Ketika Aku dan Kamu Menjadi Kita

Ketika Aku dan Kamu Menjadi Kita

Hari ini adalah hari bersejarah dalam hidupku. Ya, tepat 3 September 2008, hari di mana aku resmi menjadi seorang mahasiswa. Status yang sangat diinginkan oleh semua orang. Biaya kuliah yang tinggi, mengakibatkan tidak semua orang dapat berkuliah. Inilah potret bangsaku. Pendidikan harus dibeli.

.........

Aku bergegas menuju ruangan yang terletak tepat di samping kantin mahasiswa. Dengan percaya diri. Ku langkahkan kaki dengan tegak memasuki ruang kelas pengantar akuntansi. Jam tanganku menunjukan pukul 08.05. “Aduh, sudah terlambat, pasti dihukum nih,” sahutku dalam hati. Wajar saja dosen yang mengajar kali ini adalah Pak Budiman. Dosen yang terkenal killer di kampusku. Pernah ada mahasiswa yang dilarang masuk kelasnya. Hanya karena terlambat lima menit.

Bagaikan terkena listrik 100 volt. Aku kaget luar biasa ketika melihat isi ruangan yang sepi, belum ada aktivitas belajar mengajar. Hanya terdapat satu orang wanita. Jilbabnya besar, hingga menutupi hampir seluruh badannya. Wajahnya putih bersih. Melihatku memasuki ruangan, pandangannya tertuju begitu datar. Tanpa ekspresi. Aku memilih duduk di kursi paling depan. Tempat favoritku di kelas sejak sekolah dasar. Karena menurutku posisi duduk paling depan lebih memudahkan dalam menyimak penjelasan dari dosen.

.........

Namaku Ocan, mahasiswa semester lima, di salah satu perguruan tinggi terbaik di Kalimantan Timur, ya Universitas Mulawarman namanya. Perguruan tinggi yang mengajarkanku banyak hal. Mulai dari ilmu ekonomi, ilmu sosial, hingga ilmu tentang cinta. Aku bukanlah mahasiswa dengan predikat kupu-kupu (kuliah pulang, kuliah pulang). Aktivitasku di kampus banyak bersinggungan dengan organisasi, menjadi Wakil Ketua BEM Fakultas Ekonomi dan Bisnis membuat hari-hariku dipenuhi dengan kesibukan. Tugas kuliah dan  praktikum terkadang sampai terlupakan, hanya karena fokus terhadap kegiatan organisasi. Tetapi aku tetap mengutamakan prestasi. Terbukti dari IP semester lalu mencapai angka 3,95. Selain itu, aku juga beberapa kali menjuarai lomba-lomba karya tulis ilmiah. Karena bagiku, belajar, berprestasi, dan berorganisasi adalah rangkaian yang tidak terpisahkan.

Menjadi seorang yang terkenal di kampus, bukan menjadi jaminan bagi diriku untuk dekat dengan semua orang. Setidaknya untuk di kelas hanya satu orang yang belum pernah menegurku, bahkan jika berpapasan, dengan cepat dia menundukan pandangannya. Bukan hanya pada diriku, terhadap semua teman di kelas juga mendapatkan perlakuan yang sama. Dia hanya memiliki satu teman berbicara di kelas dan itu adalah Meli, sahabatnya. Sempat terbesit dalam pikiranku bahwa ia adalah wanita yang angkuh, tidak memiliki teman, dan jarang bersosialisasi. Belakangan aku baru sadar bahwa sikapnya yang sangat tertutup, dikarenakan ia harus menjadi kakak sekaligus orang tua bagi kedua adiknya.

Mery namanya. Wanita malang yang ditinggal pergi kedua orang tuanya setahun lalu, karena kecelakaan pesawat terbang, ketika hendak menghadiri pernikahan rekan kerja ayahnya di Jakarta. Kini Mery harus menyekolahkan adik bungsunya yang baru saja tamat sekolah dasar. Di samping itu, dia juga harus memikirkan studinya yang kini memasuki masa KKN, dan pasti membutuhkan biaya yang cukup besar. Dengan kondisi seperti ini, mengharuskannya kuliah sambil bekerja. Mungkin itu sedikit hal yang bisa aku ketahui dari Mery. Setelah bertanya pada Meli tentang alasan sikap esklusifnya terhadap semua orang.

........

Hari mulai senja, hampir semua mahasiswa sudah meninggalkan kampus, hanya segelintir saja yang masih bertahan. Termasuk aku. Buku catatanku hilang! Buku yang berisi coretan-coretan penting rapat organisasi atau semua inspirasi yang ku temukan, semua ada di buku itu. Buku yang sangat berharga bagiku. Sembari keluar masuk kelas, memeriksa semua isi meja. Tiba-tiba dari belakang ada yang memanggil, “Ocan, cari buku ini ya?”

---Jika pertama kali bertemu tekanannya 100 volt, kini lebih tinggi hingga kira-kira 220 volt---

“Iya,” sahutku dengan pelan, membalas suaranya yang begitu lembut. Bagiku ini adalah sesuatu yang langka, Mery menyapaku. Suara yang lembut, seakan membuat jantungku berhenti berdetak.

“Iya Mery, terima kasih. Aku sudah dari tadi mencarinya, di mana kamu menemukannya?”

 “Di dekat tempat sampah, karena melihat tertulis namamu di bagian covernya, langsung aku mencarimu, dan Alhamdulillah ketemu di sini.”

“Sudah ya, lain kali jangan ceroboh, aku pergi dulu. Assalamua’alaikum..” jawabnya dengan cepat dan langsung meninggalkanku.

Hari begitu cerah, awan biru menghiasi hamparan samudera langit nan indah. Ini adalah hari besar dalam hidupku. Hari di mana aku melepaskan masa lajang. Memiliki kehidupan yang baru, dengan ikatan rumah tangga.

Beberapa teman mahasiswa menganggapku gila, ya. Memasuki semester enam, ku bulatkan tekad untuk meminang seorang gadis. Bagiku ini adalah sebuah perjudian besar. Aku harus menyelesaikan studiku dan juga bertindak sebagai suami, dan pasti akan membiayai hidup istriku, termasuk biaya spp kuliahnya.

Memasuki gedung pernikahan, jantungku terus berdetak kencang. Seakan masih belum percaya menikah di usia 21 tahun dengan status mahasiswa. Ketika pembacaan akad nikah, sejenak aku terdiam dan menutup mata, seraya berdoa dalam hati. “Ya Allah aku tidak berdaya atas kuasaMu, berikanlah keajaiban atas pernikahan ini ya Allah,”.Seketika langit yang semula cerah, tiba-tiba turun hujan, sahutku dalam hati, “Ya Allah hanya kepadaMu-lah kami menyembah dan hanya kepadaMu-lah kami memohon segala pertolongan,”

Kusandarkan hidungku di dahinya seraya memberikan puisi cinta pertamaku.

”Lihatlah bahkan langit pun menangis ketika bidadarinya turun ke bumi untuk mendampingiku,”

Cinta tidak mengenal usia maupun status, cinta hanya membutuhkan keyakinan yang tulus untuk dapat melahirkan benih-benih cinta yang baru. Kini aku dan Mery hidup bahagia dalam lingkaran cinta.

Tuhan menjanjikan jodoh yang terbaik untuk umatnya. Ketika aku dan kamu menjadi kita. Di saat itulah cinta hadir dengan ridho illahi

Ditulis oleh Anwar, Mahasiswa S1 Ekonomi Islam, 

Universitas Mulawarman.