Sumber Gambar: Pexels
Baju seragam lusuh yang dikenakan Suminah tertumpah susu coklat Luna yang masih sangat panas itu. Beberapa dari murid di sana hanya menoleh dan sebagian hanya mengatakan kasihan. Namun, itu hanya sebatas kata-kata yang sampai di mulut. Bahkan, sebagiannya lagi enggan untuk menoleh ke arah Suminah.
Luna yang entah sengaja melakukannya atau tidak, hanya mengambil botol minumnya kemudian melemparkan sedikit tisu ke arah Suminah. Lagi-lagi Suminah memberikan senyum lebarnya dan mengelap bajunya sendiri. Guru yang melihat kejadian itu langsung meminta Suminah untuk mengganti bajunya dengan jaket saja. Tanpa sedikit pun memarahi Luna yang sudah berbuat ulah.
Ini sudah kesekian kalinya Suminah diperlakukan tak pantas. Syukur-syukur diberi tisu dan tidak diejek. Biasanya, ia dipukul dan dihina oleh teman-teman sekolah. Hal yang sangat disayangkan adalah pihak kesiswaan seakan tidak berfungsi di sekolah swasta ini. Mereka justru kerap membolak-balikkan peristiwa dan pada akhirnya Suminah lah yang menanggung risikonya.
Sudah saatnya istirahat, anak-anak berlarian menuju kantin dan sebagian ada yang ke koperasi, sedangkan Suminah setiap harinya terbiasa membawa bekal yang saban pagi disiapkan oleh ibunya. Pesan ibunya, “Jangan jajan sembarangan, nanti kamu sakit.” Seperti yang kita tahu, sekarang banyak penjual makanan anak-anak yang mengandung zat-zat tidak baik bagi tubuh manusia. Maka tak heran jika anak-anak kecil sekarang sudah mengidap penyakit-penyakit layaknya orang tua. Karena itu, ibu Suminah sangat mengkhawatirkan kesehatan anaknya.
Sebenarnya Suminah bukan anak yang culun apalagi bodoh, ia justru kerap kali mendapat peringkat tiga besar di kelas dan bahkan sempat mendapat juara dua olimpiade matematika tingkat provinsi. Namun, bukannya mendapat pujian, ia justru dianggap ingin menjatuhkan teman-temannya yang lain. “Sirik tanda tak mampu,” batin Suminah.
Setiap pulang sekolah, seperti biasa Suminah jalan kaki menuju rumahnya. Namun, tak ada satu pun anak yang tahu di mana rumah Suminah dan tak ada pula dari temannya yang mencari tahu lebih lanjut soal itu. Hanya saja Suminah sering dianggap miskin dan menyedihkan, sebab jika anak-anak lain tidak dijemput orang tuanya maka mereka akan naik mobil angkutan siswa.
Satu hal yang selalu membuat temannya jengkel dengan Suminah adalah senyum lebarnya. Suminah tidak pernah membenci apalagi melakukan hal yang sama seperti yang teman-temannya lakukan padanya, karena ia selalu saja tampil dengan senyum lebarnya.
Seno adalah teman sekelas Suminah yang sering merasa kasihan melihat Suminah diperlakukan tidak adil. Mereka duduk sebangku dan karena itu akhirnya Seno juga ikut dijauhi oleh teman-temannya.
“Kalau kamu keberatan berteman denganku, enggak apa-apa. Jauhi aja aku,” suatu hari Suminah mengatakan hal demikian kepada Seno. Namun, Seno tetap ingin berteman dengannya, dan mereka sama pintarnya dalam bidang matematika.
Tertera di majalah dinding sekolah bahwa akan diadakan rapat orang tua mengenai gedung yang ingin dibangun, dan tentu rapat ini akan merujuk kepada pembiayaan gedung. Suminah dan Seno dengan saksama mengingat tanggal rapat untuk diberitahukan kepada orang tua mereka.
Jam bel pulang berbunyi, hari ini Suminah dijemput orang tuanya. Satu hal yang membuat takjub adalah Suminah dijemput dengan mobil Fortuner yang tentu harganya bukan main-main, bahkan anak kepala sekolah saja diantar jemput memakai motor. Karena Seno juga sering pulang jalan kaki, maka Suminah mengajak Seno untuk pulang bersamanya.
Saatnya hari rapat orang tua, ibu Suminah datang dengan sederhana. Ternyata tidak hanya Suminah, ibunya pun seperti terkucilkan dari ibu-ibu lain yang datang dengan tampilan glamor. Ibu-ibu itu berkumpul dan bersolek layaknya seorang ibu pejabat. Ayah Suminah tidak bisa datang sebab masih jam kerja, maka ibunya datang seorang diri.
Rapat pun berlangsung. Seperti yang diperkirakan, pembahasan tidak jauh dari biaya gedung dan setiap siswa dikenai biaya sedikitnya Rp250.000,-. Ibu-ibu yang duduk di sebelah ibu Suminah pun berkerumun merasa keberatan dengan biaya gedung ini. Akhirnya ibu Suminah mengangkat tangan saat sesi diskusi dibuka dan ia pun dipersilakan berbicara. Seluruh pasang mata tertuju ke arahnya dengan pandangan rendah, “Pasti mau minta keringanan!” ucap salah satu ibu glamor setengah berbisik.
“Kira-kira berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk penyelesaian gedung tersebut? Jika uang dari para orang tua murid sudah keluar, apakah uangnya benar akan digunakan untuk menyelesaikan bangunannya?” Suara lantang dari ibu Suminah membuat seisi ruangan terbungkam sejenak, begitu beraninya ia mempertanyakan hal demikian.
Namun, sebenarnya tujuan dari ibu Suminah adalah menyuarakan keluhan-keluhan dari ibu di sampingnya yang keberatan jika harus membayar uang gedung lagi. Kepala sekolah yang mendengar pertanyaan tersebut mulai angkat bicara dengan nada tersinggung. Kepala sekolah memastikan uangnya pasti akan digunakan sebagaimana seharusnya tanpa ada manipulasi pembicaraan.
Rupanya ibu Suminah merasa belum puas dengan jawaban itu, “Anak-anak yang bersekolah di sini sekitar delapan ratus anak, jika biaya yang sudah ditentukan dikali dengan jumlah anak maka ada sekitar dua ratus juta dana yang terkumpul. Angka ini memang mencukupi pembangunan gedung, tapi banyak dari ibu-ibu yang keberatan dengan biaya ini. Bagaimana jika dikurangi menjadi setengahnya saja? Saya rasa itu akan jauh lebih mudah diterima.”
Lagi-lagi, sanggahan ibu Suminah membuat yang lain hanya terdiam saja. Sebagian merasa takjub dengan keberaniannya bersuara, sebagian yang lain tidak peduli. Kepala sekolah kembali menjawab, “Jika hanya setengah, maka bagaimana dengan setengahnya lagi. Biaya yang kami tetapkan sudah paling minimum sebab bukan hanya membangun, tapi juga isi dari gedung tersebut. Kami harap para orang tua bisa mengerti kendala seperti ini.”
“Saya yang akan menanggung setengahnya.” Tanpa perlu berlama-lama lagi, ibu Suminah menyambar pembicaraan sebelum waktunya ia dipersilakan berbicara.
Berita bahwa orang tua Suminah yang menanggung setengah dari biaya gedung pun membuat heboh satu sekolah. Usut punya usut, ternyata ayah Suminah adalah pemilik dari perusahaan besar di luar negeri dan ibunya menjalankan usaha makanan yang sudah bercabang di beberapa kota di Indonesia. Pantas saja bekal makanan Suminah selalu enak.
Semenjak hal ini terungkap, tak ada lagi satu pun teman Suminah yang menanggapnya remeh. Mereka justru mendekati Suminah, begitu pula dengan Seno. Kini para guru di sekolah memperlakukan Suminah dengan spesial. Suminah masih tetap dengan senyum lebarnya.
Cerpen ditulih oleh Suci Nur Fhatonah, mahasiswi Prodi Sastra Indonesia, FIB 2021.