Sumber Gambar: Kabar Etam
Hujan atau faktor alamiah lain tidak bisa lagi dikatakan sebagai penyebab banjir yang terus berulang di Kecamatan Bengalon, Kabupaten Kutai Timur (Kutim). Pola kejadian berulang justru menunjukkan adanya masalah serius dalam tata kelola lingkungan dan kebijakan negara.
Ketika banjir menjadi rutinitas tahunan, yang patut dipertanyakan bukan cuaca, melainkan keputusan politik dan kebijakan pembangunan yang selama ini diambil tanpa mempertimbangkan keberlanjutan ekologi.
Kerusakan daerah aliran sungai, pembukaan lahan besar-besaran, aktivitas pertambangan, serta perluasan perkebunan telah mengubah bentang alam Bengalon secara drastis. Sayangnya, negara terlihat lebih sigap dalam mengeluarkan izin usaha dibandingkan memastikan adanya pengawasan dan penegakan hukum lingkungan.
Akibatnya, daya dukung alam menurun, kawasan resapan air hilang, dan masyarakat harus menanggung risiko banjir yang terus meningkat. Situasi ini bertentangan dengan amanat Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang menegaskan bahwa pengelolaan sumber daya alam harus diarahkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat.
Dalam praktiknya, kebijakan yang diterapkan justru lebih menguntungkan kepentingan ekonomi segelintir pihak. Sementara keselamatan dan kualitas hidup warga Bengalon terabaikan. Dalam konteks ini, negara gagal menjalankan perannya sebagai pengelola dan pelindung kepentingan publik.
Lebih dari itu, banjir Bengalon juga mencerminkan pelanggaran terhadap hak konstitusional warga untuk hidup di lingkungan yang sehat dan aman sebagaimana dijamin Pasal 28H ayat (1) UUD 1945.
Ketika masyarakat kehilangan tempat tinggal sekaligus mata pencaharian, serta hidup dalam ketidakpastian akibat banjir yang berulang, jelas bahwa kewajiban negara dalam melindungi Hak Asasi Manusia (HAM) belum terpenuhi. Ketidakadilan ini bertentangan dengan nilai kemanusiaan dan keadilan sosial yang menjadi dasar negara.
Otonomi daerah yang seharusnya memperkuat pengelolaan wilayah justru kerap menjadi celah pengabaian kerusakan lingkungan. Pemerintah daerah memiliki kewenangan besar dalam perizinan, tetapi sering kali tidak diiringi dengan tanggung jawab ekologis yang memadai.
Di sisi lain, pemerintah pusat pun gagal menjalankan fungsi pengawasan secara efektif sehingga pelanggaran lingkungan terus berlangsung tanpa koreksi berarti. Pada akhirnya, banjir Bengalon harus dibaca sebagai peringatan keras atas kegagalan tata kelola negara.
Selama kebijakan yang merusak lingkungan tetap dipertahankan dan penegakan hukum dilakukan setengah hati, bencana akan terus berulang dan dinormalisasi. Bengalon menjadi cermin bahwa krisis lingkungan sejatinya adalah krisis negara hukum di mana konstitusi diabaikan dan rakyat menjadi pihak yang paling dirugikan.
Opini ini ditulis oleh Herliana, mahasiswa Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan FKIP Unmul 2024.