Ruang Rapi
Tapi bukankah yang paling suci, tak selalu membutuhkan suara?

Sumber Gambar: Dokumen Pribadi
Kita tak lagi menyebut nama,
tapi aku masih tahu nadanya,
seperti mengingat doa dalam bahasa yang tak pernah aku pelajari
tapi begitu lama tinggal di rongga dada.
Ada hal-hal yang tak kita ucapkan,
bukan karena lupa,
melainkan karena telah selesai dalam makna
yang tak perlu ditata ulang oleh lidah.
Lalu, di antara jeda yang semakin lebar,
aku belajar merawat sunyi
dengan semacam kesetiaan yang tak meminta kepastian.
Seperti nyala di dalam gereja tua
yang dibiarkan menyala semalaman
meski tak seorang pun datang untuk berlutut.
Ada ketenangan yang aneh,
saat tidak bertanya lagi,
dan tidak menjawab apa-apa,
tapi tahu:
segala yang pernah jujur tak akan musnah begitu saja.
Sejak itu,
aku mulai percaya bahwa kasih juga bisa berbentuk seperti ini:
tidak kembali, tidak pergi,
hanya mengendap dalam udara
yang kadang terasa hangat saat malam terlalu tenang.
Dan jika aku masih merapikan ruang,
masih menata secangkir harap
di mazbah yang tak lagi kutunggu-tunggu,
itu bukan karena ingin kau kembali,
melainkan karena pernah ada hadirmu di sana,
dan itu cukup untuk membuat tempat itu layak dirawat
dengan diam.
Kita tak bicara lagi.
Tapi bukankah yang paling suci
tak selalu membutuhkan suara?
Puisi ini ditulis oleh Davynalia Pratiwi Putri, mahasiswa Sastra Indonesia FIB Unmul 2021