Wadai Pembawa Rezeki

Wadai Pembawa Rezeki

Sumber: Detik.com

Dito dengan sigap menegakkan kepalanya saat mendengar suara yang sudah tidak asing bagi Dito. Suara panggilan dari seorang pedagang kaki lima yang menjual aneka macam wadai dari balik etalase beserta gerobaknya, sambil memanggil setiap pembeli yang berminat untuk membeli dagangannya. Termasuk Dito yang langsung bangkit dari teras rumah dan segera mendekati penjual itu yang seketika melayangkan senyuman tulus saat melihat Dito segera menghampirinya.

Hari semakin gelap, seorang penjual wadai ini, yang Dito yakini sudah mulai menjajakannya sejak pagi tadi berkeliling kota dengan kedua kakinya yang tangguh. Rupanya penjual ini adalah seorang ibu berumur senja, dengan kondisi paruh baya, tampak tak lelah, walau keringat terus membasahi wajahnya dan matanya yang seakan tak mampu untuk berdusta dan mengatakan bahwa dirinya sudah lelah.

Dito semakin terenyuh. Wadainya masih banyak. Sayangnya, Dito tak pernah memakannya. Ia hanya sekadar membeli, lalu membuangnya jauh ke tempat sampah. Sungguh tidak dimakannya. Dito selalu berusaha keras untuk menyuapnya ke dalam mulutnya. Sialnya, ia selalu memuntahkannya. Dito selalu membelinya setiap malam hanya karena merasa kasihan kepada penjual itu. Sampai akhirnya ia mulai meragukan rasa kasihannya itu.

Dito langsung menerima plastik besar beserta wadainya yang telah ia beli, dan membayarnya sesuai total harganya. Dito membalas senyuman tulus yang diberikan oleh penjual itu. Tepat sebelum plastik besar itu berpindah ke tangannya, sontak ia merasakan keringat dingin, terdiam seperti mematung, saat suara penjual itu menyapa tipis dan membisiknya.

“Apakah kau ingin membuangnya lagi? Sama seperti hari-hari sebelumnya?” ucap penjual itu dengan nada pelan.

Seketika, Dito semakin terkejut dan menatap langsung matanya dengan tatapan panik. Ternyata, ibu ini mengetahuinya? Apakah dirinya telah tertangkap basah saat ini? Apakah selama ini ibu itu mengingat keberadaannya?

“Mm-maaf, maksud ibu bagaimana ya?” Dengan raut wajah Dito yang berpura-pura tak paham dengan pertanyaannya.

“Dengarkan aku. Kau tak perlu segan untuk membelinya, jika hanya berakhir di tong sampah. Aku tak peduli jika jualanku tak laku. Wadai murahan ini masih bisa dinikmati oleh sekumpulan anak yang sering bermain di bawah flyover itu. Jadi, jika wadai ini akan kembali dibuang, saya akan kembalikan uangmu. Aku tak butuh uangmu,” ucap penjual itu dengan tegas, dan mengembalikan uangnya dengan paksa kepada Dito. Ia tak akan menyadari bahwa perbuatannya akan berdampak seburuk itu. Seketika Dito merasa dirinya menjadi orang yang begitu sadis dengan berperilaku tidak manusiawi kepada penjual paruh baya ini

Penjual itu bergegas pergi dan Dito segera menyusulnya. Tak lama, Dito kembali terkejut saat penjual itu membungkukkan tubuhnya.

“Terima kasih telah mengasihaniku. Kau tak perlu bersikap seperti ini lagi. Sia-sia jikalau kau terpaksa untuk bersimpati kepadaku,” ucapnya dengan tegas, sedikit ekspresi yang lesu. Lagi-lagi, Dito hanya bisa terdiam dan menatap tubuhnya yang perlahan mulai melemah itu perlahan menghilang dari hadapannya. 

***

Di malam berikutnya, saat lampu mulai menerangi kemacetan kota, dengan segala pertimbangannya, akhirnya Dito memutuskan untuk berangkat dan pergi mendatangi tempat yang sering didengarnya, tepat di bawah flyover sebagai tempat berkumpulnya anak-anak yang mengais rezeki di sekitaran lampu merah. Sesampainya di sana, ia mulai merasakan pelupuk matanya telah tergenang oleh air mata. Kemana saja dirinya selama ini. Kehidupannya bergelimang harta di saat orang-orang banting tulang untuk bertahan hidup. 

Dito segera menghampiri salah satu gerobak bakso dan es degan yang letaknya jauh dari kerumunan anak-anak yang mengerumuni si penjual wadai dengan berebut kue-kuenya yang dibagikan secara cuma-cuma. Ia berjalan ke arah berlawanan dengan anak-anak yang sedang bersorak dan berlarian mendekati si pedagang bakso dan es degan seusai dipanggil untuk pergi ke sana. Dito melihat si penjual wadai itu yang sedang membereskan dagangannya dan menghitung hasil jerih payahnya sejak pagi hingga matahari tenggelam.

“Permisi…” sapa Dito yang membuat ibu itu syok dan berdiri sambil membungkuk memberi hormat.

“Maaf ya Nak. Wadainya sudah habis.”

“Tidak, Bu! Aku bukan datang untuk itu.” Dito merasa kikuk dan gugup.

Penjual itu menekuk alisnya dengan maksud menunjukkan rasa penasaran dengan kedatangan Dito.

“Perkenalkan, nama saya Dito, Bu.” Sambil mengulurkan tangannya, dengan harapan bisa berjabat tangan langsung dengan penjual wadai itu.

Penjual itu dengan buru-buru menyapu tangannya yang kotor dan melapnya dengan kain yang ia keluarkan dari saku celananya. Sedangkan Dito masih menunggu dan mempertahankan tangannya demi sambutan dari uluran tangan penjual itu.

“Nama saya Sumirah,” jawabnya sambil membalas tangannya yang menyambut salamnya.

“Begini Bu, maksud dan tujuan saya kemari adalah untuk memberitahu ibu, adik saya baru saja membuka toko roti. Saat ini dia sedang mencari pegawai baru untuk bekerja di toko itu. Jadi, saya ingin menawarkan ibu untuk bekerja di sana. Oh ya, saya akan berikan kartu nama toko ini kepada ibu. Alamatnya sudah tertera di sana. Ibu bisa pergi ke sana kapan saja saat ibu sudah siap.” Sembari menjelaskan maksud dan tujuannya menghampiri penjual itu, Dito mengeluarkan selembar kartu nama dari saku kemejanya. 

Dilirknya Bu Sumirah yang tampak memaku. Ekspresinya berubah, sepertinya Dito sulit untuk menebak apa yang ada di dalam benaknya. Dito menelan ludahnya seperti merasakan cemas.

Ketika usai membaca dan berpikir sejenak, seketika Bu Sumirah mengangkat kepalanya dan melihat mata Dito yang menatapnya dengan rasa khawatir. Mata itu berubah menjadi berbinar.

“Terima kasih banyak ya, Nak. Kalau sempat, saya akan pergi ke toko itu.” 

“Wah, syukurlah. Kami tak sabar untuk bisa bekerja sama dengan ibu,” balasnya dengan ikut merasa senang.

Seolah Dito merasakan tangannya menggaruk kepalanya yang tiba-tiba ingin digaruk. Bu Sumirah menunduk di hadapan Dito dengan mata yang berbinar tak kunjung henti, berulang kali membaca isi dari kartu nama yang diberikan kepadanya. Dengan perasaan lega, setidaknya Dito punya keinginan untuk berubah. Mengakui kesalahannya, memperbaikinya dengan memulai perbuatan baik dari hal yang sederhana.

Cerpen ditulis oleh Cahaya Daffa Fuadzen, mahasiswa prodi Sastra Indonesia, FIB 2020.