Opini

Mindanao di Indonesia: Cermin Mispersepsi dan Lemahnya Literasi

Potret anak-anak yang melewati sungai menuju sekolah di Mindanao, Filipina. (Sumber: detikNews)

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Mungkin masih segar diingatan kita bahwa dalam berita BBC yang sempat dikutip oleh detikcom mengenai perjuangan anak-anak di Mindanao, Filipina untuk pergi ke ke sekolah (31/1) menjadi ramai diperbincangkan oleh netizen, khususnya pada laman Facebook, detikcom

Uniknya, netizen bukan berkomentar mengenai minimnya sarana transportasi atau peran pemerintah Filipina dalam membangun infrastruktur di daerah tersebut, malah menyerang pemerintah Indonesia serta menyebut Presiden Joko Widodo gagal dalam pembangunan infrastruktur yang selama ini selalu menjadi prioritas dan kebanggaannya. Tidak hanya itu, mereka juga mengaitkan kebijakan utang pemerintah Indonesia yang masih berhubungan dengan pembangunan infrastruktur.

“Bruakakak. Bangun jalan tol sampai ngutang. Tapi nyatanya tetep aja rakyat miskin gak bisa menikmati hadeh rezim sontoloyo,” tulis salah satu netizen.

Hal ini tentu saja salah sasaran dan salah kaprah, mengingat Mindanao faktanya berada di Filipina, bukan di Indonesia. Hal ini membuat BBC Indonesia kemudian mengunggah kembali unggahan mereka pada 3 Februari dengan catatan, “PS: Mindanao bukan di Indonesia”. Pada laman Facebook detikcom, mereka juga menambahkan tagar #filipina.

Tidak sampai situ, hal ini kemudian menjadi bahan olok-olok para netizen yang mengetahui fakta tersebut. Dari mengutuki netizen yang “asal bunyi” dan tidak tahu letak Mindanao, sampai mempertanyakan apa hubungannya dengan capres petahana Joko Widodo.

Melihat kejadian konyol ini, dapat dikatakan bahwa masih banyak warganet Indonesia yang mispersepsi dan mengonsumsi informasi dari hanya membaca judul. Hal ini tentu sangat sering ditemui di berbagai media sosial, seperti Facebook. Warganet Indonesia tidak terbiasa membaca secara teliti dan menelaah informasi tersebut baik-baik sebagaimana seharusnya.

Sebuah studi bertajuk “Limited Individual Attention and Online Virality of Low-Quality Information” (2017) mengatakan bahwa informasi berkualitas rendah cenderung menjadi viral, memberikan interpretasi yang salah dengan volume yang tinggi. Ini membuktikan, bahwa kebanyakan orang sering kali kesulitan menyaring informasi yang tersedia di internet atau media sosial karena banyaknya berita dengan topik yang serupa namun tumpang tindih. Lalu, apakah sebenarnya orang-orang Indonesia tidak peduli?

Apabila dikaji lebih lanjut, ternyata orang-orang Indonesia juga memiliki tingkat ketidakpedulian serta mispersepsi yang tinggi. Dilansir dari tirto.id, pada studi lembaga spesialis riset pasar asal Inggris, Ipsos MORI, Indonesia secara berturut-turut masuk dalam daftar 10 besar negara dengan indeks ketidakpedulian dan mispersepsi tertinggi pada 2016 hingga 2017.

Indeks ini didapat berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di 40 negara dan distrik mengenai persepsi publik yang salah terhadap kunci dari global issues dan features di negara mereka, misalnya “Hampir semua negara berpikir kekayaan lebih merata daripada yang sebenarnya.”

Mispersepsi bisa terjadi karena berbagai faktor, salah satunya karena mengabaikan berbagai detail dan sering kali melibatkan perasaan atau emosi pribadi ketika menemukan fakta yang ada. Mengingat bahwa tahun 2019 ini adalah tahun politik, kini banyak warganet yang seringkali menyambungkan beberapa hal yang sebenarnya tidak berkaitan dengan pesta demokrasi. Padahal tidak semua hal melulu berbau politik.

Kesalahan persepsi bahwa Mindanao ada di Indonesia sebenarnya tidak jauh-jauh dari tingkat pendidikan dan budaya literasi di Indonesia—yang masih menjadi PR pemerintahan kita. Tingkat literasi Indonesia tergolong rendah, berdasarkan data dari Programme for International Student Assessment (PISA) mengungkapkan bahwa Indonesia ada di peringkat 64 dari 72 negara yang rutin membaca. Studi PISA juga mengungkapkan bahwa sejak 2003-2015, anak-anak Indonesia masih memiliki gap yang cukup jauh dari standar kemampuan literasi agar dapat bersaing secara global. Bahkan, menurut data dari Central Connecticut State University dalam “World’s Most Literate Nations”, Indonesia berada di peringkat 60.

Lalu kenapa kondisi ini masih tidak berubah meski pemerintah mengaku telah menggelontorkan banyak dana untuk pendidikan pada APBN kita? Jawabannya, tentu saja karena ada permainan politik dalam bidang pendidikan di Indonesia. Adanya kepentingan politik membuat mereka mudah mengumpulkan sumber daya yang dapat melakukan kontrol politik, ketimbang menciptakan masyarakat cerdas yang kompetitif dan memiliki daya saing global. Hal ini mungkin membenarkan riset dari Lowly Institute di Australia pada “Beyond acces: Making Indonesia’s Education System Work” (2018) di mana mereka menemukan bahwa salah satu masalah utama yang menghambat adalah permainan politik dan kekuasaan dalam bidang pendidikan, khususnya oleh elit politik lama.

Masih pada euforia pesta demokrasi, sebagai masyarakat saya sangat mengharapkan bahwa selanjutnya pemerintah dapat lebih memperhatikan pendidikan serta literasi di Indonesia sehingga kita dapat siap bersaing secara global dengan kemampuan yang memadai.

Ditulis oleh Christnina Maharani, Mahasiswi Akuntansi, FEB 2017.



Kolom Komentar

Share this article