Ancaman Hoaks Masih Membara, Media Sosial dalam Bahaya
Hoaks meluas di media sosial, merusak kepercayaan publik, memicu konflik, dan menantang literasi digital
- 04 Dec 2025
- Komentar
- 78 Kali
Sumber Gambar: Pexels
Hoaks di media sosial bukan hanya sekadar informasi palsu yang mengganggu kenyamanan pengguna, melainkan jadi bahaya bagi tatanan sosial dan demokrasi. Hoaks yang terus menyebar dengan beragam taktik digital yang canggih berpotensi memecah belah masyarakat, menimbulkan konflik, dan merusak reputasi individu maupun kelompok secara tidak adil. Media sosial yang seharusnya menjadi sarana komunikasi dan penyebaran informasi positif malah menjadi medan subur bagi berita palsu yang tidak kunjung padam.
Penyebaran hoaks juga berkontribusi pada krisis kepercayaan masyarakat terhadap media dan institusi resmi. Ketika hal tersebut terus beredar tanpa ada tindakan tegas dan edukasi yang efektif, masyarakat menjadi sulit membedakan fakta dan opini yang valid.
Ini bisa menyebabkan kebingungan, kecemasan, dan keputusan yang salah dalam bidang kesehatan, politik, atau isu sosial penting lainnya. Oleh karena itu, peran aktif setiap individu diperlukan dalam melakukan cek fakta dan tidak ikut menyebarkan informasi yang belum jelas kebenarannya.
Selain itu, pemerintah dan platform media sosial harus bekerja lebih intensif dalam mengatasi hoaks. Ini termasuk memperketat regulasi, meningkatkan literasi digital masyarakat, serta mengembangkan teknologi deteksi hoaks yang lebih efektif.
Tanpa upaya bersama yang sistematis, ancaman informasi palsu yang masih membara akan terus melemahkan kepercayaan komunitas. Tak hanya itu, hoaks dapat menodai fungsi media sosial sebagai wadah komunikasi yang sehat dan konstruktif bagi bangsa dan negara.
Berdasarkan survei Katadata Insight Center bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika, sebanyak 11,9 persen responden mengaku pernah menyebarkan berita hoaks pada 2021. Paparan hoaks di Indonesia mencapai antara 30 persen hingga hampir 60 persen dari pengguna saat mengakses media sosial.
Hanya 21 persen sampai 36 persen orang yang mampu mengenali hoaks tersebut. Isu hoaks yang paling sering beredar berkaitan dengan politik, kesehatan, dan agama, yang sangat rawan menimbulkan konflik sosial.
Menurut Kementerian Komunikasi dan Digitalisasi (Komdigi) Republik Indonesia (RI), sepanjang Oktober 2024–2025 terdapat 1.674 konten hoaks yang ditemukan di media sosial, dengan jumlah tertinggi mencapai 166 konten dalam satu bulan. Hoaks terbanyak berisi penipuan (589 kasus), diikuti berita palsu tentang pemerintahan (341 kasus), politik (166), kesehatan (87), dan isu-isu lain yang turut memicu kerusuhan informasi di masyarakat.
Media sosial menjadi saluran utama penyebaran hoaks dengan porsi mencapai 92,4 persen, yang diperparah oleh tingginya durasi penggunaan media sosial di Indonesia, yaitu sekitar 529 menit per minggu atau lebih dari 8 jam.
Situasi ini menunjukkan bahwa hoaks bukan hanya ancaman yang tidak kunjung padam, tapi telah merusak fungsi utama media sosial sebagai ruang publik yang sehat, demokratis, dan informatif. Upaya penanggulangan harus lebih serius dengan edukasi literasi digital, teknologi deteksi hoaks yang canggih, serta regulasi yang tegas.
Hal tersebut dilakukan agar dampak dari hoaks ini bisa diminimalkan dan masyarakat bisa kembali percaya pada media dan institusi resmi.
Sebagai mahasiswa Pendidikan Pancasila Dan Kewarganegaraan (PPKn) Unmul, penulis melihat ancaman hoaks di media sosial sebagai tantangan besar yang harus dihadapi secara serius oleh generasi muda sebagai pengguna aktif media digital. Mahasiswa, sebagai agent of change dan penerus bangsa, memiliki tanggung jawab untuk tidak mudah percaya dan menyebarkan informasi tanpa verifikasi terlebih dahulu.
Berdasarkan penelitian, literasi digital di kalangan mahasiswa masih rendah, sehingga rentan menjadi korban maupun penyebar hoaks. Hal ini mengindikasikan pentingnya peningkatan edukasi literasi digital yang lebih masif di kampus-kampus agar mahasiswa tidak hanya menjadi konsumen informasi, tetapi juga menjadi filter yang kritis.
Mahasiswa juga harus aktif mengembangkan kemampuan berpikir kritis dalam menilai kebenaran suatu konten sebelum meneruskan ke orang lain. Ketidaktelitian dalam mengecek fakta seringkali disebabkan oleh keinginan cepat berbagi informasi yang memuat opini kuat atau berita mengejutkan.
Sikap seperti ini berpotensi memperkuat disinformasi yang mengganggu keharmonisan sosial. Oleh karena itu, penulis berpendapat kampus dan lembaga kemahasiswaan perlu mengadakan pelatihan rutin tentang cek fakta dan etika digital agar mahasiswa mampu menjaga integritas informasi yang beredar di lingkup sosial mereka.
Keterlibatan mahasiswa dalam memerangi hoaks tidak hanya dengan kewaspadaan individu, tetapi juga melalui kolaborasi dengan berbagai pihak, termasuk lembaga pemerintah dan platform media sosial. Dengan kesadaran kolektif dan kemampuan digital yang memadai, mahasiswa dapat menjadi pilar penting dalam mengurangi dampak negatif hoaks yang masih membara di media sosial saat ini.
Dengan begitu, mahasiswa tidak hanya menjadi korban pasif penyebaran hoaks, melainkan juga menjadi agen perubahan yang mampu melawan penyebaran berita palsu. Mahasiswa juga dapat berkontribusi dalam mengajak masyarakat luas untuk selalu memverifikasi informasi sebelum mempercayainya atau menyebarkannya. Ini adalah langkah penting demi masa depan digital yang lebih aman, sehat, dan berbudaya.
Opini ini ditulis oleh Ence Rania Marscha Adisti, mahasiswi Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan FKIP Unmul 2025