PPATK dan Wewenang Pemblokiran: Saat Hukum Bertemu Kepentingan
Rekening rakyat kecil diblokir tanpa pemberitahuan, publik pertanyakan keadilan dan transparansi PPATK
- 04 Aug 2025
- Komentar
- 116 Kali

Sumber Gambar: Website Pexels
Belakangan ini banyak kejadian yang sangat membingungkan yang berkaitan dengan pemblokiran rekening. Banyak masyarakat bertanya tanya apa yang sudah mereka perbuat sehingga rekening mereka terdampak pemblokiran. Mulai dari kalangan atas hingga bawah semua terkena imbasnya.
Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) adalah sebuah lembaga independen yang memiliki tujuan awal pembentukan sebagai pencegahan terhadap kejahatan, tindak pencucian uang, dan pendanaan terhadap kelompok separatis terorisme di Indonesia.
Namun, lembaga yang didirikan pada 17 April 2002 ini menuai kontroversi di kalangan rakyat kecil. Bagaimana tidak, akhir-akhir ini banyak berita memilukan berseliweran di sosial media. Banyak masyarakat mengalami pemblokiran rekening bank secara mendadak tanpa adanya pemberitahuan terlebih dahulu.
Tentu kejadian ini menumbuhkan kekesalan tersendiri di hati masyarakat. Banyak masyarakat yang ingin menggunakan uang tabungan di rekening, tapi terkendala karena pemblokiran yang terjadi.
PPATK mengatakan kebijakan ini sejalan dengan amanat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Sebanyak 140 ribu rekening dormant dan menyentuh nilai Rp 428,61 miliar.
Banyak yang mempertanyakan kebijakan ini. Mulai dari regulasi yang tidak jelas hingga target pemblokiran yang dinilai tidak tepat sasaran. Alih-alih mencegah tindak pencucian uang, kebijakan ini malah menyusahkan rakyat.
Muncul pertanyaan singkat di kepala penulis, dengan kemajuan teknologi, apakah tidak ada langkah analisis tepat sasaran terhadap tindak kejahatan pencucian uang di negara kita, sehingga memukul rata regulasi yang ada? Tentu hal ini menimbulkan polemik baru.
Pada tahun 1998, terjadi penarikan uang dari rekening bank secara besar-besaran yang menyebabkan krisis moneter. Hal ini terjadi akibat ketidakpercayaan terhadap pihak bank pada saat itu.
Saat ini tidak menutup kemungkinan hal itu bisa terulang kembali. Dengan sistem yang bobrok, kepercayaan masyarakat dapat menurun drastis terhadap pihak penyedia jasa keuangan.
Pemerintah memberikan janji manis yang akan menjamin dana nasabah akan aman dalam proses pemblokiran. Namun, sulitnya pembukaan blokir ini menimbulkan ketidakpercayaan terhadap pemerintah.
Mulai dari susahnya proses pembukaan hingga persoalan waktu yang dibutuhkan terbilang lama bahkan ada yang mencapai 20 hari kerja. Ironi melihat fenomena ini, lantaran ada yang membutuhkan dana tersebut untuk berobat dengan cepat malah terkendala dengan pemblokiran rekening seenak jidat.
Kebijakan ini mulanya berfungsi melindungi hak dan kepentingan pemilik sah serta menjaga integritas sistem keuangan nasional. Implementasi di lapangan sangat jauh dengan tujuan awal.
Banyak yang menilai kebijakan ini sangat menyusahkan rakyat kecil. Bagaimana tidak, beberapa masyarakat desa harus mengurus pembukaan blokir ke kota dan menunggu persetujuan yang entah sampai kapan akan dibuka kembali. Ini sangat merugikan waktu, tenaga dan biaya hanya untuk membuka rekening mereka yang terblokir.
Dari beberapa kejadian yang sudah terjadi, timbul pertanyaan baru di benak penulis. Untuk apa sebenarnya kebijakan ini, hak dan kepentingan seperti apa yang mereka lindungi dan apakah negara mau mengambil hasil jerih payah tabungan rakyatnya sendiri? Apakah ada kepentingan lain di balik semua ini? Beginilah jadinya ketika hukum dihadapkan dengan kepentingan.
Opini ini ditulis oleh Raditya Wahyu Pramuji, mahasiswa program studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan FKIP angkatan 2023.