Peluncuran Diktisaintek Berdampak, Civitas Akademika Unmul: Masih Perlu Penyesuaian

Peluncuran Diktisaintek Berdampak, Civitas Akademika Unmul: Masih Perlu Penyesuaian

Sumber Gambar: Website Kemendiktisaintek.go.id

SKETSA – Program Kampus Merdeka yang telah berjalan beberapa tahun terakhir dan kini berubah menjadi Kampus Berdampak atau Diktisaintek Berdampak mendapat berbagai tanggapan dari civitas akademika Unmul. Perubahan ini diumumkan oleh Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemdiktisaintek) pada Jumat (2/5) lalu.

Mahasiswa hingga dosen menilai program ini memberi dampak signifikan bagi pengembangan diri dan kualitas pendidikan di perguruan tinggi. 

Program ini merupakan lanjutan dari Kampus Merdeka dengan beberapa penyesuaian kebijakan di dalamnya. Mendiktisaintek, Brian Yuliarto menyebut Diktisaintek Berdampak akan menjadi gerakan nasional untuk mendorong perguruan tinggi sebagai pusat perubahan.

Menurutnya, kebijakan ini tetap membawa semangat kolaborasi dengan industri dan masyarakat seperti pada program sebelumnya. Hal yang membedakan dari program sebelumnya adalah penekanan terhadap dampak langsung yang harus dirasakan oleh masyarakat.

Tanggapan Mahasiswa
Di lingkungan Unmul, program seperti Program Kreativitas Mahasiswa (PKM), Kuliah Kerja Nyata (KKN) Internasional, hingga magang masih menjadi pilihan mahasiswa untuk mengembangkan diri. Namun, perubahan dari Kampus Merdeka ke Kampus Berdampak membuat mahasiswa perlu kembali menyesuaikan diri.

Sabrina Azzahra, mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP 2024 menyampaikan program-program Kampus Berdampak selama ini sangat bermanfaat bagi pengembangan diri mahasiswa. Ia menilai kegiatan seperti PKM dan KKN Internasional membuka peluang untuk belajar langsung di lapangan serta meningkatkan kompetensi.

“Program ini membuka kesempatan untuk mengasah keterampilan di luar jurusan,” katanya, Jumat (16/5) lalu. 

Meski begitu, Sabrina menyebut tetap ada tantangan tersendiri seperti informasi yang tidak merata dan persaingan yang ketat.

“Terkadang informasi programnya kurang tersebar, jadi tidak semua mahasiswa tahu cara ikutnya. Persaingan juga ketat, jadi harus siap mental,” lanjutnya.

Sementara itu, Suci Fitriani, mahasiswa Program Studi Manajemen FEB 2024 juga menyebut program seperti PKM dan Program Pembinaan Mahasiswa Wirausaha (P2MW) sangat relevan dengan kebutuhan mahasiswa saat ini.

“Kalau dapat dana PKM, kita bisa langsung coba penelitian di lapangan, nggak cuma teori di kelas. Ini bisa menambah pengalaman,” katanya kepada SketsaJumat (16/5).

Namun, ia mengakui bagi mahasiswa semester awal, tantangan lain juga muncul, seperti masih bingung dengan istilah teknis dalam proposal atau laporan.

“Bagi mahasiswa baru kayak saya, kadang istilah proposal itu masih membingungkan. Apalagi kalau belum pernah ikut sebelumnya,” jelasnya.

Suci berharap program ini tidak hanya fokus pada hasil akhir, tetapi juga memperhatikan proses belajar mahasiswa selama mengikuti kegiatan tersebut.

Wakil Dekan III FISIP: Perlu Adaptasi Cepat dan Dukungan Penuh
Wakil Dekan III Bidang Kemahasiswaan dan Alumni FISIP, Daryono menyampaikan perubahan kebijakan ini membuat kampus harus beradaptasi lebih cepat. Ia menilai, konsep kegiatan yang berdampak menjadi kunci kebijakan saat ini.

“Sekarang tidak cukup sekadar ikut kegiatan lalu selesai. Harus ada dampaknya, baik untuk mahasiswa, masyarakat, maupun kurikulum,” jelasnya saat diwawancarai Sketsa pada Rabu (21/5) lalu.

Ia mencontohkan program PKM yang bisa diakui sebagai pengganti skripsi di beberapa kampus seperti Universitas Airlangga (Unair) dan Universitas Hasanuddin (Unhas). Di Unmul, FISIP tengah mengusulkan kebijakan serupa.

“Kami sudah mengusulkan agar mahasiswa yang proposal PKM-nya didanai bisa bebas skripsi. Tinggal menunggu persetujuan dari universitas,” tambahnya.

Menurutnya, ini merupakan terobosan agar mahasiswa lebih termotivasi mengikuti program penalaran seperti PKM.

Di bidang non-akademik, mahasiswa yang berprestasi di olahraga, seni, dan keagamaan juga bisa mendapat pembebasan skripsi jika capaiannya mencapai tingkat nasional.

“Kalau ada mahasiswa dapat emas di Pekan Olahraga Nasional (PON) misalnya, itu juga bisa diakui setara dengan skripsi, tinggal menyelesaikan mata kuliah wajib,” lanjutnya.

Meski demikian, ia mengakui motivasi mahasiswa di bidang penalaran masih menjadi tantangan tersendiri.

“Olahraga dan seni banyak prestasinya, tapi untuk penalaran masih jadi PR (pekerjaan rumah). PKM dan debat itu masih harus didorong lebih giat lagi,” katanya.

Untuk mengatasi hal tersebut, FISIP membuka berbagai jalur agar mahasiswa bisa aktif. Mulai dari seleksi internal, undangan ke program studi, hingga jalur mandiri.

“Mahasiswa bisa mewakili dirinya sendiri, tidak harus lewat organisasi,” terangnya.

Selain itu, perubahan jadwal dari pusat juga menjadi tantangan. Biasanya PKM dipersiapkan sejak akhir tahun, namun saat ini jadwalnya mundur karena kebijakan masih dalam proses penyusunan.

“Akibatnya waktu persiapan jadi lebih pendek, mahasiswa juga kurang waktu untuk menyiapkan proposal dengan matang,” ujarnya.

Meski begitu, FISIP tetap berkomitmen mendukung kegiatan kemahasiswaan.

“Dekan dan jajaran tetap mempertahankan anggaran agar kegiatan mahasiswa tidak terganggu dan tetap bisa meraih prestasi,” tutupnya. (sza/wil/ner)