Menuntut Ruang Aman dan Kesetaraan, Daralead dan Perempuan Mahardhika Peringati Hari Perempuan Internasional
Sumber Gambar: Dokumen Pribadi
SKETSA – Minggu (5/3) lalu, Daralead bersama dengan Perempuan Mahardhika Samarinda menggelar aksi dalam rangka menyambut International Women’s Day (IWD) yang digelar di Taman Bebaya, Tepian Samarinda.
Hari Perempuan Internasional atau IWD merupakan perayaan secara global terhadap prestasi wanita tanpa memandang asal, etnis, bahasa, budaya, dan ekonomi serta pandangan politik. Peringatan Hari Perempuan Internasional juga merupakan perjuangan untuk mencapai perdamaian dan kesetaraan bagi kaum wanita di seluruh dunia yang diperingati pada tanggal 8 Maret setiap tahunnya.
Peringatan IWD berawal dari peristiwa pengajuan tiga tuntutan oleh 15 ribu wanita di New York pada 1908. Isi tuntutan tersebut berupa upah kerja yang lebih baik, hak untuk memilih, serta jam kerja yang lebih singkat dan layak. Setahun kemudian, Partai Sosialis Amerika mendeklarasikan hari perempuan nasional pertama yang pada saat itu dirayakan setiap 28 Februari.
Berselang dua tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1910 silam, Clara Zetkin mengusulkan untuk merayakan hari perempuan secara internasional pada konferensi internasional untuk pekerja wanita di Kopenhagen. Akhirnya, Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) menetapkan hari perempuan internasional sebagai perayaan tahunan. Namun, IWD tidak dirayakan setiap 28 Februari, melainkan bergeser di tanggal 8 Maret, yang merujuk pada aksi mogok yang dilakukan oleh para perempuan di Rusia pada tahun 1917.
Dilatarbelakangi oleh perayaan IWD, Daralead bersama Perempuan Mahardhika Samarinda dan Perempuan Mahardhika di empat kota lainnya, yakni Sukabumi, Semarang, Makassar, Banjarmasin menggelar aksi menuju gerakan nasional dengan mengusung tema Kepastian Kerja, Upah yang Layak, Bebas dari Kekerasan dan Pelecehan, dan Hak Berserikat, serta Tidak Mau Hidup dari Hutang.
Dalam aksi tersebut, Daralead dan Perempuan Mahardhika melakukan orasi yang membawakan empat tuntutan. Pertama, penghapusan sistem kerja kontrak dan harian lepas serta kepastian kerja bagi buruh. Kedua, pemberian upah yang layak untuk buruh. Ketiga, tindak tegas praktik-praktik pemberangusan serikat dan intimidasi kepada buruh. Terakhir, perwujudan tempat kerja yang bebas dari kekerasan dan pelecehan.
Selasa (7/8) lalu, awak Sketsa berkesempatan untuk berbincang dengan Refinaya, salah satu anggota Daralead dan Perempuan Mahardhika Samarinda. Bertempat di Taman Unmul, perbincangan kala itu tak lepas menyoal aksi yang diadakan dua hari lalu.
Sistem dan regulasi kapitalis nan patriarkis jadi hal yang mantap untuk mereka soroti. Hal tersebut ungkap perempuan yang akrab disapa Naya ini sangat relevan untuk diperbincangkan. Terlebih, buruh perempuan dewasa ini kerap kali tertindas, terintimidasi, bahkan didiskriminasi oleh perusahaan.
“Sistem dan regulasi yang ada harus dibenahi, apalagi sistem yang kapitalis dan juga patriarkis. Lalu, bagaimana produk-produk pemerintah seperti Perppu Cipta Kerja itu benar-benar tidak memuat perlindungan terhadap buruh perempuan, serta perusahaan yang sewenang-wenangnya melakukan Putus Hubungan Kerja (PHK) massal kepada para pekerjanya secara tiba-tiba tanpa ada alasan yang jelas.”
Imbuhnya, Daralead dan Perempuan Mahardika Samarinda turut hadir sebagai ruang aman bagi mereka yang memiliki orientasi seksual berbeda, mendefinisikan dirinya berbeda dengan orang lain, serta mendukung mengenai kesetaraan di kampus yang dijunjung dengan tinggi.
“Harapan kami agar selanjutnya para buruh perempuan mendapatkan jaminan dalam pekerjaan, entah itu ruang aman secara fisik, psikis, bahkan ruang aman dari kekerasan seksual,” tutupnya. (nav/ali/dre)