Takut Tertinggal atau Takut Dinilai? Dilema FOMO Pelajar Gen Z
Tekanan FOMO membuat pelajar merasa harus terus bergerak, membandingkan diri, dan kehilangan makna prestasi
- 03 Dec 2025
- Komentar
- 27 Kali
Sumber Gambar: AI Generate
Hidup sebagai pelajar Generasi Z (Gen Z) sekarang terasa seperti berada di tengah arus yang tidak pernah benar-benar berhenti. Setiap kali membuka ponsel, ada saja kabar tentang teman yang baru meraih penghargaan, berhasil ikut program tertentu, atau membagikan aktivitas yang terlihat mengesankan.
Melihat semua itu berulang kali membuat banyak dari kita merasa perlu selalu bergerak, selalu produktif, dan selalu punya sesuatu untuk ditunjukkan. Dari sini lah rasa takut tertinggal atau Fear of Missing Out (FOMO) mulai terbentuk.
Budaya FOMO sebenarnya muncul dari hal yang sangat sederhana, yaitu kebiasaan membandingkan hidup kita dengan apa yang terlihat di layar. Padahal, apa yang tampak sering kali hanya sepenggal momen terbaik seseorang. Namun meskipun kita tahu akan hal itu, tetap saja muncul perasaan cemas saat melihat teman lain terlihat lebih maju atau lebih sibuk melakukan hal yang mereka lakukan.
Rasanya seperti ada tuntutan tak tertulis bahwa kita juga harus melakukan hal yang sama agar dianggap tidak ketinggalan. Tekanan ini sering kali mengubah cara kita memandang prestasi. Banyak pelajar yang pada akhirnya mengikuti berbagai kegiatan bukan karena minat, tetapi karena takut terlihat tidak berkembang.
Dalam situasi seperti ini, prestasi kehilangan makna sebagai bentuk pencapaian pribadi dan berubah menjadi semacam perlombaan diam-diam yang membuat kita merasa harus selalu mengejar sesuatu. Padahal, setiap orang punya ritme belajar dan perjalanan hidup yang berbeda.
Salah satu dampak terbesar dari budaya FOMO adalah munculnya rasa lelah emosional. Banyak yang akhirnya merasa kurang percaya diri, merasa tidak cukup, atau bahkan mempertanyakan kemampuan diri sendiri.
Kita jadi lupa bahwa hidup bukan soal siapa yang paling cepat mencapai sesuatu, tetapi soal bagaimana kita berkembang sesuai tujuan dan kapasitas masing- masing. Jika terlalu sering membandingkan diri, ruang untuk menikmati proses akan semakin sempit.
Meski begitu, FOMO tidak selalu memberi pengaruh buruk. Rasa tidak ingin tertinggal kadang bisa menjadi dorongan yang membuat kita belajar hal baru atau berani mencoba tantangan yang sebelumnya tidak terpikirkan. Namun, menjadi masalah ketika dorongan itu lahir dari kecemasan yang berlebihan, bukan dari keinginan untuk bertumbuh.
Ketika motivasi berasal dari tekanan, biasanya kita hanya akan merasa makin tertekan, bukan semakin berkembang. Pelajar masa kini perlu menyadari bahwa hidup tidak harus selalu bergerak cepat. Ada kalanya kita perlu berhenti sejenak untuk bertanya pada diri sendiri tentang apa yang sebenarnya kita inginkan.
Kita tidak harus melakukan semua hal hanya karena orang lain melakukannya. Menentukan prioritas jauh lebih penting daripada sekadar mengikuti arus. Prestasi yang benar- benar berarti adalah yang selaras dengan kemampuan, minat, dan tujuan diri sendiri.
FOMO mungkin tidak akan hilang sepenuhnya karena dunia digital terus menuntut kita untuk selalu terhubung. Namun, kita bisa mengendalikan seberapa besar pengaruhnya terhadap cara kita menjalani hidup.
Pada akhirnya, setiap orang berjalan dengan waktunya masing-masing. Kita tidak tertinggal hanya karena tidak melakukan hal yang sama dengan orang lain. Bagian yang lebih penting adalah bagaimana kita membangun hidup yang membuat kita merasa berkembang, bukan hidup yang dijalani hanya untuk terlihat tidak kalah dari orang lain.
Opini ini ditulis oleh Andika, mahasiswa Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan FKIP Unmul 2025