Opini

Virus dalam Gerakan Melawan Kekerasan Seksual

Sebuah opini tentang maraknya pelecehan seksual di kalangan aktivis.

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber: Google.com

Kelamin. Sange. Urat malu. Retorika. Dialektika. Aktivis. Kemanusiaan.  

Belum lama ini saya membaca utas di Twitter tentang seorang perempuan yang diperdaya, dijadikan budak seks oleh kekasihnya sendiri dengan melakukan hubungan badan berkali-kali sehingga hamil berkali-kali, lalu dipaksa meminum obat penggugur kandungan berkali-kali dengan dalih: fetish-fetish tahi anjing. Laki-laki itu kemudian enggan bertanggungjawab, sementara keluarganya bersikap sama saja. Padahal, dia berpendidikan tinggi.

13 November 2018, Lingkar Studi Kerakyatan mengeluarkan pernyataan sikap atas tiga pelaku pelecehan dan kekerasan seksual bernama Jamaluddin, Nalendro Priambodo, dan Sapri Maulana. Ketiganya bukan orang sembarangan, mereka punya nama dan dikenal memiliki integritas, keberpihakan luar biasa pada gerakan pembebasan perempuan dari belenggu kekerasan maupun cara pandang patriarkal yang selama ini dipahami sebagai bentuk opresi paling sistematis dan tertua dalam sejarah peradaban manusia.

Baru-baru ini, kasus kekerasan seksual yang melibatkan aktivis-male feminist terjadi lagi. Dilakukan sedemikian keji oleh Ade Fachrizal Rizky kepada sejumlah korban. Mulai dari perselingkuhan yang mengakibatkan penyintas mengalami gejala trauma dalam bentuk trust issue, penghakiman negatif, kekerasan verbal, fisik, hingga memaksa penyintas lainnya untuk berhubungan badan tanpa kesepakatan dan mengancam akan mengadukan kepada orang tua penyintas tanpa sama sekali mempertimbangkan psikis, apalagi masa depan penyintas.

Yang dikedepankan hanyalah hasrat sange-kaga-ketampung (sagapung) yang menggebu, yang mesti ditunaikan buru-buru. Masa bodoh dengan teoritikal yang sudah dipelajari bertahun-tahun, diskusi-diskusi yang pernah diisi, maupun ratusan aksi massa atas nama pembelaan hak perempuan yang sempat dihadiri. Akhirnya, gara-gara sange sebelanga, rusak perjuangan yang belum sampai setitik.

Sungguh, saya tidak menyangka orang-orang ini bisa melakukan perbuatan demikian, kendati berkali-kali saya mendengar bahwa siapa saja bisa jadi korban atau bahkan pelaku, sekalipun ia orang yang sadar. Jargon-jargon perlawanan ternyata cuma manis di bibir, sama bejat dengan pejabat yang selama ini dikritisi habis-habisan. Saya muak, malu, sekaligus sedih.

Kemudian, dari sekian banyak kasus pelecehan seksual yang pelakunya adalah aktivis, saya melihat adanya pola yang sama. Tentang mengapa selalu saja ada kelompok atau kolektif yang membela pelaku? Ideologi macam apa yang sebenarnya dianut? Perspektif yang bagaimana yang sedang dipakai? Pemahaman tokoh mana yang diaminkan? Dan, buku apa yang menjadi rujukannya?

Kekerasan terhadap perempuan di ranah privat dengan korban dan pelaku berada dalam relasi perkawinan, pacaran, dan relasi intim lainnya menjadi kasus yang paling sering dilaporkan sekaligus yang persentasenya paling tinggi. Catatan Tahunan (Catahu) yang dirilis Komisi Nasional Anti Kekerasan Perempuan 2020 menunjukkan jumlah kekerasan terhadap perempuan di ranah personal mencapai 75 persen atau 11.105 kasus dari total 431.471 kasus yang dilaporkan. Khusus untuk kasus kekerasan dalam pacaran sebanyak 16 persen atau 1.815 kasus. Jika diakumulasikan dalam kurun waktu 12 tahun, kekerasan terhadap perempuan meningkat sebanyak 792 persen (meningkat hampir delapan kali lipat dalam 12 tahun).

Solusinya sudah pasti bukan Indonesia Tanpa Pacaran, tetapi gerakan penyadaran tanpa henti kepada laki-laki maupun perempuan serta bersepakat terhadap konsep kesetaraan dalam segala hal yang diwujudkan melalui praktik hidup keseharian.

Peristiwa kekerasan seksual ini juga kian menyadarkan saya dan semoga juga Anda yang membaca ini, bahwa terdapat virus tak kasat mata yang sewaktu-waktu berpotensi merusak proses perjuangan pembebasan perempuan. Solidaritas, pencerdasan massal, dan pengembangan organisasi atau komunitas perjuangan perempuan harus dilakukan seluas-luasnya. Apalagi, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (P-KS) yang juga belum kunjung disahkan, sedangkan pemerintah sibuk mengurusi UU Cipta Kerja yang justru menyengsarakan rakyat. Belum lagi serangan dari kaum misoginis berkedok agama yang terus bergelora menentang RUU P-KS, semoga tidak menjadikan perjuangan ini semakin berat.

Berakhirnya kasus kekerasan seksual mahasiswa UGM dengan kesepakatan damai dan dikriminalisasinya Ibu Baiq Nuril yang melaporkan pelaku pelecehan seksual adalah sekelumit realitas bahwa budaya impunitas di mana pelaku kekerasan bisa bebas dari hukuman, masih mengakar. Sudah waktunya relasi kuasa--yang dalam fokus opini ini dilakukan pelaku karena ilmu pengetahuan dan senioritas--dihapuskan. Begitupula dengan kebiasaan victim blaming, revenge porn, hingga klarifikasi diplomatis yang acapkali dilakukan pelaku demi menyelamatkan nama baik belaka. Sudah saatnya laki-laki dan perempuan bersekutu melawan kekerasan seksual. 

Karenanya, pemecatan, pencabutan hak, maupun penjegalan pelaku dalam setiap momentum dan kesempatan adalah sikap paling tepat yang diambil oleh organisasi tempat pelaku berlindung. Pelaku harus dibuat jera sebagai langkah dalam upaya memutus rantai kekerasan seksual. Jangan pernah sekalipun menjadikan pelaku kekerasan seksual sebagai pemateri atau mengambil peran dalam agenda-agenda penting. Dan, mari berada di pihak penyintas. Hentikan diskriminasi pada mereka. Kalau tidak bisa bersolidaritas, maka lebih baik diam saja.

Secara pribadi, menarik bagi saya menunggu langkah yang akan diambil para pelaku kekerasan seksual ini. Apakah akan jadi laki-laki baru atau justru hanya berakhir seperti Arman Dhani dengan tulisan ‘Mengapa Saya Diam?’. Akhirnya, selain berhati-hati dengan pandemi Covid-19, tolong hati-hati juga dengan predator kekerasan seksual. Mereka ada di mana-mana. Tidak terlihat dan mematikan.

Hidup Perempuan yang Berlawan!

Ditulis oleh Amelia Rizky Yunianty, Mahasiswa Program Studi Pembangunan Sosial, FISIP.  



Kolom Komentar

Share this article