Quo Vadis: Anggaran BRIN yang Semakin Menyusut, Meredupnya Dunia Riset dan Pendidikan Indonesia
Berkurangnya anggaran BRIN dari tahun ke tahun dan konsekuensinya bagi Indonesia
- 07 Sep 2023
- Komentar
- 884 Kali
Sumber Gambar: Website BRIN
Dunia penelitian dan pendidikan sudah seharusnya menjadi tulang punggung kemajuan bangsa. Tidak terhitung berapa banyak filsuf yang mengumandangkan bahwa masyarakat yang cerdas adalah faktor utama dalam kemajuan sebuah peradaban. Mulai dari Aristoteles di dunia Barat, dan Konghucu di Peradaban Tionghoa. Kecerdasan masyarakat ini dialirkan melalui dunia penelitian dan riset demi kemajuan bangsa.
Negara-negara yang maju adalah mereka yang mengedepankan dunia riset dan penelitian seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Inggris. Negara kecil juga seketika bisa menjadi perhatian seluruh dunia seperti Taiwan dengan perusahaan TSMC-nya dan Belanda dalam sektor industri semikonduktor. Iran pun turut mengalami hal serupa. Di sisi ekonomi, Iran tidak sebesar negara yang sebanding dengannya. Namun, di sisi teknologi, mereka bisa memosisikan dirinya di kancah global.
Dilansir dari International Science Ranking dari Scimago, Indonesia menduduki peringkat 51 dari jumlah dokumen ilmiah yang mendapatkan sitasi. Indonesia berada di belakang Iran yang menduduki peringkat 29 dan bertengger dengan negara yang jauh lebih kecil dari Indonesia seperti Serbia dan Kroasia. Posisi Indonesia bahkan tak lebih unggul dari Pakistan yang berada di peringkat 44.
Namun, bagaimana dengan kondisi riset Indonesia saat ini? Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dari tahun ke tahun mengalami penurunan anggaran. Kepala BRIN Laksana Tri Handoko angkat suara Februari pada lalu. Laksono menyatakan, anggaran riset BRIN dari tahun-ke tahun menurun.
Dilansir dari Detik.com, Pada tahun 2018, anggaran BRIN berjumlah 26 triliun, menurun pada tahun 2019 menjadi 21 triliun, 2020 menjadi 18 triliun, 2021 menjadi 12 triliun, 2022 berkisar di angka 7 triliun, dan pada tahun 2023 sekitar di angka 6,5 hingga 7 triliun.
Dana BRIN merosot sebesar 19 triliun dari tahun 2018. Dana yang menyusut ini diperuntukkan tak hanya bagi riset, tetapi juga biaya operasional lainnya. Tidak jarang pemberitaan tentang anggaran BRIN yang terbatas bermunculan di media massa hingga media sosial. Lantas akan seperti apa dunia riset Indonesia?
Pemerintah seharusnya sadar akan pentingnya dunia riset. Bangsa ini dibangun di pundak kaum intelektual yang berpendidikan tinggi demi kemajuan bangsanya. Namun, kita bisa lihat bagaimana kondisi intelektualisme di Indonesia.
Anti intelektualisme yang marak dibuktikan dengan ditolaknya fakta-fakta empiris seperti bumi datar dan juga penyelewengan fakta sejarah yang dapat dilihat dari berbagai macam hal di media sosial. Sayangnya, cukup banyak yang masih terlena jika kita bergeser sedikit ke kolom komentar.
Tidak jarang juga kita mendengar penolakan terhadap teori-teori yang telah dibangun. Tidak heran tanpa dorongan dari pemerintah, budaya intelektual Indonesia perlahan-lahan akan kian tergerus.
Riset dapat dijadikan tonggak utama dalam penyelesaian masalah yang ada di Indonesia. Di ilmu sosial, penelitian sosial adalah solusi bagi berbagai macam permasalahan sosial. Di ilmu Saintek, penemuan terobosan-terobosan baru dapat mempermudah kehidupan manusia dengan munculnya inovasi teknologi.
Solusi yang nampaknya sederhana seperti kembali meningkatkan anggaran lembaga-lembaga pendidikan dan riset yang semestinya dilakukan juga nampaknya sulit. Kini, langkah pemerintah cukup jelas mengarah pada komersialisasi pendidikan dengan berkembangnya PTN-BH seakan-akan menampilkan negara yang melepaskan tangan dari fungsi pelayanan dan pemberdayaannya.
Beban kerja yang luar biasa demi memenuhi Tri Dharma Perguruan Tinggi serta beban administratif seakan tak sebanding dengan pendapatan yang diterima dosen-dosen. Rimba birokrasi yang perlu dipenuhi untuk melakukan riset juga perlu disederhanakan.
Dunia birokrasi Indonesia yang masif juga memengaruhi dunia pendidikan dan riset. Keluh kesah para peneliti BRIN tidak hanya sebatas anggaran, tetapi juga perkara birokrasi. Seakan-akan para peneliti juga merupakan seorang birokrat yang bekerja di belakang meja. Pemerintah seharusnya meningkatkan anggaran di dunia pendidikan dan riset serta menyederhanakan birokrasi mengenai pendidikan dan penelitian.
Masyarakat yang terkena dampak lemahnya dunia pendidikan dan penelitian menjadi terlena jika dihadapi dengan dua dunia ini. Menuntut masyarakat untuk menempuh pendidikan tinggi juga sulit karena budaya intelektual Indonesia tidak dibangun. Namun, bagi mereka yang telah masuk ke dalam dunia ini seperti para mahasiswa, dosen, guru, peneliti, dan lainnya yang serupa.
Sudah seharusnya elemen masyarakat ini menyuarakan haknya lebih keras. Saling bahu membahu memajukan dunia pendidikan dan penelitian Indonesia. Layaknya sebuah pepatah Yunani, kita berdiri di atas pundak raksasa. Kita bisa hidup seperti sekarang ini sebab usaha yang diperjuangkan para pendahulu. Dalam dunia pendidikan dan penelitian, kita dapat hidup seperti ini dikarenakan kumpulan ilmu dan pengetahuan yang telah dibangun sejak dahulu kala.
Opini ditulis oleh Marcello Ahimsa Hayamaputra, mahasiswa Ilmu Pemerintahan, FISIP 2021.