Opini

Tambang, Ilmu, dan Kuasa: Siapa yang Diuntungkan?

Industri batu bara mencerminkan kuasa elite dan dampak sosialnya

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar: Dokumen Pribadi

Pada hari Selasa (11/2), Departemen Kajian dan Keilmuan Himpunan Mahasiswa Pendidikan Sejarah (HMPS) Unmul mengadakan program kerja pembuka tahun ini bertajuk ‘History Cinema’ yang mengusung tema “Tambang, ilmu, dan Kuasa: Siapa yang Diuntungkan?”. Program kerja (Proker) malam itu mengajak khalayak khususnya mahasiswa Pendidikan Sejarah untuk nonton bersama sebuah film dokumenter  yang mengungkap bagaimana industri batu bara di Indonesia berjudul ‘Sexy Killers’. 

Kegiatan ini merupakan respon mahasiswa Program studi (Prodi) Pendidikan Sejarah atas isu-isu yang sedang hangat dibicarakan di lingkungan kampus Unmul. Tidak hanya nonton bersama, Departemen Kajian dan Keilmuan HMPS juga melakukan diskusi bersama dengan mengundang pembicara yaitu Michael Silvester Mitchel Vinco, dosen di Prodi Pendidikan Sejarah itu sendiri.

‘Sexy Killers’ merupakan film garapan sutradara Dandhy Dwi Laksono yang membongkar bagaimana industri batu bara dan keterkaitannya dengan elite politik Indonesia serta dampaknya terhadap lingkungan sekitar. Film ini dirilis menjelang Pemilihan umum (Pemilu) 2019 di mana yang mencalonkan menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia pada saat itu adalah:

  • Nomor urut 01 Joko Widodo & Ma’ruf Amin
  • Nomor urut 02 Prabowo Subianto & Sandiaga Uno

Film ini menyoroti bagaimana bisnis energi fosil berkaitan erat dengan para calon pemimpin negara. Setelah film pertama selesai, diputar film dokumenter pendek yang disutradarai langsung oleh Vinco yang berjudul ‘Gaungan Sang Penakluk Asap’. Keduanya mempunyai persamaan di mana sama-sama membahas tentang eksploitasi sumber daya alam oleh elite-elite politik. Sebagian besar tambang batu bara dikuasai oleh orang-orang yang memiliki hubungan langsung dengan penguasa dan politisi. 

Bahkan dalam sebuah cuplikan di film kedua, para elite politik itu sampai harus menggerus lahan kebun karet milik warga hingga berhektar-hektar untuk membuat sebuah pertambangan batu bara. Ironisnya, ‘orang-orang’ itu memberikan bayaran dengan jumlah yang tidak setimpal dengan kerugian atas apa yang terjadi pada lahan mereka. Bahkan, ‘uang ganti rugi’ itu tidak cukup untuk menutupi biaya pembaharuan lahan kebun karet warga. 

Belum lagi banyaknya korban yang berjatuhan akibat lubang bekas galian tambang yang tidak direklamasi. Di Kalimantan sendiri, lubang bekas galian tambang memakan korban, terutama anak-anak yang tenggelam di dalamnya, setidaknya 30—40 jiwa. Selain memakan korban jiwa, Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar batu bara yang banyak berdiri di sekitar permukiman warga juga memberikan dampak lingkungan ke masyarakat sekitar.

Seorang bidan bertugas di Desa Tubanan, Jepara, Jawa Tengah yang berdekatan dengan PLTU, menurut kesaksiannya, mengatakan kasus sesak nafas, batuk, dan pilek di desa tersebut seperti tidak memandang usia. Pasien datang silih berganti terutama anak-anak. 

“Memang berdekatan dengan PLTU, saya pun berpikir apakah memang karena berdekatan dengan PLTU?” ujar nya pada sebuah cuplikan film ‘Sexy Killers’. 

“Tapi saya gak berani bilang ini gara gara PLTU, karena memang belum ada bukti atau screening khusus.”

Dan juga, dalam sebuah cuplikan di film ‘Gaungan Sang Penakluk Asap’ menunjukkan bagaimana dampak pencemaran air bagi masyarakat sekitar. Seperti terjadinya ruam kemerahan di kulit hingga menyebabkan infeksi yang terasa perih.

Namun dampak yang diciptakan oleh batu bara itu tidak dapat menutupi fakta bahwasanya penggunaan batu bara pada energi listrik di Indonesia sendiri mencapai angka 70 persen. Karena harga batu bara yang relatif lebih murah dibanding sumber energi lainnya seperti gas, Bahan Bakar Minyak (BBM), dan energi terbaharukan seperti matahari. 

Pada sebuah cuplikan film ‘Sexy Killers’ disebutkan, biaya produksi listrik menggunakan batu bara hanya berjumlah Rp600/KwH, gas Rp1.000/KwH, BBM Rp1.600/KwH, dan energi matahari mencapai Rp2.900/KwH. Sehingga kemungkinan kebutuhan batu bara pada tahun 2050 di Indonesia bisa meningkat hingga lima kali lipat.

Opini ini ditulis oleh Khofifatun Maysarah, mahasiswa Pendidikan Sejarah FKIP angkatan 2024



Kolom Komentar

Share this article