Puisi

Bisikan Bambu di Belantara Mayantara

Dalam labirin sunyi, suara terkubur di balik tembok-tembok maya.

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar: Dokumen Pribadi

Dalam labirin sunyi, suara terkubur di balik tembok-tembok maya.
Namun lihat, di antara layar yang retak,
Jemari menari—kode perlawanan dalam sunyi,
Lidah bergetar dalam bisu, hati berdegup melawan arus.

Di menara gading, para wakil bermahkota emas berkilau dalam perdebatan,
Jubah-jubah hitam menimbang nasib sang Garuda.
Sementara di jalanan,
rakyat menganyam harapan yang tak kunjung sirna.

Demokrasi kita, oh Nusantara yang bergelora.
Bukan pohon tua, tapi bambu yang meliuk-liuk,
Akarnya menembus tanah merah kepulauan.
Ruas-ruasnya menari dengan angin, lentur namun tak patah.

Setiap ketukan adalah simfoni perlawanan,
setiap cuitan adalah bara revolusi yang tak padam.
Antara mimpi rakyat dan keputusan elit,
Menganga jurang tak kasat mata, sarat konflik terselubung.

Tiga pilar negara bergoyang, dihempas badai kepentingan,
Pengawasan memudar bagai warna batik yang terkikis waktu.
Ironi demokrasi digital: Semakin terhubung, kian tercerai-berai,
Ribuan suara membisu dalam ingar-bingar media sosial.

Kita, para penyala obor di era algoritma,
Tak kan biarkan api semangat dan harapan menjadi abu.
Biar kode-kode digital menjadi sandi perjuangan baru,
Menggaungkan suara keadilan dari Sabang hingga Merauke.

Meski dihadang sensor,
Mimpi kita tetap membara.
Dari gang sempit hingga menara pencakar langit,
Bergema satu suara yang tak terbendung:

"Indonesia tetap berdaulat, 
MERDEKA, MERDEKA, MERDEKA!”

Puisi ini ditulis oleh Davynalia Pratiwi Putri, mahasiswi Program Studi Sastra Indonesia FIB Unmul 2021




Kolom Komentar

Share this article