Opini

Aklamasi: Sebuah Kecacatan Demokrasi?

Sebuah opini dari Rafshanjani, Wakil Ketua Umum BEM FEB 2015-2016 mengenai polemik Pemira kali ini. (Sumber foto: dok.Sketsa)

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Akhir ini tensi Pemilihan Raya (Pemira) Unmul 2018 kembali meninggi, situasinya kembali memanas, dibandingkan beberapa tahun terakhir. Akhirnya pesta demokrasi yang 2 tahun terakhir terasa monoton kembali hadir dengan sebuah dinamika proses berpolitik yang baik. Sebagian menilai bahwasanya dinamika dan tensi tinggi ini tidak perlu terjadi dan dibesar-besarkan, seolah kita mengamini demokrasi yang damai tanpa bentuk perbedaan tensi dan suasana yang panas. Inilah pesta demokrasi yang sesungguhnya, 2 kubu saling serang, saling adu gagasan, saling adu pikiran untuk memajukan Universitas Mulawarman.

Pemira KM Unmul 2018 menarik untuk kita simak, salah satu paslon menyatakan gugatan keberatan kepada paslon lawan karena memiliki kecacatan berkas dan menolak untuk melanjutkan proses debat kandidat. Sedangkan tergugat merasa bukti gugatan yang dilayangkan belumlah cukup kuat untuk menumbangkannya. Tercium aroma aklamasi dari sini, apabila memang mengandung kecacatan berkas maka paslon dinyatakan gugur! Ada yang menilai bahwasanya aklamasi merupakan sebuah kecacatan dalam dinamika demokrasi.

Mari kita telaah bersama secara mendalam, mengajak untuk membuka pikiran jika memang aklamasi merupakan kecacatan demokrasi. Melihat kasus gugatan yang sedang dilayangkan kepada paslon tergugat misalkan, ada berkas yang cacat dan tidak sesuai aturan yang berlaku. Jika kita berbicara dasar hukum AD/ART KM Universitas Mulawarman, maka kita tidak boleh menutup mata akan AD/ART KM setiap fakultas yang mungkin bertentangan atau tidak sejalan dengan AD/ART KM Universitas Mulawarman. Ada pendapat yang menyatakan bahwasanya jika jatuhnya aklamasi, maka demokrasi kita cacat dan pincang. 

Ada asap, pasti ada api. Ada sebab, maka ada akibat. Jika ditelusuri lebih dalam, apakah penggugat yang dinyatakan telah menciderai pesta demokrasi? Bukankah orang menggugat selalu ada alasan yang membersamainya? Dalam konteks ini adalah kecacatan berkas. Maka jika digugat tentang berkas, mana peran penyelenggara sebagai verifikator dalam hal ini? Jadi mana yang cacat, penggugat atau penyelenggara?

Ini bukan tentang menyalahkan, mari kita membuka pikiran bersama-sama. Dalam salah satu berita yang diterbitkan Sketsa, saya cukup terkejut ada perbedaan pendapat antara penyelenggara dan pengawas. Mereka seperti saling tuduh mengapa kericuhan terjadi hingga batalnya debat kandidat. Tak puas melihat berita, saya bertanya kepada beberapa teman yang berada di lokasi debat kandidat, dan nyatanya memang terjadi perbedaan pendapat antara penyelenggara dan pengawas. Hingga salah satu penyelenggara menyebutkan pengawas tidak mempunyai hak untuk membatalkan debat kandidat tersebut. Jika terucap hal seperti itu, maka apa guna pengawas? Lebih baik ditiadakan saja jika saran atau keputusan pengawas hanya dijadikan sebuah referensi belaka.

Jadi, apakah aklamasi merupakan kecacatan dalam dinamika demokrasi? Saya rasa tidak, jika kita berbicara sebuah konteks yang terjadi pada Pemira KM Unmul kali ini. Mari kita coba bandingkan dengan kasus lain. Mudahnya saya analogikan seperti ini, anggap saja ada sebuah partai yang sangat kuat hingga partai lain enggan menandingi, meski sedang menghadapi sebuah pesta demokrasi. Karena tidak ada lawan, maka mereka membuat calon boneka yang sengaja dikalahkan hanya untuk menghindari aklamasi. Apakah hal tersebut merupakan demokrasi yang sesungguhnya? Bukan sebuah kecacatan? Jika kita bandingkan mana yang lebih cacat? Dari 2 calon menjadi 1 (aklamasi) karena digugat dalam sebuah pesta demokrasi atau menghadirkan calon boneka?

Dinamika seperti inilah yang harus dilahirkan, perbedaan pendapat dan perbedaan ideologi itu adalah sebuah harmoni. Jangan mematikan dinamika karena tak ingin ada perdebatan. Justru perbedaan itu indah. Indonesia juga beragam, bukan? Dinamika adalah sebuah proses yang harus kita lewati untuk mencapai sebuah tujuan. Mari kita sebuah adu gagasan, adu pikiran, dan adu program secara fair, hindari intervensi, hindari provokasi, hindari kolusi-kolusi jahat.

Universitas Mulawarman membutuhkan mahasiswa yang kritis, aktif, solutif, serta bekerja secara nyata. Sebagai seorang alumni Universitas Mulawarman dan mantan aktivis kampus, justru inilah yang saya tunggu. Dinamika yang saya rindukan, dinamika untuk menyatukan sebuah perbedaan. Siapapun yang menang, mereka harus profesional. Oposisi diberikan ruang untuk mengabdi, bukan ditendang. Siapapun yang kalah juga harus profesional, jangan menggunakan kekerasan dan berdamailah dengan hati.

Ditulis oleh Rafshanjani, Wakil Ketua Umum BEM FEB 2015-2016.



Kolom Komentar

Share this article