Samarinda Perlu Perbarui Metode Evakuasi Banjir Tiap Tahun
Banjir Samarinda butuh rencana evakuasi jelas, fasilitas layak, dan edukasi kebencanaan yang konsisten
- 26 Nov 2025
- Komentar
- 56 Kali
Sumber Gambar: kaltimpost.com
Di Samarinda, setiap tahun diawali dengan musim hujan. Kota yang merupakan pusat pemerintahan Kalimantan Timur (Kaltim) ini pada dasarnya menjadi lokasi banjir yang terjadi hampir setiap hujan mengguyur. Dalam beberapa tahun terakhir, hujan deras telah melanda beberapa daerah, seperti Sungai Pinang, Pelita, dan Samarinda Ilir. Masalah ini bukan hanya tentang polusi udara atau curah hujan yang tinggi; tetapi juga memengaruhi cara pemerintah dan masyarakat memandang bencana. Dengan kata lain, pola banjir yang tidak menentu menciptakan kebutuhan akan perencanaan yang nyata
Salah satu hal terpenting yang sering diabaikan adalah memastikan keakuratan rencana. Studi ini tidak hanya membahas lokasi evakuasi yang jelas, tetapi juga bagaimana memberikan pengetahuan awal, teknik evakuasi, kolaborasi badan, dan pelatihan untuk hewan darurat. Semua informasi ini harus diperbarui setiap tahun agar tetap relevan dengan kondisi lapangan yang terus berubah.
Akibatnya, banyak warga Samarinda masih bingung tentang apa yang perlu dilakukan saat terjadi banjir besar. Sekolah atau balai desa sering kali menjadi tempat evakuasi, tetapi fasilitasnya kurang memadai seperti air bersih, makanan, dan kamar mandi.
Berdasarkan hukum bencana, ruang evakuasi harus dirancang dengan mempertimbangkan kebutuhan semua orang, termasuk anak-anak, orang lanjut usia, dan penyandang disabilitas. Hal ini menggambarkan bahwa kesiapan fisik dan logistik masih jauh dari ideal.
Pemerintah Kota (Pemkot) Samarinda harus belajar dari daerah lain yang pernah mengalami bencana sebelumnya. Sebagai contoh, Semarang dan Jakarta telah mulai menerapkan sistem penilaian risiko digital dan rencana berkelanjutan yang bermanfaat bagi masyarakat umum.
Samarinda harus mampu mengembangkan metode evakuasi yang mudah diakses, seperti tanda arah di lorong dan pelatihan rutin dengan melibatkan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), Tentara Nasional Indonesia (TNI), Kepolisian Republik Indonesia (Polri), dan petugas lain yang berkaitan dengan masyarakat. Penggunaan aplikasi berbasis risiko juga dapat membantu masyarakat memahami tingkat keparahan evakuasi.
Selain itu, rencana darurat tidak bisa berjalan sendiri tanpa memperhatikan lingkungan sekitar. Penataan ruang, pembersihan sungai, dan pembangunan di daerah rawan banjir harus dilakukan dengan hati-hati. Juga agar masyarakat dapat bekerja lebih efisien sebelum air naik, pemerintah harus meningkatkan sistem informasi cuaca dan dini.
Dengan sistem peringatan yang lebih cepat, orang punya lebih banyak waktu untuk beristirahat. Menghadapi banjir bukan hanya sekadar menyampaikan keluh kesah kepada pemerintah, tetapi merupakan kewajiban bagi seluruh warga negara. Masyarakat harus diajarkan dan diberi pengetahuan agar siswa dapat memahami bencana, belajar bagaimana mengurus diri sendiri, dan mampu saling mendukung selama masa-masa sulit.
Pendidikan kebencanaan harus menjadi program wajib di sekolah. Meskipun banjir setiap musim mungkin tidak dapat dicegah sepenuhnya, tetapi jika Samarinda memiliki rencana evakuasi yang jelas, ringkas, dan berkembang dengan baik, dampaknya mungkin bisa berubah.
Namun, kota ini akan tetap sama setiap tahun: Hujan datang, banjir terjadi, dan masyarakat umum akan kembali ke kehidupan normal mereka setelah beberapa saat tanpa perlu belajar apa pun. Sebagai kota yang sangat rentan terhadap bencana, Samarinda harus pulih dari masa "bertahan" dan melanjutkan ke tahap “siap siaga”.
Opini ini ditulis oleh Junaidi, mahasiswa Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan FKIP Unmul 2025