Ketika Guru Terancam AI: Benarkah Mesin akan Menggantikan Peran Guru?
AI kian canggih, namun sentuhan manusia membuat guru tetap tak tergantikan dalam pendidikan
- 28 Nov 2025
- Komentar
- 80 Kali
Sumber Gambar: AI Generated
Pernahkah kita membayangkan sosok guru di masa depan akan digantikan oleh sebuah mesin? Bagaimana jika di ruang kelas, siswa memulai pembelajaran dengan membuka laptopnya? Di layar muncul sosok asisten digital berbasis Artificial Intelligence (AI) yang siap menjawab pertanyaan pelajaran hari itu.
Dengan satu klik, ia memahami konsep rumit, mengerjakan latihan soal, hingga mendapatkan umpan balik instan. Semuanya terasa cepat, efisien, dan menarik.
Di sudut ruangan, seorang guru memperhatikan dari kejauhan. Ia tersenyum, tetapi di balik senyum itu tersimpan tanya: Apakah suatu hari nanti teknologi secanggih ini akan menggantikan perannya?
Dunia pendidikan memang bergerak sangat cepat. AI kini hadir di ruang kelas dalam bentuk aplikasi pembelajaran otomatis, chatbot yang mampu menjelaskan konsep, hingga sistem penilaian yang bisa mengoreksi pekerjaan siswa dalam sekejap.
Di Indonesia, beberapa sekolah sudah memanfaatkan teknologi ini untuk membantu guru menyusun rencana pembelajaran dan memantau perkembangan siswa secara lebih efisien.
Sekilas, AI tampak seperti “guru ideal”: Tidak pernah lelah, selalu siap, dan mampu bekerja tanpa batas waktu. Namun di balik kecanggihan itu, muncul pertanyaan lebih mendalam: Bisakah mesin benar-benar menggantikan manusia yang mengajar dengan hati?
Fenomena global dan nasional justru menunjukkan bahwa AI tidak diposisikan untuk menggantikan guru. Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah menegaskan bahwa AI dibuat untuk membantu, bukan mengambil alih tugas guru.
Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pun menyatakan hal serupa. AI ada untuk memperkuat peran guru, bukan menghapusnya. Para ahli pendidikan juga mengingatkan ketergantungan pada teknologi dapat melemahkan kemampuan berpikir kritis siswa, sehingga peran guru dalam membimbing karakter dan moral tetap sangat penting.
Guru sejati bukan hanya penyampai ilmu, tetapi pembimbing kehidupan. AI bisa menjawab pertanyaan, tetapi tidak bisa membaca kebingungan di wajah seorang murid, menenangkan siswa yang kehilangan motivasi, atau menyemangati mereka yang gagal.
Guru dapat menghadirkan humor, cerita hidup, inspirasi, dan kehangatan dimensi manusia yang tidak dapat diprogram oleh algoritma mana pun. Karena itu, posisi guru sebenarnya tetap tidak tergantikan asalkan guru mampu bertransformasi.
Ada beberapa upaya yang membuat peran guru semakin kokoh di era AI. Pertama, guru harus meningkatkan literasi digital dan AI, bukan menjauhinya. Guru yang memahami cara kerja AI dapat memanfaatkan teknologi untuk membuat materi pembelajaran, menilai tugas, atau mendesain pengalaman belajar yang lebih menarik.
Kedua, guru perlu memperkuat kemampuan yang tidak dimiliki AI, seperti empati, komunikasi interpersonal, pengelolaan emosi kelas, serta pembinaan karakter.
Ketiga, guru harus mengambil posisi baru sebagai navigator etika teknologi, yakni mengarahkan siswa agar menggunakan AI secara bertanggung jawab, kreatif, dan aman.
Keempat, guru perlu mengembangkan kreativitas pedagogis dengan menghadirkan pembelajaran yang kontekstual, relevan, dan bermakna secara sosial, sesuatu yang sulit dilakukan mesin. Ketika guru mampu menggabungkan teknologi dengan sentuhan kemanusiaan, posisi mereka justru semakin penting dibanding sebelumnya.
Fakta lapangan juga menunjukkan transformasi positif ini sudah terjadi. Di Probolinggo, tiga guru menciptakan metode “AI MISS YOU” yang memanfaatkan AI untuk mendorong siswa berpikir kritis dan memecahkan masalah.
Riset internasional pun menegaskan bahwa kualitas unik guru, interaksi sosial-emosional, kreativitas, humor, dan kebijaksanaan sangat sulit untuk digantikan oleh AI apa pun.
Meski demikian, perkembangan AI tetap menghadirkan tantangan. Siswa mudah tergoda untuk bergantung pada jawaban instan, dan privasi data menjadi isu serius. Di sinilah guru berperan sebagai penjaga moral dan penuntun etika teknologi.
Guru yang melek digital dapat memastikan bahwa siswa tidak sekadar cerdas, tetapi juga bijaksana dalam menggunakan teknologi.
Pada akhirnya, pendidikan bukan hanya soal mencerdaskan pikiran, tetapi memanusiakan manusia. AI dapat membantu memahami dunia, tetapi hanya guru yang dapat membantu murid memahami dirinya sendiri.
Teknologi mungkin mampu mengajarkan cara berpikir, tetapi guru mengajarkan alasan untuk berpikir. AI memang semakin pintar, tetapi tidak memiliki kebijaksanaan yang tumbuh dari pengalaman, rasa, dan empati.
Maka, masa depan pendidikan bukanlah pertarungan antara guru dan mesin, melainkan kolaborasi yang saling melengkapi.
AI mempercepat proses belajar, sementara guru menjaga agar nilai-nilai kemanusiaan tetap hidup. Teknologi dapat menggantikan banyak fungsi, tetapi tidak akan pernah mampu menggantikan jiwa.
Di situlah letak keabadian peran seorang guru selama ia bersedia terus tumbuh, beradaptasi, dan memimpin dengan kemanusiaan.
“Teknologi bisa mengajar, tetapi hanya guru yang bisa mendidik.”
Opini ini ditulis oleh Rahma Ari Lestari, mahasiswa Program Studi Magister Pendidikan Biologi FKIP Unmul 2025