Warna Kulit Menjadi Alasan Ketimpangan Sosial di Dunia, Apa Penyebabnya?

Warna Kulit Menjadi Alasan Ketimpangan Sosial di Dunia, Apa Penyebabnya?

Sumber Gambar: Website aceh.tribunnews.com

Dewasa ini, dapat kita lihat ketimpangan sosial dan ekonomi ada di seluruh dunia. Jika kita menilik lebih tajam, kita akan menyadari bahwa negara dengan mayoritas orang berkulit gelap akan selalu tertinggal. Sebaliknya, negara dengan mayoritas orang berkulit putih akan selalu lebih maju.

Sedangkan, negara dengan mayoritas orang berkulit coklat akan berada di posisi tengah, tidak lebih maju dari negara orang berkulit putih. Namun, tidak lebih tertinggal dari negara orang berkulit gelap. Realita ini membuat penulis berpikir apakah warna kulit dapat menjadi salah satu faktor penyebab ketimpangan sosial?

Sejak era kolonialisme, masyarakat berkulit coklat hingga gelap selalu berada di posisi inferior dalam banyak hal, seperti ekonomi, politik, pendidikan, hingga sosial budaya. Hal ini terus berlanjut di kebanyakan negara dengan mayoritas kulit berwarna meskipun kolonialisme telah lama menghilang. 

Hal tersebut terbukti melalui studi dalam website Our World In Data (https://ourworldindata.org/poverty) tahun 2023. Data menyajikan bahwa tingkat kemiskinan terfokus di Benua Afrika, serta beberapa negara di Benua Asia seperti Laos, India, Filipina, Pakistan, Georgia, serta Syria dengan persentase yang lebih rendah.

Teori Yang Berkaitan

Teori Sistem Dunia (World-System Theory)

Teori ini dikemukakan oleh Immanuel Wallerstein di dalam bukunya dengan judul World-Systems Analysis: An Introduction. Menurut Wallerstein, dunia terbagi atas pusat (core), semi-pinggiran (semi-periphery), dan pinggiran (periphery). 

Negara-negara yang berada di pusat merupakan negara maju yang memiliki teknologi tinggi. Negara-negara semi-pinggiran adalah negara yang berada di antara pusat dan pinggiran. Sedangkan negara pinggiran adalah negara-negara yang bergantung kepada negara pusat untuk teknologi, sebagai gantinya mereka mengalami eksploitasi terhadap sumber daya alam dan manusianya untuk kepentingan negara pusat (Wallerstein, 2004).

Posisi semi-pinggiran dan pinggiran kebanyakkan diduduki oleh negara-negara dengan rakyat dominan kulit berwarna dan kebanyakkan merupakan negara bekas kolonial. Sedangkan negara-negara pusat kebanyakkan diduduki oleh negara dengan rakyat dominan kulit putih.

Teori Kolonialitas Kekuasaan (Coloniality of Power)

Teori ini dikembangkan oleh Anibal Quijano di sebuah artikelnya yang berjudul Coloniality of Power, Eurocentrism, and Latin America. Artikel ini menjelaskan bagaimana kolonialisme membentuk pembagian kekuasaan global berdasarkan ras dan warna kulit sebagai penentu hierarkinya. 

Kulit putih akan mendominasi, sedangkan kulit berwarna akan menjadi “alat” untuk mencapai tujuannya. Kolonialitas merupakan struktur kekuasaan global yang menciptakan hierarki di dalam ras, budaya, pengetahuan, dan ekonomi. Dalam struktur ini, negara dengan rakyat dominan kulit putih di tempatkan di posisi yang lebih tinggi daripada kulit berwarna (Quijano, 2000).

Teori ini menjelaskan bagaimana rasisme dan warna kulit tetap menjadi dasar kesejahteraan meskipun penjajahan telah lama berakhir. Hal ini terus berkembang melalui lembaga internasional, media, dan kurikulum Pendidikan yang menempatkan kulit putih sebagai lambang kemajuan dunia.

Sebagai contoh dari kedua teori di atas, dapat kita lihat dari negara Indonesia. Meskipun telah merdeka secara politik, namun Indonesia masih sangat bergantung kepada negara-negara dominan kulit putih untuk menjual sumber daya alam mentah dan pada investor asingnya. 

Ketergantungan tersebut menunjukkan bahwa Indonesia belum siap untuk keluar dari struktur kolonial yang menempatkan Indonesia sebagai penyedia kebutuhan sumber daya bagi negara-negara pusat.

Selain itu, Indonesia masih banyak menerapkan model negara barat sebagai standar kehidupan, menjadikan persepsi rakyatnya bahwa kulit putih digambarkan sebagai kecantikan, kepintaran, dan status sosial tinggi, sehingga membuat rakyatnya menghilangkan budaya negara untuk menjadi “orang barat”. 

Warisan penjajahan diikuti warna kulit, menjadikan negara barat menduduki hierarki tertinggi di antara negara-negara dominan kulit berwarna.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ketimpangan global antara negara maju dan negara berkembang memiliki kaitan erat dengan sejarah kolonial dan rasialisme. 

Warna kulit yang menjadi simbol rasial, masih dipertahankan untuk menentukan posisi suatu negara dalam tatanan dunia modern. Untuk mengubah struktur ini, dunia harus mengubah cara untuk memandang bahwa negara-negara kulit berwarna merupakan negara yang berada di hierarki lebih rendah. 

Negara-negara kulit berwarna juga harus mengembangkan pengetahuan, nilai, juga kebijakan yang berasal dari identitas dirinya sendiri, bukan meniru dari negara maju.

Daftar Pustaka

Wallerstein, I. (2004). World-System Analysis: An Introduction. Duke University Press.

Quijano, A. (2000). Coloniality of Power, Eurocentrism, and Latin America. Nepantla : View from South.

Rodney, W. (1972). How Europe Underdeveloped Africa. Bogle-L’Ouverture Publications. 

Yumna, Ruhil I. (2019). Peneliti Sebut Anak Indonesia dari Keluarga Miskin Sulit Terlepas dari Kemiskinan Saat Dewasa. Serambinews.com – Tribunnews.com. Gambar 1.

Opini ini ditulis oleh Irham Saputra, mahasiswa Program Studi Ilmu Pemerintahan FISIP Unmul 2025.