Demokrasi Berdarah, Salah Siapa?
Universitas Mulawarman (Unmul) sebagai kampus negeri di ibu kota Kalimantan Timur, Samarinda, merupakan kampus rujukan bagi calon mahasiswa yang berada di Pulau Kalimantan, bahkan di luar Pulau Borneo.
UNIVERSITAS Mulawarman (Unmul) sebagai kampus negeri di ibu kota Kalimantan Timur, Samarinda, merupakan kampus rujukan bagi calon mahasiswa yang berada di Pulau Kalimantan, bahkan di luar Pulau Borneo. Kampus dengan mahasiswa yang berjumlah lebih dari 37.000 orang, serta dengan latar belakang akademis yang berbeda, merupakan aset berharga jangka panjang guna pembangunan daerah.
Dari banyaknya mahasiswa secara kuantitas, bukan berarti kampus besar Unmul, tanpa ada masalah di dalamnya. Seharusnya semakin banyak cendekiawan muda, segala persoalan harus bisa diuraikan dengan baik. Tapi dalam kenyataanya, itu tidak semudah membalikan telapak tangan. Berganti orang bukan berganti masalah. Tetapi masalah yang sama kerap timbul juga.
Dalam tulisan ini saya ingin membahas tentang peran mahasiswa dalam partisipasi memajukan Unmul. Salah satu contohnya keterlibatan aktif di organisasi, serta berperan penting dalam menciptakan demokrasi ala mahasiswa di dalam kampus. Bayangkan saja jika separuh mahasiswa Unmul bisa aktif sebagai organisatoris. Pastinya organisasi punya ruang pemberdayaan yang baik bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM).
Hari ini tepat bulan Oktober, empat hari yang akan datang (25/10) Unmul sebagai kiblat perguruan tinggi di Kaltim, akan melaksanakan pesta demokrasi. Pemilihan yang rutin dilaksanakan tiap setahun sekali itu, lagi-lagi bukan tanpa adanya masalah.
Priode sebelumnya pun, setiap pemilihan presiden mahasiswa Unmul pasti kerap menimbulkan suatu permasalahan. Dari pelarangan pemilihan di kampus tertentu, pembakaran surat suara, dan konflik antar organisasi. Bukan hanya itu saja, pada 2014, terjadi konflik berdarah yang melibatkan pihak eksternal masuk ke dalam kampus. Ini semua patut disayangkan, mengingat sebagai mahasiswa, kita selalu diasah dengan menggunakan nalar berpikir bukan dilatih menjadi “tukang pukul”. Terkadang saya secara pribadi pun menyayangkan cara-cara yang selalu dilakukan oleh kawan-kawan mahasiswa tersebut. Apalagi kejadian ini selalu terjadi di tempat dan orang yang sama.
Saya boleh sebut tempat itu, di mana tempat ini adalah tempat saya bermukim dahulu saat menimba ilmu. Salah satunya tempat yang sering rawan konflik adalah Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP). Di FISIP, secara tersirat pun kita semua bersepakat jika berada di rumah akademisi ini, menandakan mahasiswanya pasti pandai berorganisasi. Aktif dan terlibat secara utuh dalam mengabdikan diri di bidang sosial dan politik (organisasi). Tetapi dalam kenyataanya tidak demikian. Di dalam rumah yang saya banggakan inilah kerap terjadinya permasalahan dalam pesta demokrasi yang belum bisa diurai sejak 2010 sampai sekarang.
Entah terdapat kausalitas apa, kampus yang bercorak miniatur demokrasi ini, sebagian mahasiswanya selalu menolak adanya sistem Pemira. Seharusnya sebagai kampus yang bernapas demokrasi, FISIP mampu menyumbangkan kader terbaiknya untuk berpentas di pemilihan organisasi tertinggi mahasiswa, Badan Esekutif Mahasiswa (BEM) Unmul.
Demokrasi di dalam kampus adalah bentuk miniatur demokrasi bernegara. Merupakan cerminan kaum akademisi sebagai penggerak sistem demokrasi nantinya. Sayangnya, semua tidak luput dengan namanya konflik, hingga tidak jarang berujung dengan perkelahian. Kalau hari ini, kita telah jenuh dengan pertarungan politik kampus yang begitu-begitu saja, maka sudah saatnya kita bersatu untuk mencari solusi agar permasalahan yang sering terjadi dapat tertangani. Adanya isu pasangan calon “boneka”, yang di gembar-gemborkan media kampus bukan menjadi alasan bagi kelompok lain untuk ikut menyerang. Karena yang bertarung pada Pemira kali ini adalah sesama kawan, dengan background bendera yang sama.
Tidak ada kata terlambat untuk menciptakan pesta demokrasi yang teduh, aman, dan nyaman bagi mahasiswa Unmul. Langkah awalnya pastilah kita melakukan pembenahan di tataran kaderisasi rumah kita masing-masing. Begitu pula dengan penulis, meskipun bukan lagi mahasiswa Unmul, namun sampai saat ini saya masih terlibat dalam pembinaan organisasi eksternal (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Unmul) dan internal (UKM Tapak Suci Unmul). Prinsip sebagai “petarung” harus ada di setiap jiwa organisatoris. Bertarung bukan adu kekuatan fisik, melainkan bertarung mengenai ide dan gagasan.
Bagi saya jika tidak suka dengan Pemira yang begitu-begitu saja, mari kita bertarung dengan menciptakan kader terbaik. Kekerasan bukan menjadi legitimasi kemenangan. Tapi mari kita gunakan nalar berpikir kita sebagai akademisi, atur strategi, dan bentuk koalisi dengan organisasi yang memiliki visi dan misi yang sama. Begitulah kira-kira hal yang harus kita lakukan secara bersama. Agar kiranya Pemira di kampus tercinta ini mampu menyampaikan gagasan-gagasan cerdas. Bersaing secara sportif, dengan membawa nama lembaga dalam menyorong kader-kader terbaik yang kita miliki.
Dedy Pratama
Menteri Pengembangan Karya Mahasiswa BEM Unmul 2012/2013
Ketum Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Komisariat Unmul 2015