Sumber Gambar: Pexels
"Kau tahu yang lucu dari seorang manusia?" lelaki paruh baya melempar tanya pada seorang pemuda di hadapannya. Mereka sedang duduk di warung makan kecil, di dalam sebuah gang di mana orang-orang berlalu lalang sedari tadi. Ada anak-anak kecil berlarian membawa layangan, seorang ibu berjalan sepulang dari pasar, pengangguran berkaos oblong memandikan burung, dan suara gaduh lainnya yang berasal dari rumah warga.
Seorang pemuda di hadapan lelaki paruh baya hanya sibuk mengangkat sendok. Celananya sedikit robek, kaosnya berwarna pudar, barangkali sudah terlalu sering dicuci dan dikenakan. Ia tampak lebih nikmat menyantap makan siangnya daripada menjawab pertanyaan yang dilontarkan lelaki paruh baya.
"Bukan sedang melawak saja, manusia bisa lucu, lo," seru lelaki paruh baya itu.
Pemuda bercelana pendek yang sedari tadi diajak bicara belum juga selera bersuara, seolah-olah telinganya sudah ia telan bersama makan siangnya hari itu. Rupanya lauk warung Tegal hari itu lebih nikmat daripada pertanyaan basa-basi orang di sebelahnya. Barang kali semua yang memiliki kata basi memang tidak nikmat.
"Kamu tahu nggak kalau saat menjalani hidup, orang-orang tu sering kesusahan? Kadang susah makan, kadang makan susah, ada yang susah napas, susah gerak, susah berduit,” lelaki paruh baya itu melanjutkan kalimatnya yang tidak juga dihiraukan. Lebih seperti burung beo yang ditinggal pemiliknya pulang kampung.
“Pernah nggak kamu liat orang susah ketawa? Jarang kan orang kena musibah ketawa?"
"Ada, tapi orang gila," jawab pemuda itu, tapi hanya di dalam hatinya. Sayang sekali sepertinya ia dengan mulutnya yang sedang mengunyah itu, sampai-sampai rehat sejenak. Untuk bicara saja enggan.
"Kau tahu? Tuhan sebenarnya selalu diperlukan manusia," lelaki paruh baya itu masih tak gentar bertanya.
"Enaknya perkedelku."
Lagi-lagi pemuda itu acuh, tapi pujian untuk perkedel hanya terucap dalam hati. Barangkali ia perlu jasa penyampai hati untuk benar-benar mengucapkan setiap kata secara nyata.
"Kita tu jadi orang seringnya minta sama Tuhan pas susah aja, pas seneng malah lupa."
Lelaki separuh baya itu terkekeh, dilanjutkan dengan menggigit ikan asin goreng kering. Matanya sesekali menatap pemuda yang asik dengan isi piringnya. Lahap sekali pemuda itu makan seperti tidak ada hari esok baginya menikmati menu yang sama.
Padahal warung Tegal di gang kecil itu tak hendak pergi ke mana-mana. Sedang pemuda yang sibuk dengan isi mulutnya itu masih acuh, tetapi makanannya mulai menipis dan minumannya hampir habis.
"Sandalmu masih bagus?" tiba-tiba lelaki itu bertanya.
Pemuda itu lantas melihat keadaan kakinya. Masih lengkap sandal jepit dari rumah yang ia kenakan tadi beserta jari-jari kakinya. Tatapannya lantas tertuju pada lelaki di sebelahnya yang ternyata juga memperhatikan sandal dan kakinya.
Seolah dengan gestur tubuh demikian pertanyaan atas kabar sandalnya hari itu dapat terjawab. Pemuda itu kembali menatap piring dan menyuap santapan terakhirnya. Kepalanya melihat piring yang kini sudah kosong.
Tak ada lagi lauk di sana. Perkedel, sambal, dan sayur hijau yang tadi bertengger telah berpindah ke dalam perutnya, menjelma menjadi energi untuk menjalani sisa hari. Matanya mulai menatap lelaki yang sedari tadi menduduki bangku panjang yang sama. Barangkali ia baru sadar lelaki paruh baya itu seperti bicara sendirian.
“Memangnya kalau sandalku putus kenapa?"
“Ya kalau sandalnya putus, aku akan menyuruhmu minta pada Tuhan.”
“Memangnya perlu? Sandal putus aja minta sama Tuhan. Bisa aja kan langsung beli ke pasar.”
Lantas lelaki paruh baya itu hanya tersenyum. Makanannya telah tandas dan ia mulai beranjak dari tempat duduknya. Sepasang kaki tua yang sudah tidak lagi kokoh perlahan melewati pintu warung makan yang sangat sederhana di gang pinggir kota.
Bersama tangan yang menggenggam sandal putus di sebelah kanan dan sepasang sandal baru yang berada di bawah telapak kakinya, lelaki tua itu pergi ditemani bising suara-suara orang bercakap-cakap, anak-anak bermain layangan di lahan sempit nan seadanya. Binar cahaya matahari dan panas menyengat, lelaki tua itu menghilang meninggalkan manusia lucu seperti yang dikatakan lelaki tua di awal percakapan.
Cerpen ini ditulis oleh Ai Nasyrah Nurdea, mahasiswi Program Studi Sastra Indonesia FIB Unmul 2022