Opini

Perundungan di Indonesia Menjadi Identitas Bangsa

Kasus Timothy menegaskan lemahnya penanganan perundungan dan pentingnya kampus yang aman

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar: Pexels

Perundungan ialah tindakan yang dilakukan oleh seseorang dengan sengaja untuk membuat si korban merasa tersingkirkan dengan tujuan menghina, mengolok, dan mengejek kekurangan orang lain. Perundungan di Indonesia ini masih sangat sering terjadi, karena banyak oknum yang merasa paling berkuasa untuk menindas korban yang lemah. 

Berdasarkan keterangan Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) yang dikutip Goodstats, pada 2023 terdapat 285 kasus, maka pada 2024 jumlahnya melonjak menjadi 573 kasus, naik lebih dari 100 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Dari total tersebut, sekitar 31 persen berkaitan langsung dengan perundungan. Angka ini memperlihatkan bahwa perundungan masih menjadi bentuk kekerasan yang paling dominan di sekolah atau di kampus.

Perundungan di Indonesia masih sering kali terjadi disebabkan oleh beberapa faktor di antaranya bentuk balas dendam, ikut-ikut dengan teman, memiliki kontrol diri yang rendah dan tidak memiliki perasaan bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan. Sehingga perundungan ini sering kali berdampak kepada individu yang berada di lingkungan di mana perundungan kerap kali terjadi. 

Peran pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) terus memperkuat implementasi kebijakan anti-bullying di sekolah, khususnya di tingkat menengah atas. Langkah ini bertujuan untuk menciptakan lingkungan belajar yang aman dan kondusif, yang bebas dari kekerasan dan intimidasi. 

Dengan kebijakan ini, diharapkan dampak buruk bullying terhadap kesehatan mental dan prestasi akademik siswa dapat diminimalisir. Ada beberapa undang-undang (UU) yang dapat menjadi dasar hukum bagi penanganan kasus bullying. Di antaranya, Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014 yang menegaskan bahwa segala bentuk kekerasan terhadap anak, termasuk bullying, dapat dikenakan hukuman pidana hingga 15 tahun penjara. 

Selain itu, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) Nomor 19 Tahun 2016 juga bisa diterapkan apabila terjadi penyebaran konten bullying melalui media sosial, yang dapat merusak nama baik korban. Meskipun kebijakan anti-bullying sudah ada, pelaksanaannya masih menghadapi berbagai hambatan. Salah satu tantangan terbesar adalah kurangnya sumber daya dan pelatihan, terutama di sekolah-sekolah yang berlokasi di daerah terpencil.

Seperti halnya kasus Timothy. Dugaan perundungan di perguruan tinggi tersebut viral setelah seorang mahasiswa, Timothy Anugerah Saputra, ditemukan terkapar di halaman gedung FISIP setelah melompat dari lantai empat gedung fakultas itu pada Rabu (15/10). Timothy dinyatakan meninggal setelah sempat  mendapatkan perawatan di rumah sakit. Kondisi Timothy saat itu tersebar di grup Whatsapp sebagian mahasiswa yang tergabung di himpunan mahasiswa dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). 

Alih-alih bersimpati dan berempati, para mahasiswa di grup tersebut malah mengolok-olok. Obrolan nirempati di grup pesan mahasiswa universitas itu viral di media sosial dan menuai amarah warganet. Universitas Udayana kemudian mengeluarkan pernyataan pada Jumat (17/10). Dalam pernyataan itu, disebut isi percakapan terjadi setelah mendiang meninggal dunia sehingga percakapan tertulis yang beredar tidak berkaitan atau menjadi penyebab Timothy menjatuhkan diri. 

Sebagai mahasiswa Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKN) di Unmul, penulis meyakini bahwa perundungan di Indonesia ini memang masih ada meskipun terdapat berbagai upaya dari pemerintah untuk mengurangi perundungan melalui berbagai upaya. Dengan mendukung program anti bullying di ranah Pendidikan ini biasanya mencakup edukasi dan pelatihan untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman tentang bullying, penegakan aturan yang jelas tentang perilaku yang dilarang, dan dukungan bagi korban.

Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 55 Tahun 2024 yang mengatur Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Perguruan Tinggi (PPKPT). Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendikti Saintek) menegaskan bahwa kampus harus menjadi ruang aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan maupun perundungan. Sehingga kampus menjadi tempat seseorang untuk berpikir bukan sebagai tempat untuk menjatuhkan teman sesama di kampus. Sesama mahasiswa harus saling menghargai dan menghormati kekurangan yang ada.

Kasus Timothy ini menjadi pembelajaran  bersama agar bercanda jangan berlebihan dan jangan  menghina kekurangan kawan. Dalam bermain media sosial juga harus bijak dalam penggunaannya. Sehingga kasus ini dapat berkurang baik di lingkungan masyarakat maupun di dunia pendidikan. Ciptakan suasana yang aman dan damai dalam masyarakat maupun dunia pendidikan.

Polisi juga harus mengusut tuntas kasus ini karena diketahui bahwa pelaku perundungan hanya mendapat nilai rendah. Seharusnya, mereka dikeluarkan dan diproses dengan hukum yang berlaku. Polisi harus bertindak tegas sebab kasus ini sudah melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) di dalam ranah kampus. Itupun harus ada keterkaitan antara Universitas dan Kepolisian. Penegakan hukum ini yang diperlukan di Indonesia yang masih tergolong rendah. 

Perundungan yang sekarang masih ada harusnya dikurangi karena ini mencakup kesehatan mental dan fisik yang dilakukan oleh oknum pelaku yang tidak bertanggung jawab atas tindakan yang mereka perbuat. Oknum pelaku ini seharusnya bertanggung jawab atas tindakan yang mereka lakukan di kampus.

Opini ini ditulis oleh Muhammad Hanif Hakim, mahasiswa Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan FKIP Unmul 2025



Kolom Komentar

Share this article