Ketika Alam Dipelajari Namun Diabaikan di Dunia Nyata
Kerusakan lingkungan makin parah karena sampah, alih fungsi lahan, dan minimnya kesadaran bersama
- 26 Nov 2025
- Komentar
- 78 Kali
Sumber Gambar: Pexels
Sejak usia dini kita selalu diajarkan untuk menjaga lingkungan alam. Dari cara membuang sampah, memanfaatkan barang-barang bekas, dan lain-lain. Alam memberikan kita banyak manfaat dengan sumber daya alam (SDA) yang dapat kita gunakan tanpa batas. Namun melihat kondisi sekarang, rasanya penerapan ilmu dari sekolah seringkali tidak terlaksanakan. Sehingga kita tanpa sadar lambat laun merusak alam dengan cara membuang sampah sembarangan, menebang pohon secara liar, dan mengambil SDA yang tidak lagi direboisasi.
Meskipun kita belajar tentang cara menjaga alam dan melindungi alam di lingkungan sekolah, bukti yang ada di lapangan sangat tidak mencerminkan apa yang kita pelajari. Hal ini menimbulkan kekhawatiran dalam masyarakat terhadap kondisi alam.
Seperti yang kita ketahui, sudah banyak fenemona akibat rusaknya alam. Salah satunya, banjir yang selalu melanda Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) tepatnya di Kota Samarinda. Mengutip berita dari media online DetikKalimantan, Senin (12/5), terjadi banjir yang menggenang di beberapa titik di Samarinda dan mengalami arus deras.
Di samping itu, masih belum bisa dipastikan secara menyeluruh data korban jiwa dan kerugian yang dialami oleh masyarakat Samarinda.
Pakar Perencanaan Wilayah dan Kota dari Unmul, Warsilan, mengingatkan banjir yang semakin parah karena ulah manusia itu sendiri. Banyak hutan dibuka, perumahan dibangun sembarangan, tambang di sana-sini, dan kebiasaan buang sampah sembarangan.
“Semua ini bikin tanah kehilangan daya serap air. Tambah parah lagi kalau drainasenya kecil atau tersumbat. Ya pasti banjir,” katanya.
Selain itu Wakil Wali Kota Samarinda, Nusyirwan Ismail mengemukakan pendapatnya tentang salah satu penyebab permasalahan banjir.
"Hal yang paling utama dari permasalahan banjir ialah, kesadaran masyarakat yang sangat kurang terhadap kebersihan lingkungan, membuang sampah di mana-mana, terutama di sungai menjadi salah satu penyebab pendangkalan anak-anak Sungai Mahakam," sebut Nusyirwan.
Pendapat ini diperkuat oleh data dari Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN). Data tersebut mengemukakan, sampah terbanyak dihasilkan dari limbah rumah tangga sebesar 46,31 persen dari total sampah nasional pada 2024.
Sebagai mahasiswa Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), penulis merasa kita sudah banyak mempelajari bagaimana cara melindungi dan menjaga alam, tanpa adanya kesadaran dari dalam diri untuk praktik langsung menjaga lingkungan.
Kurangnya dukungan dari pemerintah, menambah sulitnya mengatasi keberlangsungan alam. Kalimat “buanglah sampah pada tempatnya” hanyalah slogan yang ditulis di atas papan banner belaka. Buktinya, masih banyak sampah yang berserakan di sekitar kita.
Hal ini terjadi karena kurangnya efek jera dan keteladanan dalam diri untuk membiasakan memilah sampah. Kurangnya tempat sampah yang disediakan di lingkungan masyarakat, mendorong masyarakat membuang sampah sembarangan.
Contoh perilaku seperti ini yang seharusnya kita perbaiki dan kita hilangkan. Bayangkan jika keadaan lingkungan kita bersih dari sampah tentunya tidak ada bencana alam yang datang seperti banjir, polusi udara, meningkatnya suhu, dan kerusakan alam lainnya.
Terdapat beberapa solusi yang dapat kita terapkan dalam kehidupan masyarakat. Memberikan sosialisasi mengenai bank sampah di mana sistem bank sampah tersebut memberikan harga pada sampah siap daur ulang dengan keadaan bersih. Hal ini tentu dapat mendorong semangat masyarakat dalam memilah sampah.
Pengadaan tempat sampah dengan masing-masih jenis yang disebar di berbagai tempat juga memudahkan masyarakat untuk memilah secara mandiri.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa dalam dunia pendidikan, teori tentang menjaga dan melindungi alam tidak cukup jika hanya menjadi pengetahuan tanpa penerapan nyata. Kondisi alam akan terus memburuk tanpa kesadaran, dukungan, dan tindakan seluruh masyarakat. Karena itu, diperlukan kontribusi nyata yang dilakukan secara berkelanjutan agar menjadi gaya hidup baru dan dapat menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman bagi masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.
Opini ini ditulis oleh Cahaya Balqies, mahasiswi Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan FKIP 2025