Opini

Kartini: Suara Perempuan, Suara Perubahan

Film "Kartini" refleksikan perjuangan perempuan, pendidikan, dan ruang aman

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar: IMDb.com

Pada Rabu (23/4), Departemen Kajian dan Keilmuan (KAIL) Himpunan Mahasiswa Pendidikan Sejarah (HMPS) mengadakan acara nonton bareng film “Kartini” (2017) sebagai bagian program kerja departemen, yaitu History Cinema dan bertepatan dengan peringatan Hari Kartini pada 21 April 2025. 

History Cinema malam itu mengusung tema “Kartini: Suara Perempuan, Suara Perubahan” dengan mengundang pemantik diskusi dari Perempuan Mahardhika Samarinda, Refinaya J.

Film “Kartini” (2017) yang disutradarai Hanung Bramantyo ini merupakan film yang mengangkat kisah Raden Ajeng Kartini, seorang pahlawan emansipasi perempuan Indonesia yang memperjuangkan hak perempuan untuk mendapatkan pendidikan di tengah belenggu adat istiadat yang mengikat. Film ini mengambil referensi dari surat-surat asli Kartini yang terkumpul dan dibukukan berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang.

Buku Habis Gelap Terbitlah Terang merupakan salah satu buku yang memuat surat-surat Kartini yang terkenal. Isi buku tersebut menunjukkan bagaimana surat-surat Kartini dapat menggugah hati orang-orang yang membacanya. Dapat dilihat pada salah satu scene di film “Kartini” (2017) bahwa teman-teman Belanda Kartini terkejut akan tulisan tersebut. 

Melihat bagaimana seorang perempuan di Hindia-Belanda dengan tulisan semaju itu, yang tinggal dalam budaya feodalisme, dan kolonialisme Belanda bisa memiliki pemikiran-pemikiran yang maju. Sehingga sampai hari ini pun surat-surat yang ditulis Kartini masih menjadi tulisan yang relevan.

Kita seringkali menemui bagaimana perempuan dihadapkan dengan banyak sekali pilihan dan mereka memiliki kebebasan untuk menentukan pilihannya dengan alasan-alasan tertentu tanpa harus terbelenggu oleh aturan aturan yang mengikat. Seperti contohnya dalam hal pendidikan, perempuan-perempuan yang ingin melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi seringkali dihadapkan dengan berbagai tantangan, seperti situasi ekonomi, dukungan keluarga dan lingkungan yang sangat mempengaruhi. 

Karena memang hal-hal dasar yang harusnya kita dapat menjadi masalah struktural, ketika seseorang tidak bisa mendapatkan pendidikan yang layak dan mudah diakses oleh semua orang tidak hanya untuk orang-rang elite maupun laki-laki saja, peran pemerintah dipertanyakan, apakah mereka benar-benar menjamin kebijakan ‘setiap warga negara mendapat pendidikan’ akan berlaku atau sebaliknya? 

Namun nyatanya dengan apa yang terjadi di lapangan sekarang, tingginya UKT perkuliahan membuat tidak semua orang dapat mengakses pendidikan, dan ini menjadi kendala besar bagi kita yang sedang memperjuangkan pendidikan.

Memaknai perjuangan Kartini sebagai perempuan yang berlawan dan ingin merdeka namun perjuangan Kartini yang hingga hari ini belum selesai, melihat bagaimana banyaknya persoalan mengenai keamanan  perempuan di ruang publik, seperti maraknya pelecehan seksual di instansi pendidikan seperti kampus dan sekolah sekolah, bahkan dengan apa yang terjadi baru-baru ini, seorang dokter kandungan yang melakukan pelecehan kepada pasiennya. 

Perlunya melakukan diskusi dengan meng-highlight bahwa kekerasan seksual tidak pernah menyalahkan korban, apapun kasusnya dan siapapun korbannya. Baik laki-laki maupun perempuan diberikan pilihan untuk tidak melakukan kekerasan. Ketika mereka memilih untuk melakukannya, itulah pilihan mereka, dan itu bukan salah korban. Maka, ruang aman yang sedang coba dibuat, bagaimana perempuan merasa aman, perempuan merasa merdeka seperti apa yang dikatakan Kartini itu tidak bisa muncul begitu saja. 

Ruang aman diciptakan oleh masyarakat dan lingkungan yang mendukung, melihat bagaimana ruang aman saat ini menjadi PR bagaimana untuk kita tidak melakukan kekerasan tapi juga perlu memberikan edukasi dan teguran terhadap orang-orang apabila membuat kesalahan.

Buku Habis Gelap Terbitlah Terang membuktikan bahwa surat-surat Kartini memiliki kekuatan besar untuk menggugah hati pembacanya, meskipun sudah terlampaui 100 tahun jaraknya. Kartini yang hidup di bawah tekanan budaya feodalisme dan kolonialisme Belanda memiliki pemikiran-pemikiran maju, menunjukkan semangat perempuan yang ingin merdeka. 

Tulisan-tulisan dan semangat tersebut masih relevan hingga saat ini, ketika perempuan dihadapkan dengan berbagai macam pilihan dan tantangan, terutama dalam bidang pendidikan yang sayangnya belum sepenuhnya dapat diakses oleh semua kalangan. 

Lalu bagaimana perempuan-perempuan saat ini mengupayakan ruang aman untuk mereka yang tentu saja tidak terbentuk secara instan; membutuhkan partisipasi yang aktif oleh masyarakat, melalui edukasi dan kesadaran pribadi untuk tidak menyalahkan korban dan benar-benar menghormati pilihan setiap individu.

Opini ini ditulis oleh Khofifahtun Maysarah, anggota Departemen Kajian dan Keilmuan Hima Pendidikan Sejarah, FKIP Unmul



Kolom Komentar

Share this article