Nyali Rakyat yang Ngotot Merdeka
Ada dua tujuan utama kedatangan prajurit-prajurit sekutu Brigade 49 yang dipimpin oleh Brigadir Mallaby di Surabaya, 25 Oktober 1945. Pertama, melucuti senjata tentara Jepang. Kedua, membebaskan orang-orang Eropa yang menjadi tawanan perang.
SKETSA - Ada dua tujuan utama kedatangan prajurit-prajurit sekutu Brigade 49 yang dipimpin oleh Brigadir Mallaby di Surabaya, 25 Oktober 1945. Pertama, melucuti senjata tentara Jepang. Kedua, membebaskan orang-orang Eropa yang menjadi tawanan perang. Di antara banyak tawanan iyu, terdapat orang-orang Belanda.
Sejak awal rakyat Surabaya tidak menyukai kemunculan tentara sekutu. Terlebih lagi senjata tentara Jepang sudah lebih dulu dilucuti oleh rakyat. Senjata telah milik rakyat, tetapi tentara Inggris tidak mau peduli dan tetap memaksa untuk mengambil senjata rakyat. Gesekan ini menjadi pemicu atas kemarahan rakyat Surabaya terhadap sekutu. Lalu pada senja, 30 Oktober 1945, di tengah kerusuhan, Brigadir Mallaby mati usai mendapat tembakan peluru pemuda Surabaya dari jarak dekat.
Kematian Mallaby itu melahirkan murka tentara sekutu. Pada 9 November 1945 Jenderal Mansergh memberi ultimatum kepada rakyat Surabaya untuk menyerahkan senjata paling lambat pukul 6 pagi 10 November 2016. Mansergh juga meminta agar orang yang bertanggungjawab atas tewasnya Mallaby diserahkan kepada Inggris. Pengumuman itu langsung disebar ke seluruh penjuru kota.
Tetapi, rakyat memilih tidak peduli. Dalam pidatonya 10 November 1945, Bung Tomo lantang menyemangati rakyat. “Selama banteng-banteng Indonesia masih mempunyai darah merah yang dapat membikin secarik kain putih merah dan putih, maka selama itu tidak akan kita mau menyerah kepada siapa pun juga,” isi pidato Bung Tomo.
Peperangan besar itu dimulai. Jumlah rakyat yang ikut bertempur sekitar 120 ribu orang maju melawan tentara sekutu yang berisi 30 ribu orang dengan perlengkapan senjata perang lengkap. Bidak tank, pesawat tempur, dan kapal perang milik Inggris berhadapan dengan Republik yang banyak di antaranya tidak memiliki pendidikan militer. Nyali rakyat Surabaya tak kendur sedikit pun, meski secara fakta perang dan dinyatakan dalam jumlah korban mereka telah kalah telak.
“Selama ini perlawanan terhadap Jepang dan Belanda itu berupa taktik gerilya. Sangat jarang ada rakyat yang berperang secara terbuka. Ketika 10 November mereka perang terbuka banget, tidak ada lagi pakai taktik ini-itu,” kata Astrini Eka Putri, dosen Sejarah, Fakultas Ilmu dan Pendidikan (FPIK) kepada Sketsa.
Kengerian itu ditulis David Wehl dalam Birth of Indonesia (1949) seperti dikutip Ben Anderson dalam Revoloesi Pemoeda. “Di pusat kota, pertempuran lebih dahsyat, jalan-jalan harus diduduki satu persatu, dari satu pintu ke pintu lainnya. Mayat dari manusia, kuda-kuda, dan kucing-kucing serta anjing-anjing bergelimpangan di selokan; gelas-gelas berpecahan, perabot rumah tangga, kawat-kawat telepon bergelantungan di jalan-jalan dan suara pertempuran menggema di tengah-tengah gedung-gedung kantor yang kosong.”
Diperkirakan 6 ribu sampai 16 ribu rakyat menjadi korban, sedangkan sekutu kehilangan 600 sampai 2 ribu tentara. Astrini mengatakan, disinyalir tidak pernah ada korban perang sebanyak itu sebelumnya.
“Meskipun di daerah lain bukan tanpa perjuangan seperti Kalimantan, Sulawesi, Sumatera, dan Papua juga ada. Cuma jarang yang ditemui korban jatuhnya sedemikian banyak,” ungkapnya.
10 November 1945 menjadi puncak perlawanan rakyat Indonesia. Harta, keluarga, dan nyawa semua berani digadai demi kemerdekaan yang telah diimpikan rakyat. (wal)