Dilema Perkara OTT Kepala Daerah Abdul Gafur Mas’ud

Dilema Perkara OTT Kepala Daerah Abdul Gafur Mas’ud

Sumber Gambar: Dokumen Pribadi

Di satu sisi, rakyat bangga terhadap kinerja maksimal Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang telah menyelamatkan keuangan negara dengan jumlah miliaran, bahkan triliunan rupiah. Namun, di sisi lain rakyat juga kecewa terhadap kepala daerah sebab melakukan praktik korupsi, yang jelas merugikan negara. 

Walau hasil survei tingkat kepercayaan publik terhadap KPK pada 2021 cukup rendah, 2022 menjadi saat yang tepat bagi KPK untuk memperoleh kembali tingkat kepercayaan publik. Salah satu caranya tentu dengan bekerja secara maksimal.

Sebenarnya upaya pemberantasan korupsi di Indonesia sudah dilakukan melalui berbagai cara. Namun, hingga saat ini masih saja terjadi kasus korupsi dengan beragam motif yang dilakukan oleh berbagai lembaga.

Terdapat beberapa bahaya sebagai akibat dari tindakan korupsi, yaitu bahaya terhadap masyarakat, individu, generasi muda, politik, ekonomi bangsa, dan birokrasi. Juga terdapat beberapa hambatan dalam melakukan pemberantasan korupsi, antara lain secara struktural, kultural, instrumental, dan manajemen. 

Sepanjang 2021 masih ada banyak kepala daerah yang terkena Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK. Pada saat-saat itulah muncul pertanyaan dalam benak masyarakat mengenai ‘selanjutnya kepala daerah mana lagi yang akan terkena OTT KPK?'. Tidak ada yang bisa menduga dan menjawabnya. 

Rakyat juga telah berulang kali mewanti-wanti kepala daerah menjauhi praktik lancung korupsi, terutama menerima suap. Namun, agaknya peringatan rakyat laksana angin lalu. Pada awal tahun ini misalnya, kembali beredar kabar bahwa ada kepala daerah yang terkena OTT KPK.

Baru-baru ini, KPK menangkap Abdul Gafur Mas’ud pada Rabu (12/1). Bupati Penajam Paser Utara (PPU) periode 2018-2023 itu saat ini sudah ditetapkan sebagai tersangka bersama beberapa kepala dinas (Kadis) dan sekretaris daerah (Sekda) yang diduga menerima suap. Abdul Gafur Mas’ud (AGM) merupakan Bupati keempat dari Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) yang diciduk oleh KPK. 

Sebelum kasus ini terungkap, ada Bupati Kutai Timur (Kutim) Ismunandar, yang ditangkap KPK dalam agenda serupa pada Juli 2021 di Jakarta. Kemudian ada pula dua Bupati Kutai Kartanegara (Kukar) yaitu Rita Widyasari pada Juli 2018 dan Syaukani pada Desember 2007.

Kekecewaan rakyat

Banyaknya kepala daerah yang ditangkap KPK membuktikan bahwa masih terbuka celah korupsi. Para kepala daerah seakan tidak belajar dari peristiwa yang terjadi sebelumnya. Hal tersebut membuat kekecewaan menyebar di kalangan masyarakat. Rakyat sangat kecewa karena banyaknya pemimpin daerah yang hanya memperhatikan kroninya saja, lewat proyek dan menggunakan anggaran publik untuk kepentingan kelompok maupun individu.

Adanya OTT yang kembali dilakukan KPK kepada kepala daerah di Kaltim, mengisyaratkan bahwa praktik korupsi di provinsi ini masih marak terjadi. Maka, sudah seharusnya upaya pemberantasan korupsi di Kaltim tidak boleh surut. Bahkan harus terus diperkuat dan didukung oleh tiap komponen bangsa.

Keprihatinan dan kekecewaan rakyat atas peristiwa OTT KPK terhadap Bupati PPU tentu dirasakan lebih dalam bagi rakyat Kaltim. Sebab belum lama ini KPK juga telah menetapkan Ismunandar sebagai tersangka dugaan suap terkait proyek infrastruktur di Kabupaten Kutim dalam OTT KPK di sebuah hotel di Jakarta.

Banyaknya kasus korupsi yang dilakukan oleh pemimpin di Kaltim, justru menjadi tamparan keras agar ke depan masyarakat bisa memilih pemimpin yang mampu menjalankan amanah dengan baik untuk kemakmuran rakyat.

Rakyat juga mengharapkan para kepala daerah harus bekerja sesuai dengan sumpah dan janjinya, untuk bekerja atas nama negara, bukan yang lain. Karena tugas kepala daerah hanya satu, yaitu melayani rakyat dan melayani negara sesuai dengan UU.

Opini ditulis oleh Renaldi Saputra, mahasiwa Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian 2018 Unmul.