Opini

Merefleksikan Pendidikan Pasca Pandemi

Mari merefleksikan pendidikan pasca pandemi.

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar: New York Times

Pandemi Covid-19 sudah setahun lamanya hadir di tengah kehidupan manusia. Di Indonesia, usia formalnya sekitar sembilan bulan sejak pemerintah mengumumkan kasus pertama. Ibarat disrupsi yang hadir menyerang secara tiba-tiba. Efek kejutnya membuat kelabakan spesies manusia.

Pasca pandemi atau dengan kata lain disebut “post-pandemic” dapat dimaknai sebagai kondisi sejak pandemi Covid-19 menyerang hingga setelahnya. Pasca pandemi tidak mesti dimaknai ketika pandemi usai. Tidak demikian sepantasnya kata ‘post’ dimaknai.

Pasca pandemi boleh dimaknai sebagai dampak pandemi Virus Corona sejak pertama kali menyerang hingga setelahnya selama dampak dan pengaruhnya masih terjadi. Pasca pandemi berarti kemarin, hari ini dan hari depan ketika pengaruh pandemi memberikan dampaknya. Baik secara praktik maupun dalam hal produksi pengetahuan dan kebudayaan.

Dunia pendidikan adalah satu dari sekian banyak sektor yang terdampak oleh pandemi Covid-19. Tatap muka di kelas dibatasi, semua serba daring (dalam jaringan) atau lebih dikenal serba online. Aplikasi-aplikasi pembelajaran daring mendadak booming. Manusia dipaksa me-restart dirinya, termasuk caranya dalam proses belajar mengajar di universitas.

Sejak dekade 60-an di abad XX, dunia sudah membincangkan pandangan filosofi mengenai postrukturalisme. Dunia dipandang tak mesti berpusat. Dalam hal ini, pemikir postruktural dan postmodern lebih condong untuk mengakhiri cara pandang yang menganggap barat hasil pencerahan sebagai pusat.

Satu hal yang berusaha digali oleh pemikir postruktural dan postmodern adalah sentralisasi Eropa (Eropasentris) dan pemujaan atas modernitas. Barat yang modern tidaklah mesti menjadi pusat dan kiblat semua negara di dunia, apa lagi negara bekas jajahan seperti Indonesia. Modernitas juga punya kelemahan, terutama dalam memperlakukan sesama manusia dan lingkungan hidup. Pemanasan global dan rasisme serta pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) adalah beberapa dari sekian tanda dari kegagalan pencerahan ala Eropa.

Meski demikian, pemikiran postrukturalisme dan postmodernism dinilai banyak kalangan masih memiliki anasir antroposentrisme yang kuat. Manusia masih dianggap sebagai subjek dominan dari subjek lainnya, termasuk menjadikan virus sebagai subjek. Makhluk renik sejenis virus masih belum dihitung sebagai subjek setara hingga hadirnya Virus Corona.

Pandemi virus Corona mengkritik dan membanting habis antroposentrisme. Manusia ternyata bukanlah subjek dominan yang paling otoritatif. Manusia bisa tersingkir dan terkurung oleh subjek kecil dan makhluk renik yang kerap dikenal dengan sebutan virus. Dalam kata lain, virus mendisrupsi dan mendekonstruksi kuasa dominan manusia sebagai khalifah tunggal di Bumi.

Pada tahun 2015, terbit buku dengan judul The NonHuman Turn yang diedit oleh Richard Grusin. Buku ini menegaskan bahwa non-manusia adalah subjek yang mesti diakui keberadaannya. Dengan sendirinya, manusia tak bisa lagi mengaku sebagai penguasa segalanya di Bumi. Manusia bukanlah satu-satunya subjek dalam kelangsungan hidup semesta. Secara tak langsung, antroposentrisme dilucuti di dalam ide-ide di buku ini.

Senada dengan The NonHuman Turn, salah satu penulis dari buku tersebut yakni Timothy Morton menerbitkan bukunya berjudul Being Ecological pada tahun 2018. Buku ini menekankan pentingnya manusia mempertimbangkan faktor ekologis dalam kehidupannya di Bumi.

Menjadi ekologis salah satu gunanya ialah memperpanjang napas Bumi. Barangkali, pesan lainnya adalah sebelum Bumi dan subjek lainnya menegur manusia yang terlalu dominan dan merusak, manusia sebaiknya bertobat terlebih dahulu dan menjadi lebih ekologis (mencintai lingkungan).

Kedua buku di atas sesungguhnya banyak didiskusikan oleh kalangan terbatas akademisi dan sarjana belakangan ini. Inti ruang diskusinya adalah melihat kembali egosentrisme manusia dalam menjalani kehidupan selama ini hingga satu subjek non-manusia yaitu virus mendisrupsi dan mendekonstruksi habis kuasa manusia di Bumi.

Dapat dikatakan, bahwa makhluk non-manusia jengah dengan ulah manusia yang menciptakan krisis ekologis, perubahan iklim hingga pemanasan global. Pendeknya, kuasa manusia dalam antroposentrisme beberapa abad terakhir membuat makhluk lain geram dan menegur manusia secara tegas. Hingga akhirnya, manusia sendiri tergopoh-gopoh dan berteriak tentang pandemi ketika satu dari sekian banyak makhluk itu menyerang. Hal itu kemudian menjadi pertanyaan, tobatkah manusia? Berakhirkah kuasa antroposentrisme?

Di tengah pandemi, manusia akhirnya berakrobat dan tak kehilangan akal untuk lolos dari amukan virus. Disrupsi dihadapi dengan inovasi. Bahkan dengan perlombaan menemukan vaksin. Alih-alih reflektif, manusia sesungguhnya menunjukkan watak dan perangai resistensi.

Berkaca dari pandangan Timothy Morton, Richard Grusin dan yang lainnya, akankah pendidikan pasca pandemi mengedepankan aspek intersubjektivitas dan ecological oriented (berorientasi lingkungan)? Akankah pendidikan ke depan mengarah pada bagaimana manusia melakukan tobat ekologis? (Meminjam salah satu judul artikel di salah satu media beberapa bulan lalu).

Akankah pendidikan di tengah pandemi ini akan mencurahkan pikiran dan tenaganya untuk mengurusi segala hal terkait krisis ekologis, pemanasan global dan perubahan iklim yang membuat subjek-subjek non-manusia seperti virus tidak semakin menegaskan diri untuk menegur manusia yang terlalu dominan di Bumi?

Terakhir, pertanyaan reflektif yang penting dijawab adalah: jelang awal dekade ketiga abad XXI ini, akankah pendidikan mengarah dan diarahkan untuk menciptakan manusia yang lebih ekologis, sebagaimana Morton tuliskan dalam bukunya di atas? Ataukah semakin ingin menjadi manusia segalanya?

Bagi Universitas Mulawarman, akankah keberlangsungan hutan tropis lembap Kalimantan menjadi prioritas untuk diselamatkan di tengah ekspansi industri ekstraktif pertambangan dan perkebunan monokultur kelapa sawit? Akankah Unmul akan semakin being ecological?

Selamat memasuki dekade ketiga abad XXI. Mari bercermin untuk menatap masa depan pendidikan untuk kehidupan umat manusia di Bumi pasca pandemi. Semoga kita semakin reflektif dan lebih ekologis.

Ditulis oleh Nasrullah, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Unmul.



Kolom Komentar

Share this article