Cerpen

Belenggu Jiwa

Aku dan Eva selalu bicara di cermin. Kami hanya ingin didengar

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar: Dokumen Pribadi

Ketika cermin sudah tak mampu lagi menahan kehancurannya, lantas kepada apa lagi manusia akan berkaca? Akankah ada tempat lain selain cermin yang mampu menampakkan jati diri manusia yang sesungguhnya?

Diriku yang lain pernah berkata. Diriku yang lain? Ya! Diriku yang lain, tak penting siapa yang kumaksud, tapi dia berkata jika cermin mampu memperlihatkan sisi terang dan tergelap dari manusia tanpa ada kuasa untuk mencelanya sedikit pun. 

Dan sekarang aku di sini. Kembali bercakap-cakap pada diri sendiri, melisankan berbagai dialog tak pasti di hadapan cermin berbingkai. Bak sepasang saudara kembar yang mendiami satu tubuh hanya saja diisi oleh dua jiwa yang berbeda. Jiwa pertama adalah diriku dan jiwa kedua kunamai sebagai Eva. Dia muncul di tengah kesendirian dan ketidakmampuanku dalam menghadapi hidup, dia lalu menjadi bagian terpenting dalam tubuh ini.

Mungkin aku akan membiarkan Eva tetap berada dalam diriku atau mungkin aku akan mengakhiri Eva, tapi bagaimana caranya? Apa yang harus kulakukan agar dia pergi meninggalkan tubuhku, meninggalkan hidupku selama-lamanya agar aku bisa bebas. “Hmm, aku masih belum tahu.”

Sebenarnya hari ini aku ada janji bertemu seseorang. Ibuku yang menyarankan agar aku bertemu dengannya karena dia merasa keseimbangan jiwaku terganggu, sehingga perlu berkonsultasi kepada orang yang tepat. “Aku sedang tidak enak badan jadi sebaiknya tidak perlu pergi, sesuatu berbisik kepadaku. “Tetaplah di sini jangan kemana-mana.” Aku diam cukup lama lalu kusadari jika bisikan-bisikan itu berasal dari Eva. “Aku juga malas pergi menemuinya, tapi ini perintah ibu jadi kita harus patuh kan?” Tidak ada jawaban. Aku yakin dia malas menanggapi gadis penurut sepertiku. Cukup tahu saja. Barusan itu adalah jawaban dari Eva. 

Aku kemudian bangkit dari kursi lalu berpamitan pada cermin kesayanganku. Tak lupa aku melambaikan tangan padanya, setelah itu, aku berlari ke arah mobil yang kemudian kusetir menuju restoran kecil di ujung jalan. Tempat yang akan menjadi ruang temu janji antara aku dengan dia. Dia? Tentu saja yang kumaksud adalah kenalan ibu.

Entah kenapa saat berkendara di jalanan sepi rasanya jauh lebih nikmat dibandingkan saat berkendara di tengah keramaian. Berkendara sendiri itu tidak menyenangkan! kata Eva. Aku mendengus, siapa bilang aku sendirian lagi pula ada cermin kecil yang selalu kubawa ke mana-mana dan dia selalu menemaniku. Jujur saja cermin adalah teman pertamaku. Tanpanya aku hanya akan sendirian dan tanpa Eva aku hanyalah gadis penyendiri yang selalu patuh pada orang tua, tanpa ada kuasa sedikit pun untuk menolak segala macam aturan dan perintah yang keluar dari alat ucap mereka. Tapi, syukurlah semua itu telah berlalu berkat kemunculan Eva yang datang bagai angin segar yang lambat laun berubah menjadi angin malam yang menusuk kulit karena kini semakin sulit untuk diatur. 

Eva sendiri adalah karakter kedua yang kubentuk secara sadar agar memudahkanku ketika berada di situasi tertentu. Bisa dibilang kalau dia adalah gambaran ideal tentang diriku yang selama ini tidak bisa kuwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Tapi terkadang aku merasa jika Eva seolah-olah ingin mengambil alih kepribadian utamaku. Tapi benarkah begitu? Atau mungkin cuma perasaanku saja. Ah! Sudahlah tidak perlu dipikirkan, lagi pula aku telah sampai ke tujuanku. 

Rupanya hanya memerlukan beberapa belas menit saja untuk sampai ke restoran ini. Lantas segeralah aku turun dari mobil lalu melangkah masuk ke dalam restoran. Baru  berjalan beberapa langkah saja aku langsung berhenti. “Oh, tidak ini masalah besar!” Aku bergumam di depan pintu masuk. Restoran ini sangat ramai dan aku takut pada keramaian, tapi tidak masalah karena Eva bersamaku. Aku pun secara sadar mengeluarkan karakter Eva yang bersemayam dalam tubuhku. Dengan keberanian serta kepercayaan diri aku berjalan melewati kerumunan orang-orang dan duduk di meja paling depan. “Apa yang kamu takutkan ini kan cuma keramaian. Lagi pula mereka tidak akan menggigit. Eva mendengus.

Aku pun dengan segera kembali ke identitas utamaku sebagai Magda. Jika aku adalah gadis yang pendiam, pemalu, dan selalu patuh pada ucapan orang tua, maka Eva kebalikannya. Dia banyak bicara, pemberani dan tidak suka dikekang bahkan oleh orangtuaku sekalipun. Lantas jika menelisik ke belakang, maka aku dapat mengingat bagaimana kemunculan Eva pertama kali. Saat itu aku membentuk karakter Eva secara sadar agar bisa terlepas dari belenggu aturan yang diciptakan oleh kedua orangtuaku sehingga aku dapat mengeluarkan segala unek-unek dan penolakan terhadap kendali ayah dan ibu. Semua itu tentunya hanya dapat kulakukan dengan bantuan Eva sebagai perantaranya.

Selagi aku sibuk mengenang memorial lama salah seorang pelayan datang menghampiri dan menawariku berbagai macam menu lalu dengan tegas aku menjawab, “Hanya secangkir teh melati.” Setelah pelayan itu pergi, seorang wanita datang, dia mengaku sebagai kenalan ibu. Kami pun mulai berbincang, hanya saja aku tak tahu pasti kemanakah arah pembicaraan ini nantinya.

Cerpen ini ditulis oleh Bella Sapitri, Mahasiswi program studi Sastra Indonesia FIB Unmul 2022



Kolom Komentar

Share this article