Hilangnya Miss April
Mencari sosok yang hilang dan temukan realitas dunia yang tidak adil

Pexels @Ron Lach
“Pak, kata Miss April, dalam bahasa Inggris itu tidak semua huruf harus dibunyikan saat diucapkan, Pak!”
Teman-temanku hanya melihatku dengan tatapan bosan sambil mengelus dada. Pak Kahar tampak sudah jenuh menerima koreksian dariku karena ini sudah kesepuluh kalinya hari ini. Aku memang tidak pandai bahasa Inggris, tapi catatan dari Miss April—yang menghabiskan lebih banyak halaman buku tulis dari mata pelajaran lainnya—sudah melekat di otakku. Satu-satunya orang yang pandai bahasa Inggris di kelas ini, si Binar, hanya mengangguk setuju sambil beberapa kali mengacungkan jempol padaku. Maklum, dia anak yang tertutup. Tapi, banyak guru yang tidak tahu kalau anak-anak pendiam biasanya pintar.
“Maaf ya, nak.” Pak Kahar melepas kacamatanya, lalu mengusap kedua matanya dengan kuat. “Kabarnya kepala sekolah sedang mencari pengganti Miss April. Sampai ada guru pengganti, bapak akan mengajar kalian Bahasa Inggris. Atau, kita lanjut belajar Matematika saja?”
Kami serempak menolak. Walau tidak ada Miss April, kami tetap ingin belajar Bahasa Inggris. Sebelum kepergiannya, beliau seperti menanamkan doktrin di kepala kami bahwa Bahasa Inggris itu adalah senjata gratis yang bisa kami kuasai. Beliau bilang, Bahasa Inggris kini sudah seperti barang obral. Kau bisa belajar dari buku yang ada di perpustakaan, video di internet, tulisan random yang ditemui di jalanan, bahkan hingga pedagang sandal di Bali. Katanya, semua itu kembali lagi ke diri kita, mau melatih menggunakan senjata itu atau tidak.
Jujur, analogi itu adalah hal yang cukup keren ketika didengar oleh murid SMP. Tentu, aku tak percaya kata penyemangat klise seperti itu karena satu-satunya alasan aku belajar adalah untuk mendapatkan nilai. Tetapi, ketika ilmu dari Miss April mulai berguna di kehidupanku, aku pun mulai sadar. Sekarang, aku sudah bisa membaca fan-fiction anime kesukaanku, dan aku tak takut lagi untuk meninggalkan komentar baik di kanal YouTube streamer bule favoritku. Miss April juga menempatkan dirinya sebagai seseorang yang selalu sigap membantumu, sehingga kadang kulihat ia sebagai seorang guru, kakak, bahkan teman. Miss April benar-benar berbakat menjadi seorang guru.
Sayangnya, ini minggu ketiga setelah beliau menghilang. Aku pikir beliau terpaksa mundur dari pekerjaannya. Tetapi, dari gosip guru yang beredar, beliau benar-benar hilang dari muka bumi. Kami saling bertukar informasi dan berupaya mencari Miss April di internet dan semua sosial media, tapi nihil. Oh, nomor HP-nya juga sudah tidak aktif, kabarnya karena beliau sering berganti-ganti nomor. Ada yang bilang beliau seorang intel. Tapi, daripada menjadi intel, menurutku beliau lebih berbakat jadi seorang guru. Hari Selasa adalah hari yang kunanti karena ada pelajaran Miss April, tapi, buku catatanku berhenti di tanggal 5 Januari, satu bulan yang lalu.
“Katanya, Miss April itu terlibat hal-hal buruk. Dia juga tidak suka ikut gosip guru, jadi guru yang lain bilang dia seperti menyembunyikan sesuatu,” kata Binar kepada teman-teman perempuannya.
“Aku tidak percaya itu,” ujarku, “Miss April itu pintar, buat apa dia melakukan kejahatan?”
“Siapa tahu dia butuh duit?” timpal Ferdi. “Soalnya, waktu Miss April membelikan kita cokelat sehabis ulangan harian, dia sempat bilang itu gajinya yang tak cair-cair.”
“Apa sebenarnya Miss April dipecat, ya? Karena, kan, dia suka pakai make-up,” kata temanku yang lain.
Obrolan tentang Miss April hari ini masih didominasi oleh gosip tanpa fakta. Aku menarik diri dari obrolan itu karena tak ada yang menarik. Tiba-tiba, Ferdi menghampiriku.
“Pulang sekolah ngumpul di tempat biasa, yuk!”
Aku mengangguk setuju, tapi tersadar bahwa aku tak bisa mendatangi rumahnya. Aku sudah janji akan menemani ibu ke lapas. Kami ingin menjenguk Nenek. “Eh, aku lupa ternyata aku sudah ada janji. Besok, ya?”
“Iya deh,” balasnya. “Ke lapas, ya?”
“Iya. Soalnya jadwal kunjungannya cuma hari ini.”
Pulang sekolah, aku membantu ibu mempersiapkan barang-barang untuk nenek dan membungkus rengginang kesukaan nenek. Aku tahu ini absurd bin ajaib, tapi nenekku benar-benar dipenjara karena kasus pencurian. Dia mengambil kayu bakar dan sesekali jantung pisang dari lahan tetangganya yang kaya raya. Karena kami orang kecil, kami tidak bisa melawan, dan akhirnya nenek memilih untuk menghabiskan masa tuanya di penjara.
Tapi, katanya penjara adalah tempat yang mendingan daripada harus sendirian di rumah. Di lapas, nenek selalu mendapat makanan teratur, memiliki banyak kegiatan seru seperti belajar menganyam, merajut, dan lain-lain. Ironisnya, ibu bilang kita beruntung karena tak payah membayar panti jompo. Penjara sudah merawatnya dengan baik.
Seperti biasa, aku dan ibu naik angkot menuju lapas. Begitulah, setelah mengurus administrasi untuk menemui nenek, kami bercerita tentang banyak hal. Sembari mendengarkan cerita nenek yang itu-itu saja tentang rutinitasnya, tiba-tiba mataku menangkap sosok yang amat familiar. Tawa renyah itu pernah kudengar di kelas saat kami berhasil menyelesaikan latihan grammar setara level anak TK Singapura yang sulitnya level dewa. Itu Miss April. Dia berjalan bersama seorang polwan sambil sedikit bercanda tawa. Ia mengenakan baju tahanan, tetapi wibawanya tak hilang karena itu. Ia tetap guru yang aku kenal.
Detik ini, ingin sekali aku memanggilnya “Miss!” namun aku tak ingin orang tahu beliau guru. Ingin sekali aku berlari kepadanya, menyampaikan bahwa teman-teman sudah bersusah payah mencarinya hingga ke ujung dunia, dan bertanya apa yang beliau lakukan hingga berakhir di sini. Gawat. Ibu polwan itu membawanya pergi ke tempat yang lebih jauh di lorong gelap itu, entah apa isinya.
“Ibu,” panggilku, “Itu ke mana?” tanyaku sambil menunjuk ke lorong yang tak ada ujungnya itu.
“Penjara, mungkin,” balas Ibu santai. “Ya, kan, nek?”
Nenek mengangguk. Berarti, Miss April dipenjara. Kenapa?
“Nek,” panggilku lagi. “Kakak tadi kenapa?”
“Entah, kenalanmu ya?”
Melihat raut wajahku yang serius, Nenek menunjuk tasku. Aku menyodorkannya, lalu beliau menunjuk buku dan pensilku. Aku mengerti. Aku segera menulis semua pertanyaan besarku ke secarik kertas yang kurobek serampangan. Nenek mengerti. Ia memasukkan pesan rahasiaku ke bajunya. Dengan begitu, aku hanya perlu menunggu balasan Miss April.
Seminggu setelahnya, aku membatalkan semua janji menghadiri acara makan-makan sekelas setelah sekolah karena aku akan ke lapas. Nenek mengerti. Ia memberiku balasan dari Miss April.
“Dear Satya,
At some point in your life, you will realize that the world is not always fair. So, keep fighting in your own way, because your voice matters, and you must keep it safe within you.
P.S. jika kamu belum mengerti maksud surat ini, teruslah belajar sampai kamu bisa memaknainya, ya!
Best Regards,
Miss April”
Cerpen ini ditulis oleh Andi Syifa Hanifaturrizkia, mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Unmul 2022