SKETSA - Kamis (20/7) sore, cuaca bersahabat. Angin sepoi, langit biru cerah hiasi sore itu. Namun, keindahan sore itu tak mewakili perasaan Eza Suryadi. Eja sapaanya, adalah mahasiswa jurusan Sosial Ekonomi Perikanan, ia satu dari ratusan penerima Beasiswa Kaltim Cemerlang, Program Penyuluh Perikanan, angkatan 2013.
Memasuki semester ganjil tahun ke 4 berkuliah, Eja belum mampu selesaikan studinya. Sesuai kontrak, penerima beasiswa hanya ditanggung hingga semester delapan. Lepas dari itu, kembali pada urusan mahasiswa. Mau tak mau, ia harus tanggung sendiri biaya UKT sebesar Rp 4 juta tersebut.
Eja bukan orang berada, namun ia bisa kuliah karena adanya beasiswa yang ditanggung pemerintah provinsi tersebut. Anehnya, penerima beasiswa ini rata-rata berasal dari keluarga tidak mampu. Tapi, konsekuensi yang mesti diterima, jika tak selesai sesuai kontrak, sebesar itulah yang dibebankan ke mahasiswa.
Ya, sore itu, Eja berkisah panjang tentang hidupnya. Ia seorang yatim sejak umurnya 13 tahun. Ibunya memang sudah menikah lagi, tapi gaji ayah tirinya hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Sementara, ia memiliki empat adik yang harus dinafkahi. Demi mengurangi beban keluarganya, Eja tinggal bersama sang nenek.
Selepas SMA, Eja sempat bekerja sebagai kernet bus. Lalu, ia mendapat informasi program beasiswa penyuluhan. Eja pun mendaftar dan bertarung seleksi dengan ratusan peserta. Beruntung, Eja menjadi salah satu yang lolos. Keluarga senang bukan main. Anak lelakinya bisa berkuliah, gratis pula.
Beasiswa penyuluhan terbagi tiga program, yakni pertanian, peternakan dan perikanan. Dana beasiswa dialokasikan sebesar Rp 24 juta per mahasiswa yang diterima setiap tahun. Namun, Eja hanya menerima Rp 20 juta. Belum lagi, dana tersebut dipotong UKT yang dipukul rata Rp 4 juta per semester. Maka, setiap tahun total Rp 8 juta yang mesti dibayarkannya untuk UKT. Jadi, Eja hanya menerima bersih Rp 12 juta per tahun untuk hidup di perantauan.
Beasiswa tersebut sudah berakhir sejak Agustus 2016 lalu. Awal tahun ini, ia memutuskan untuk tidak menyewa kamar kos. Uangnya ia sisihkan untuk ditabung. Untuk tidur, ia nomaden. Untungnya, ia tergabung di Unit Kegiatan Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) Fakultas, yang tak melarang anggotanya tidur di sekretariat organisasi.
"Kami biasa makan iuran 3 sampai 5 ribu jadi. Kita makan sama-sama," kisahnya.
Lelaki yang lahir 22 Agustus 1995 ini, sudah biasa hidup susah. Pekerjaan apapun asalkan halal, ia lakoni. "Jadi kernet bus pernah, kuli pernah, bahkan kerja bikin kolam kayak gini, juga pernah," kisahnya kepada Sketsa sambil menunjuk kolam ikan di belakangnya.
Bahkan, libur lebaran tahun ini, dimanfaatkan Eja mencari pundi-pundi rupiah agar bisa lanjut kuliah. Ramadan lalu ia berjualan takjil buatan ibunya. Ia juga membuat Aquascape untuk dijual kembali. Hasil jualan, ia tabung untuk membayar UKT semester ini.
Pria asal Balikpapan ini, berusaha mengumpulkan rupiah mencapai nominal UKT-nya. Tak mudah, ia harus menggadaikan motornya. Hasil dari jualan, gadai motor, dan sumbangan beberapa keluarga akhirnya terkumpul senilai biaya UKTnya.
"Berangkat dari Balikpapan aku sudah ada empat juta. Kalau diujung akhirnya harus bayar, aku bayar. Tapi aku ndak ikhlas, karena gadai," keluhnya.
Oleh karena itu, ia berjuang dalam barisan Timsus UKT 2013 untuk menuntut penurunan. "Bahkan meski UKT turun 50 persen, itu masih berat bagi kami," keluhnya.
Ia mengaku kecewa terhadap pernyataan Dekan FPIK, Iwan Suyatna yang dimuat Sketsa pada Kamis (20/7) lalu.
(Baca: https://sketsaunmul.co/berita-kampus/risiko-penerima-beasiswa-dekan-fpik-mestinya-bersyukur/baca )
"Kalau disalahkan kita tidak sepakat. Siapa juga yang mau lulus di atas empat tahun?" ujarnya. Ia mengakui, membayar UKT memang menjadi konsekuensi yang harus ia terima. Hanya yang ia sesalkan nominal yang harus ditanggung sebesar Rp 4 juta.
''Tidak ada diperjanjian itu, kalau lulus lebih dari empat tahun bayar empat juta. Tahunya, hanya membayar," tambahnya
Ia berharap seharusnya ada pertimbangan, karena mahasiswa penyuluhan semester 9, tidak memakai fasilitas yang sama seperti angkatan di bawahnya. Misalnya, fasilitas kelas dan pengajar. Eja kini hanya mengharap luluhnya hati dekan dan rektor.
"Rektor tidak berkewajiban membantu masyarakat miskin. Tapi, rektor berkewajiban membantu anak dari masyarakat miskin yang kuliah di Unmul," pesannya kepada rektor.
Eja, satu dari ratusan mahasiswa penyuluhan yang bernasib sama, menanggung mahalnya biaya pendidikan. Haruskah seperti ini? (krv/jdj)