Hari Ini, Puisi Begitu Dihargai
Ilustrasi penulis. (Sumber: Soviet Art, USSR culture)
Hari ini, puisi begitu dihargai
Semenjak siang, seorang tukang puisi baru saja diberi gelar jabatan sebagai sastrawan
Oleh anak sekolahan. Tukang puisi yang kerjanya hanya mengurus puisi-puisi yang belum jadi milik orang lain itu diundang ke sebuah tempat yang di mana pernah ditulis dalam puisi yang berjudul “Kepada Instastory yang Agung”.
Ia dikeroyok oleh empat perempuan berhijab yang diutus untuk menuliskan sebuah biografi, dan terpilihlah si tukang puisi
Panjang lebar ia menjelaskan, dan panjang lebar juga harapan untuk si pemberi utusan.
Empat anak sekolah yang kepingin menjadi penulis. Namun, masih malu-malu untuk eksis
Matahari yang menepi ke barat itu sebelumnya bersembunyi di balik ketiak awan-awan. Pekat. Gelap
Dan celana hitam yang dikenakan tukang itu menjadi becek penuh desas-desus puisi yang minta disentuh ketika malam sudah mulai berani menunjuk kema(l)uannya
Malam yang seperti malam kemarin, ditemani aroma hujan yang sangat dicintai oleh orang-orang galau. Ia kembali menjadi tukang di sebuah tepi sungai yang semerbak aromanya
Mula-mula malu-malu. Hanya berniat untuk mencari ilmu baru, tapi setelah itu ia ditunjuk untuk menjadi seorang yang berilmu dengan disodorkan sepiring hangat pisang keju berlapis susu
Coba kita malam ini menulis puisi di sini. Sebab kita berada di antara ketenangan dan hingar-bingar yang syahdu untuk berduaan, orang itu berbahagia
Tukang puisi yang sebenarnya masih malas untuk menguli, mau tidak mau harus membangunkan Ima dan Ji. Kemudian tercetuslah sebuah puisi
Di Antara Pisang Keju
Di antara pisang yang pasrah direndam
Kemudian ia melemas dan lemah diperas
Dan dibunuh besi berjari tiga
Kisah-kisah para yang terbang
Kemudian berbicara dengan seenak sempoyongan, ada yang terselip di antara telu tengah
Di antara pisang yang bermesraan dengan sapi-sapi
Tak bisa bersandar, bajuku sudah terlalu hitam untuk menjadi sesuatu yang legit nan genit
Ada seseorang membaca puisi di dalam telingaku
Yang kiri berbicara rindu. Yang kanan berbicara abu-abu
Aku dibujuk untuk menikmati yang tenggelam
Tukang puisi kemudian hanyut bersama puisi-puisi yang direnovasi akibat tidak mulusnya pondasi
Ia kemudian mengingat sesuatu,
besok harus menjadi kuli lagi pagi-pagi
Setiba di muka rumah, tukang puisi itu menyelutuk
Sialan, padam lagi
Ditulis oleh Panji Aswan, Mahasiswa Sastra Indonesia, FIB 2012.