Sumber Gambar: Pinterest
Fenomena cancel culture di Indonesia semakin sering muncul beberapa tahun terakhir, terutama dengan berkembangnya media sosial sebagai ruang publik baru.
Pada dasarnya, cancel culture dipahami sebagai bentuk tekanan sosial untuk meminta pertanggungjawaban figur publik atas perilaku atau ucapan yang dianggap melanggar norma sosial, etika, atau hukum.
Namun, dalam praktiknya, penerapan cancel culture di Indonesia tidak selalu berjalan secara adil dan proporsional. Ada kalanya seorang tokoh langsung diserbu kritik hingga reputasinya runtuh hanya karena satu kesalahan tertentu, sementara tokoh lain yang melakukan pelanggaran lebih serius justru tetap bisa bertahan karena memiliki basis massa kuat, koneksi politik, atau citra publik yang lebih kokoh.
Ketidakseimbangan inilah yang membuat cancel culture di Indonesia tampak tidak hanya sebagai bentuk kontrol sosial, tetapi juga sebagai cermin dinamika kekuasaan di era digital.
Salah satu ciri yang paling menonjol dari cancel culture di Indonesia adalah betapa cepatnya publik bereaksi terhadap sebuah isu. Hal ini terjadi ketika isu itu tersebar melalui potongan video, tangkapan layar, atau narasi di berbagai platform seperti X, TikTok, dan Instagram.
Fenomena ini tampak saat sebuah kasus viral, gelombang komentar negatif dapat muncul dalam hitungan menit, membuat seorang publik figur langsung berada dalam tekanan besar.
Namun, cepatnya reaksi ini sering kali tidak diiringi dengan proses verifikasi informasi yang memadai. Banyak orang tergerak oleh emosi, sentimen kelompok, atau framing media, sehingga penilaian menjadi tidak objektif.
Dalam beberapa situasi, figur publik masih berhak untuk menjelaskan konteks, tetapi tidak diberi ruang untuk menyampaikan klarifikasi.
Hal semacam ini dapat dilihat pada beberapa kasus yang sempat memenuhi linimasa media sosial. Misalnya, saat seorang artis atau influencer tersandung isu ucapan sensitif, perilaku kasar, atau konten yang dianggap tidak pantas, mereka bisa langsung menjadi sasaran kritik masif.
Dalam banyak kasus, tekanan publik ini menyebabkan hilangnya kontrak kerjasama, penurunan jumlah pengikut, hingga permintaan maaf terbuka. Reaksi seperti ini sebenarnya dapat dipahami sebagai bentuk koreksi sosial yang menuntut tanggung jawab seorang publik figur.
Namun, masalah muncul ketika kasus yang sifatnya masih bisa didiskusikan atau diselesaikan melalui dialog justru berkembang menjadi serangan yang tidak proporsional.
Di sisi lain, terdapat pula tokoh publik yang menghadapi tuduhan atau kontroversi lebih berat, tetapi tidak mengalami tekanan sosial setara. Hal ini sering terjadi ketika tokoh tersebut memiliki pengaruh yang besar dalam industri hiburan, dunia politik, atau memiliki komunitas pendukung yang sangat loyal.
Dalam beberapa kasus yang diberitakan secara luas, misalnya ketika publik figur menghadapi dugaan pelanggaran etika atau perilaku yang merugikan orang lain, reaksi publik justru tidak seramai kasus-kasus yang lebih ringan.
Tidak jarang, ada situasi di mana publik membela sang tokoh habis-habisan. Hal ini terjadi bukan karena mereka yakin figur tersebut tidak bersalah, tetapi karena sudah terlanjur menyukai sosoknya, menikmati karyanya, atau merasa ia mewakili identitas kelompok tertentu.
Hal ini menunjukkan bahwa cancel culture di Indonesia tidak selalu digerakkan oleh prinsip moral atau etika, tetapi juga oleh faktor emosional dan kedekatan simbolik antara publik dengan tokoh yang bersangkutan.
Sebagai contoh, seorang komedian atau aktor mungkin akan lebih mudah dimaafkan karena publik merasa dekat dan terhibur oleh mereka. Sementara itu, tokoh dari kelompok yang kurang populer di masyarakat bisa menerima kecaman dua kali lebih keras untuk kesalahan yang sama.
Di titik inilah cancel culture kehilangan objektivitasnya dan menjadi bentuk tekanan sosial yang tidak konsisten.
Selain tokoh hiburan, fenomena cancel culture juga tampak dalam dunia akademik, politik, dan komunitas digital. Ada beberapa kasus yang ramai diperbincangkan publik, misalnya terkait tokoh akademisi yang terseret kontroversi pernyataan, atau pejabat publik yang dikritik karena tindakannya dianggap tidak pantas.
Beberapa kasus memang berakhir dengan konsekuensi nyata, seperti pencopotan jabatan atau pemeriksaan etik. Namun, ada pula kasus yang mereda begitu saja tanpa penyelesaian yang jelas, meski pelanggaran yang dituduhkan tergolong serius.
Tidak jarang, hilangnya perhatian publik membuat kasus tersebut seolah-olah menguap tanpa tindak lanjut. Ini memperkuat anggapan bahwa cancel culture hanya bekerja ketika isu sedang viral, bukan ketika sebuah kasus benar-benar memerlukan akuntabilitas jangka panjang.
Di Indonesia, cancel culture lebih sering menimpa tokoh yang “tidak punya pelindung sosial.” Artinya, seseorang yang tidak memiliki jaringan yang kuat, dukungan fanbase besar, atau latar belakang yang membuatnya kebal kritik cenderung lebih mudah “dibatalkan” oleh masyarakat. Sebaliknya, tokoh yang memiliki posisi sosial tinggi atau citra positif yang sudah mengakar justru lebih kebal.
Ini menjadikan cancel culture bukan sekadar soal benar atau salah, tetapi soal seberapa besar kekuatan simbolik seseorang di mata masyarakat.
Contoh nyata dapat dilihat dari bagaimana masyarakat memperlakukan kasus-kasus yang melibatkan selebritas besar dibandingkan dengan tokoh publik tingkat menengah. Selebritas papan atas sering kali tetap dapat mempertahankan popularitasnya, bahkan setelah terseret masalah kontroversial.
Hal ini karena komunitas penggemarnya memilih untuk tetap mendukung. Berbeda dengan figur lain yang baru naik daun, kesalahan yang relatif kecil dapat membuat mereka kehilangan reputasi secara cepat dan drastis.
Fenomena ini juga diperparah oleh budaya digital Indonesia yang sangat responsif. Banyak pengguna media sosial yang menjadikan isu viral sebagai hiburan, bukan sebagai pembelajaran.
Dalam beberapa kasus, komentar publik lebih banyak berisi ejekan, sindiran, atau bahkan perundungan. Padahal, cancel culture awalnya bertujuan untuk menuntut tanggung jawab etis, tetapi kini bergeser menjadi ajang pelampiasan kemarahan kolektif.
Ketika hal ini terjadi, cancel culture tidak lagi mendorong perbaikan. Namun, malah dapat menciptakan luka sosial baru.
Meski begitu, bukan berarti cancel culture sepenuhnya buruk. Jika diterapkan secara tepat, maka fenomena ini dapat menjadi pendorong perubahan sosial.
Kasus-kasus kekerasan verbal, diskriminasi, atau penyalahgunaan kekuasaan yang sebelumnya ditutupi kini lebih mudah diungkap karena media sosial memberi ruang bagi korban untuk berbicara. Dalam situasi seperti ini, tekanan publik dapat membantu membuka mata banyak orang tentang pentingnya akuntabilitas dan keadilan.
Yang menjadi persoalan adalah bagaimana memastikan tekanan tersebut dilakukan secara adil, proporsional, dan berdasarkan informasi yang akurat.
Di tengah dinamika ini, masyarakat Indonesia perlu mulai membangun budaya kritis yang lebih sehat. Tidak semua isu harus diselesaikan dengan cara “menghakimi” secara massal.
Ada kasus yang perlu diselidiki lebih lanjut, ada yang perlu ruang klarifikasi, dan ada pula yang bisa menjadi proses pembelajaran bagi semua pihak. Prinsip kehati-hatian sangat penting agar publik tidak menjadi alat yang mudah digiring oleh narasi viral.
Pada akhirnya, penerapan cancel culture seharusnya bukan tentang menghancurkan reputasi seseorang, tetapi untuk mendorong perubahan perilaku, edukasi moral, dan akuntabilitas yang adil.
Konsistensi menjadi kunci: Baik figur besar maupun kecil harus diperlakukan dengan standar yang sama. Tanpa konsistensi itu, cancel culture hanya akan menjadi gelombang kemarahan yang datang dan pergi, tanpa benar-benar membawa perubahan berarti.
Opini ini ditulis oleh Assyfa Maulida Dharma, mahasiswa Program Studi Sastra Inggris FIB Unmul 2024.