Opini

Saksi Mata: Sastra yang Bersaksi Atas Lazimnya Kebengisan Indonesia pada Masa Pendudukan Timor Leste

Melihat kebengisan Indonesia pada masa pendudukan Timor Leste dari kacamata sastra

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar: Dokumen Pribadi

Seperti yang dikatakan Seno Gumira Ajidarma, ‘Ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara. Jurnalisme bicara dengan fakta, sastra bicara dengan kebenaran’. Kebenaran yang disampaikan melalui rekonstruksi teks Cerpen Saksi Mata, merupakan “kunci” yang mampu membuka mata pembaca terhadap pembatasan jurnalisme di Indonesia.

Antologi Cerpen Saksi Mata merupakan salah satu karya Seno yang pertama kali diterbitkan oleh penerbit Bentang Budaya pada tahun 1994. Saksi Mata ini bisa dikatakan berisi tentang gambaran mengenai peristiwa yang terjadi di Timor Timur masa itu. Penderitaan, peperangan, pengkhianatan, perjuangan, dan semacamnya merupakan topik-topik yang ingin Seno soroti dan sampaikan kepada para pembaca agar dapat mengetahui sejarah “tersembunyi” peristiwa Timor Timur.

Sepanjang buku, Seno menggambarkan kengerian demi kengerian. Selain mata dicongkel “Saksi Mata” dan telinga dipotong “Telinga”, ada wajah yang tidak lagi berbentuk setelah disiksa secara brutal “Maria”, mayat yang diseret oleh seekor kuda di sepanjang jalan berdebu “Salvador”, dan kepala tertancap di pagar rumah “Kepala di Pagar Da Silva”.

Semua itu diucapkan dengan acuh tak acuh; dingin. Bahkan, dalam “Listrik”, Seno masih menyempatkan diri menceritakan kisah penemuan listrik yang ternyata berguna tidak hanya untuk menyalakan lampu, tetapi juga untuk menyiksa sandera. Di sini ia juga menyisipkan humor tentang kebodohan prajurit yang hanya tahu bagaimana mengatakan “siap” kepada komandannya.

Struktur internal teks Saksi Mata, yang notabenenya merupakan ruang pertemuan dan negosiasi ideologi yang ada, menunjukkan bahwa teks tersebut berupaya menggambarkan kengerian totalitarianisme Orde Baru. Namun, tentu saja, dalam ruang politik yang menindas, kritik dalam semangat kemanusiaan, keadilan dan kebebasan berekspresi ditransformasikan dan dibalut dalam Saksi Mata dengan struktur sindiran dan humornya yang khas, sekaligus mengungkapkan kengeriannya dengan mengungkapkan “darah”, “lubang mata”, “darah mengalir”, dan lain-lain. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa semangat kritik melalui karya sastra dalam penjara ideologi totaliter masih beroperasi dalam dua kondisi. Di satu sisi, situasi represif memaksanya bungkam atau membicarakan topik yang menguntungkan Orde Baru. Di sisi lain, pengurungan ini melahirkan semangat pembebasan sehingga pada akhirnya konstruksi teks dijiwai dengan semangat keadilan, kemanusiaan, dan kebebasan berekspresi berkat kebebasan dari self-censorship yang dipicu oleh tekanan nasional. Kemunculan Saksi Mata merupakan hasil demonstrasi dominasi Orde Baru di bawah kendali Presiden Soeharto yang menerapkan kebijakan mobilisasi dan pengawasan  ketat.

Ilustrasi yang disajikan pada beberapa halaman Cerpen di buku ini juga dapat menunjang alur cerita sehingga menjadikan cerita di buku ini sangat realistis.

Tanpa membaca catatan penulis di awal buku, generasi pasca Orde Baru mungkin akan kesulitan memahami konteks peristiwa dan lokasi semua kengerian itu. Seno sengaja menyembunyikannya untuk bisa mempublikasikan Cerpennya di media sekitar tahun 1993. Namun, ia memberikan petunjuk tentang nama-nama khas Portugis dari tokoh ceritanya.

Nah, kumpulan cerpen ini berkisah tentang kebrutalan tentara Indonesia pada masa pendudukan Timor Leste, dan khususnya pasca pembantaian Santa Cruz, di Dili, pada 12 November 1991.

Sebagai peringatan terhadap kekejaman, Saksi Mata sangat layak dibaca oleh para pelajar dan mahasiswa. Karena, buku sejarah hanya menyebutkan Timor Leste pada saat pemilu tahun 1999. Bahkan, tidak ada satu pun bab atau catatan singkat mengenai dampak pendudukan Indonesia di sana– yang mungkin telah menewaskan ratusan ribu warga sipil.

Mengapa kita perlu mengetahui hal ini? Bukankah ini sejarah kelam dan memalukan negara ini? Ini bukan soal membuka kembali luka negara kita. Ini adalah keadilan bersejarah, tidak hanya bagi para korban– yang ironisnya belum mendapatkan keadilan hukum– tetapi juga bagi generasi muda negeri ini. Kita patut malu dengan rekor ini. Namun, dengan mengakui hal ini, kita bisa melewatinya dan tidak mengulangi lagi. 

Opini ditulis oleh Davynalia Pratiwi Putri, Kabid Administrasi dan Pendanaan Komunitas Laboratorium Intelektual Humanawa, FIB 2021.



Kolom Komentar

Share this article