muslimah dengan hijab pilihan terbaikku.

Tidak ada yang menjamin bahwa suasana hati esok masih akan tetap stabil. Maka perasaan adalah sesuatu yang tidak bisa menjadi pegangan dalam melakukan sesuatu. Tidak hanya itu, jika berdasarkan hati dan perasaan kewajiban bisa saja menjadi pilihan. Bagaimana tidak, hati adalah gumpalan daging yang hanya mengandalkan perasaan, yang selalu mengalami dinamika sesuai dengan kondisi maupun lingkungan yang ada, karena hati pada hakikatnya tidak mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah.

Hal ini tidak mampu menjawab pertanyaan pertama, tetapi ini adalah jawaban dari pertanyaan kedua. Ternyata benar, perasaanku seperti buih-buih di lautan yang terombang-ambing terbawa arus gelombang tanpa tahu tujuan yang benar. Kini aku menjadi mangsa yang dikelabui oleh dosa-dosa, yang berjalan sombong tanpa ingin dipersalahkan. Sesuka hati berbuat apa saja yang diinginkan. Pacaran seakan prestasi remaja yang diperlihatkan pada dunia, pergaulan terasa seperti langit yang tak terlihat batasan-batasannya, aurat terhumbar menjadi pajangan masyarakat yang tak ada nilainya. Inilah kesenangan duniawi yang berisikan racun berlabelkan madu, ah sungguh manis tapi miris.

Ia benar,

Pemikiran tentunya akan membawa pada sesuatu yang terarah, jika prosesnya pada jalur yang benar dan dijalankan sesuai aturan pasti menemukan solusi yang tepat, serta dapat menjadi pembeda baik buruknya suatu perbuatan. Seperti halnya yang manusia ketahui bahwa peraturan yang Allah tetapkan adalah sesuatu yang wajib dilaksanakan, misalnya menutup aurat. Ini sangat jelas, bahwa dengan proses berfikir akan mampu membedakan sebuah kewajiban bagi manusia atau pilihan yang dihadapkan oleh manusia. Namun hal ini, banyak di kalangan masyarakat masih mencampuradukkan hal yang wajib dan pilihan. Padahal kata “wajib” adalah sesuatu yang tidak dapat diganggu gugat. Ketika dilanggar maka jelas mendapatkan dosa. Sedangkan pilihan adalah keputusan yang diambil oleh manusia itu sendiri, mendapatkan pahala ataupun dosa tergantung dari pilihan yang diambil. Maka dari itu, hati harus sejalan dan searah dengan pemikiran yang benar, karena sebuah pemikiran adalah dasar dari segala perbuatan. Hati akan menumbuhkan sebuah niat dalam keikhlasan pada suatu perbuatan, hingga bernilai pahala dan mendapatkan keberkahan. Berbisik penuh yakin.

Kini aku mulai menyadari,,,

Perlahan kupejamkan mata, tak terasa air mata jatuh di dasar laut bagai hujan deras tanpa henti. Ini adalah saksi dari penyesalan. Hati terasa, perih, sakit, dilema. Sungguh menyesakkan jiwa. Betapa tidak, angkuhnya aku berjalan di bumi Allah membawa dosa seluas lautan. Aku selalu meminta kepada-Nya namun ingkar pada perintah-Nya. Bagaimana mungkin aku menginginkan ketenangan, ketenteraman jiwa sedang aku tidak menjalankan kewajibanku sebagai seorang muslimah. Bahkan kewajiban terkadang dinegosiasi sesuka hati, dilaksanakan sesuai kehendak hati. Sekali lagi izinkan aku menangis di depan-Mu YaRabb. Ketuklah hati ku ini yang telah terlena kesenangan dunia dan berjalan di atas pujian manusia, hingga aku lupa kembali kepada-Mu.

Izinkan aku berhijrah mencari cinta-Mu Ya Rabb, menunaikan janji yang pernah ku ikrarkan sebelum hadir di dunia. Berjalan di jalan yang benar dengan cara yang Engkau ridhai. Akan ku kikis segala keburukan yang membeku layaknya batu, sulit memang sulit, namun lebih sulit jika aku jauh dari cahaya kebenaran-Mu karena aku seperti tumbuhan yang hidup di bibir pantai yang selalu mencari cahaya hingga aku terhidar dari kehidupan singkat tanpa arti yang hanya layu tanpa menghasilkan buah yang manis.

Telah ku temukan jawabannya, ini bukan lagi sebuah pilihan yang harus dipilih atau tidak, tetapi ini sebuah tanggung jawab. Bukankah seorang hamba harus patuh pada Sang Pencipta, tanpa harus ada kata “Tapi.” Langkah awal mungkin terasa agak sulit, tapi aku cukup yakin bahwa hijrah adalah jawaban dari ketenangan dan ketenteraman jiwa yang kucari selama ini, karena Allah lebih dekat dari setiap barisan doaku. Tantangan tentunya pasti akan silih berganti, lingkungan tentu akan mengekang, maka aku jadikan istiqomah sebagai benteng terkuat. Lautan bisa terasa asin, tetapi tidak pada ikan. Aku akan berbalik, memulai langkah awal dengan senyuman terbaik hingga sampai pada pelukan-Nya, lalu kembali menangis haru di depan-Mu Ya Rabb.


Ditulis oleh Nur Jumiati, mahasiswi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya 2016



Kolom Komentar

Share this article