Opini

Catatan Singkat Pinggir Trotoar, Antara Ibu Kota Negara, Ibu Tiri di Pangkuan Ibu Pertiwi.

Sebuah opini tentang pemindahan ibu kota.

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber: Dok. Penulis

Meja makannya bertempat di pinggir trotoar, cukup nasi dan ceker ayam jadi santapan, kelap-kelip lampu kota soroti para penikmat warung Kopi Suryanata (Suasana Rakyat Nusantara). Menyeduh secangkir kopi hitam, mengisap lebih dari sebatang keretek, ditemani suara bising lalu lalang mobil dan motor. Polusi melayang di udara, embun subuh berjatuhan pelan di atas ubun. Dinginnya malam membungkus tubuh sekitar 02.55 Wita, Rabu (28/8), di Jalan Wahid Hasyim, Samarinda.

Bukan menabung segala keresahan atau menampung segala kegelisahan, melainkan memulainya dengan bergerak dari lingkaran kecil dengan pemikiran besar.

Hanya dengan berdiskusilah, berbagai ide dan gagasan terakomodir dalam narasi perubahan. Perdebatan dari berbagai sudut pandang menghasilkan suatu perspektif yang tepat.

Bukan menjaga sang malam atau merindukan cahaya bintang bersama rembulan, namun menantikan kehadiran ibu kota yang tengah diperbincangkan dan menuai pro-kontra. Entah hal itu menjadi kepentingan prioritas bagi tanah Borneo, atau dibaliknya semata konsolidasi antara pihak investor bersama elit pemerintah, siapa sangka.

Yang jelas, kita tak pernah mengira bahwa "keputusan politik" sudah sah di depan mata, kabarnya kencang kita dengarkan dari media nasional hingga lokal. Bukan berarti kehendak takdir yang turun dari langit, jangan sampai nafsu politik berkedok obral proyek.

Apakah Kalimantan Timur tetap dikenal sebagai 'Tanah Borneo' atau akan berubah menjadi 'Lumpur Borneo'. Cukup mengantisipasi dari kerusakan ekologi akan berpotensi menuai berbagai patologi sosial serta berdampak pada pergeseran budaya.

Apakah Samarinda masih dikenal sebagai 'Kota Tepian' atau 'Kota Ratapan', sebab sekian banyaknya lubang tambang menganga bakalan menjadi 'Lubang Neraka' yang dibiarkan oleh para pendosa.

Jika perairan Sungai Mahakam telah tercemar racun-racun limbah tambang, 'Pesut Mahakam' menyisakan cerita sejarah kelam.

Berdasarkan data dari Jatam Kaltim, terdapat 1.190 Izin Usaha Penambangan (IUP) di Kaltim dan 625 izin di Kabupaten Kutai Kartanegara. Di Kecamatan Samboja terdapat 90 izin pertambangan. Di Bukit Soeharto pun terdapat 44 izin tambang, kebijakan tanpa kebajikan.

Sudah 36 kematian anak tak berdosa ditelan lubang tambang, menjadi utang yang harus ditebus negara.

Kalau Kaltim sebagai paru-paru dunia, bukankah upaya kita ialah merawatnya agar tetap sehat? Sama halnya seperti yang dihimbau kutipan sebungkus rokok "Merokok dapat menyebabkan kanker paru-paru, dsb."

Masih layakkah maksud slogan 'Kaltim Green (Hijau)' seperti yang terpapar jelas di depan kantor gubernur Kaltim, sementara di sekeliling taman dan pinggiran kota pepohonan rindang banyak hilang dan dedaunan banyak layu?

Kita hari ini dilanda dilema, antara ibu kota dan ibu tiri yang kejam di tanah pangkuan ibu pertiwi. Antusias politisi memang menggebu dengan satu ketuk palu tanpa kaku, atau ragu.

Idealnya, rakyat harusnya menjadi 'raja' yang harus dilayani, bukan diperbudak atas kenikmatan sumber daya alam, dieksploitasi, eksplorasi, dan ekspansi demi terakumulasi kapital yang akan diimpor keluar negeri.

Semoga kita semua memikirkan jangka panjang, tidak terlarut mengikuti arus yang tengah bergelombang elok membawa bencana bahaya, tanpa ditempa dengan pengetahuan yang kritis dan akal sehat serta dibekali budi nurani.


Ditulis oleh Yohanes Richardo N.W, Wakil Presiden BEM FISIP UNMUL 2018.



Kolom Komentar

Share this article