MALAM basah, jalanan sepi, angin kencang mulai membekukan tubuh manusia yang berdiri sedari tadi di depan jendela kamar yang menganga, seperti hatinya yang telah digerogoti luka menahun, gorden mengibas-ngibaskan helai hingga sesekali menyentuh wajahnya yang juga basah seperti jalanan yang lengang, ia baru tersadar air matanya mengalir begitu saja lewat pipinya yang mulai keriput namun masih meninggalkan guratan kecantikan di masa lalunya. Dipandanginya jalanan itu seolah ada kenangan yang terus berjalan tanpa tujuan dan tak tahu arah untuk kembali. Tak ada siapa-siapa di sana, bahkan sampai esok pagi, siang, sore, malam atau sampai ajal menjemputnya pergi.
Dua puluh tahun lamanya sendiri membuatnya terasa mati walau nyatanya masih bernapas. Ia kembali duduk di kursi, sendiri. Sontak ia berdiri lagi, mengambil sebuah buku yang sudah mulai usang dan berdebu di atas lemari, kemudian duduk kembali dan mulai membuka lembar tiap lembar, ia eja satu kalimat demi kalimat dengan nada yang terisak dan tenggorokannya yang kering akibat mempuasakan diri selama berhari-hari, tak ada sesuap makanan atau seteguk air pun yang menyentuh kerongkongannya, hanya air mata yang tidak sengaja tertelan.
“Akulah hati yang kau lempar jauh dari genggaman eratmu hingga aku terdampar di padang pasir, mendamba basah karena gersang yang mematikan. Lihatlah aku sayang, sepasang bola mata kemarau karena air yang kau kuras habis tak tersisa setetespun kesejukan. Lihatlah aku sayang, sepasang hati yang terpisah jauh saat berpalingnya wajah dalam diam yang menikam, tak ada kata, hanya butiran-butiran kebencian merasuk di celah kekecewaan yang mendalam.
Pelan-pelan perempuan empat puluh tahun itu menutup buku hariannya yang sedari tadi ia baca dan ia genggam, lalu meletakkan buku itu di meja tepat di samping ia duduk. Tubuhnya melorot dan leher bersandar di bibir kursi yang biasa untuk meletakkan bahu, dipandanginya langit-langit kamar dan bergeming sendiri, namun disaksikan oleh jam dinding yang terus berdentang seolah mengolok-olok kedukaan yang ia rasakan.
“Oh kekasihku, aku terkenang…”
Malam itu bagaikan malam pertemuan yang singkat antara dua insan yang akan jauh berpisah. Ya, mereka akan jauh berpisah, jauh sekali, bahkan jarak tak mampu mengukur seberapa jauh mereka akan terpisah.
“Mungkin ada kata-kata terakhir yang ingin kau sampaikan kepadaku, sayang?”
Dengan bibir gemetar, wanita itu menatap dalam-dalam kepada pria yang berdiri tegak di hadapannya. Namun pria itu tak mengucap kata sepatah pun, sikapnya dingin seperti angin kemarau yang berembus mengitari mereka. Ia berbalik arah dan berlalu pergi tanpa menoleh ke arah wanita yang masih memandangi punggungnya dari belakang.
Sudah dua puluh tahun lamanya lelaki yang ia cintai pergi, bertolak belakang dengan yang biasa ia dulu ucapkan kepada wanita saat masih bersama-sama. Celoteh ria karena hal sepele yang membuat gurihnya senyuman di wajah wanita yang terus terpancar hingga membuat sang lelaki merasa dihargai, merasa bahwa tak akan ada wanita lain yang ia incar lagi selain dia, hanya dia, wanita yang menemaninya hampir empat tahun lamanya dengan ikatan percintaan langit sebagai saksi janji suci mereka, tanpa penghulu, tanpa rekan, dan sanak saudara. Hidup bagi mereka adalah kebebasan bercinta, tak ada alasan lain mengapa mereka tak ingin diikat resmi oleh penghulu agama mereka masing-masing. Ya, semua itu sekali lagi hanya karena CINTA hingga meninggalkan dua pasang orang tua.
“Namun, Ah, mengapa kau begitu tega meninggalkan aku sendiri, sayang? Padahal belum habis kita tuntaskan rindu yang menggebu-gebu setiap waktu. Seharusnya hari itu kita minta nikahkan kepada pendeta dan penghulumu. Harusnya hari itu sudah ada cincin yang melingkar di jari manisku dan jari manismu, harusnya kita sama-sama merayakannya dengan berbulan madu. Bersama-sama menghabiskan dan membunuh waktu. Ya, hanya bersamamu segala waktu akan ku persembahkan, kekasihku.”
Wanita itu bergeming kembali. Di dalam hatinya, seharusnya ia tak membujuk lelaki untuk berpaling kepada Tuhannya, seharusnya ia menurut apa katanya, meskipun ia tahu bahwa lelaki sangat mencintainya, namun harusnya ia juga tetap sadar bahwa kepercayaan tetaplah kepercayaan, tidak bisa kurang dan dilebih-lebihkan, apalagi meninggalkan. Sekarang wanita itu sudah paham mengapa kekasih yang sangat ia cintai meninggalkannya jauh tanpa satu patah katapun sebagai ucapan terakhir perpisahan yang ternyata sudah selama ini, dua puluh tahun merindukan, mencintai, membayayangkan, sangatlah menyiksa dan menguras habis pikiran, hati, dan jiwanya. Sebelum benar-benar lelaki itu membisu dan kemudian pergi, ia telah menyisakan kata terakhir, benar-benar terakhir:
“Apakah kau mencintaiku?” tanya wanita itu ragu.
“Tentu, mengapa masih kau pertanyakan?”
Wanita itu kembali bertanya kepada lelaki yang mulai ragu dengan jawabannya.
“Lalu, kapan kita akan menikah? Sudah empat tahun kita menjadi sepasang kekasih tanpa ikatan sakral dan suci.”
“Bisakah kau bersabar sedikit saja sayang, aku harus berpikir matang-matang sebelum semuanya kita lakukan. Kau tahu, kita berbeda, harus ada salah satu diantara kita yang mengalah, menurut, dan menerima jika kita ingin selalu bersama-sama.”
Lelaki itu menjawab dengan bijak.
“Kamu tidak benar mencintaiku, kamu pembohong, kamu hanya ingin bersamaku, tapi tidak untuk menikah denganku.”
Dengan nada tinggi wanita itu melontarkan emosinya.
“Apa maksudmu? Kamu pikir aku harus meninggalkan kepercayaanku selama ini hanya karena cinta? Sudah cukup dengan meninggalkan orang tua, tidak lebih untuk agama. Apakah kau ingat bagaimana tangis pecah orang tuaku menyaksikan anaknya pergi karena cinta, pergi meninggalkan sosok yang selama ini merawatnya dari kecil hingga dewasa? Tidakkah kau berpikir sejauh itu, dan pikirlah orang tuamu juga.”
Tak mau kalah, sang lelaki bernada jauh lebih tinggi memantapkan suara, terlebih keyakinannya di hadapan wanita yang sangat ia cintai. Hari itu, untuk pertama kalinya kata-kata yang kasar mulai saling bertabrakan, seakan tiada lagi ucapan yang lembut dan pantas didengar oleh dua pasang telinga anak manusia yang berbeda agama. Wanita itu hanya memendam tangis yang ia sembunyikan dengan menundukkan kepala, dan tanpa sadar langkah lelaki itu perlahan-lahann menjauh, wanita itu tahu, tapi tidak bisa berbuat apa-apa, tidak bisa menahan dan juga memaksa, apalagi meronta-ronta di hadapannya.
Tiba-tiba wanita itu dikejutkan oleh sesuatu yang entah apa dan memaksanya untuk terbangun dari lelap tidurnya. Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh pagi, wanita itu masih memposisikan tubuhnya di atas kursi sejak semalam sambil masih mengenang kekasihnya, hingga membawanya ke mimpi, mimpi yang sama persis dengan kejadian yang sebenarnya, sangat persis hingga akhirnya sang wanita merindukannya lagi, lagi, dan lagi.
Anggana, 2015
Ditulis oleh Anna Wandira, mahasiswi Sastra Indonesia angkatan 2014, Fakultas Ilmu Budaya.