Sumber Gambar: Pexels
Aliran sungai cukup membersihkan tangan dan kaki Arai dari lumpur yang menempel. Gadis itu dengan cekatan membasuh pakaiannya sebelum hari kian menggelap. Nara yang berada di sebelahnya hanya bisa terdiam melihat gadis itu. Agaknya, sejak pagi Arai dalam suasana hati suram.
“Arai, sebenarnya ada apa?” pertanyaan kedua kalinya yang diungkapkan Nara.
Arai menghela napas. Ia tahu Nara tidak akan pernah berhenti sebelum ia mengatakan apa yang ada di dalam pikirannya.
“Djata sudah tahu Nara." ucap Arai lemah.
“Tentang Dehen yang bertanggu ke Lamin orang tuamu?” tanya Nara terkejut. Arai hanya bisa mengangguk. Tanpa terasa, air matanya luluh begitu saja.
“Aku menyukai Djata sejak pertama kali pindah ke Sunta.” lanjutnya berusaha menepis air matanya. Sunta adalah tempat tinggal mereka sebagai salah satu suku Dayak Gaii saat ini. Seluruh remaja yang telah beranjak lebih dari lima belas tahun diharuskan meninggalkan Lamin dan tinggal bersama pemuda-pemudi lainnya pada sebuah rumah yang mereka sebut Sunta.
“Aku berharap ia yang melamarku terlebih dahulu. Orang tuaku sangat menyukai Dehen, Nara. Aku bisa melihat harapan besar di mata mereka agar aku mau menerima lamarannya.” Kali ini Arai mengalihkan pandangannya pada Nara.
Nara yang tak bisa mengatakan apa pun hanya bisa memeluk sahabatnya itu. Ia sadar saat ini tidak ada yang bisa dirinya lakukan kecuali menenangkan Arai yang tampak begitu patah hati. Tanpa banyak bicara, Arai dan Nara menyelesaikan kegiatannya. Mereka berjalan mendahului teman-temannya yang masih sibuk membersihkan pakaian mereka setelah memanen padi.
Malam menjelang, Arai baru saja menyelesaikan makan malam bersama pemuda-pemudi lainnya di Sunta. Di bawah rembulan malam yang terang, ia melihat Djata yang termenung sendirian di depan Sunta.
“Djata,” panggil Arai.
Djata menoleh mendapati gadis itu dengan raut wajah sedih. Tak berbeda jauh dengannya.
“Ya?” jawab Djata pelan.
“Aku tak akan menerima lamaran Dehen, aku akan menunggumu Djata. Kau juga sama denganku bukan?” Arai tak sanggup menahan diri lagi.
“Jangan bercanda Arai!” jawab Djata tegas.
“Pikirkan perasaan orang tuamu, lagi pula aku memang tak pantas untukmu!” ucap Djata mengalihkan wajahnya.
“Maksudmu apa Djata? Lantas bagaimana dengan perasaanku? Apa kau ingin aku menikah dengan Dehen? Kau tidak menyukaiku lagi, Djata?” tanya Arai dengan tangis yang menggebu.
“Ya! Terima saja Dehen. Lupakan perasaan kita!” Djata berlalu tanpa melihat Arai yang telah menangis pilu semalaman itu.
Fajar mulai menyingsing, menandakan Arai dan pemuda-pemudi lainnya harus bergegas pergi ke ladang untuk memulai rutinitas mereka. Pagi yang cerah itu tidak membuat suasana hati Arai membaik. Djata yang saat itu berpapasan dengan Arai mengalihkan pandangannya. Arai sendiri tak berniat ikut ke ladang pagi itu. Ia justru pergi ke Lamin orang tuanya dan memberikan kabar yang akan mereka nanti-nantikan.
Tepat saat ia berada di depan Lamin, Dehen sedang bersenda gurau dengan kedua orang tuanya. Pantas saja pria itu tidak ada di Sunta. Melihat Arai datang, kedua orang tuanya meninggalkan Dehen dan Arai yang kini dalam keadaan canggung.
“Dehen, kau tidak ke ladang hari ini.” Arai memecahkan kecanggungan mereka.
“Ya! Ayahmu memintaku datang pagi-pagi buta untuk membawakan sesuatu…” Dehen terdiam melihat Arai menggulung sebuah rokok daun.
“Ambillah Dehen, aku menerimamu.” Dehen terkesiap. Dalam adat-istiadat mereka, apabila seorang gadis menggulungkan rokok daun kepada pria yang berniat melamarnya, itu artinya gadis tersebut menerima lamaran dari pihak pria.
“Kamu serius Arai?” ucap Dehen terlewat senang.
“Ya. Lamar aku secepatnya Dehen.” Arai menjawab dengan senyuman kecil yang sedikit terpaksa.
“Besok aku akan langsung melamarmu Arai!”
Dehen bersungguh-sungguh dengan ucapannya, karena keesokan harinya, Lamin orang tua Arai dipenuhi dengan orang tua dan sanak saudara Dehen. Mereka membawa jujuran berupa talam tembaga yang berkaki tunggal, tajau, dan juga manik tua. Proses lamaran itu berjalan bahagia. Setidaknya bagi keluarga Arai, gadis itu terlalu piawai menyembunyikan kesedihannya.
Setelah prosesi lamaran itu selesai, Dehen dan Arai resmi bertunangan. Dehen kemudian diwajibkan basekawa kepada orang tua Arai. Basekawa sendiri memiliki arti bekerja pada bakal mertua. Dengan bantuan Arai, Dehen akan menjalani masa basekawa selama satu tahun lamanya.
Hari ke hari berlalu. Arai dan Dehen terlihat semakin dekat. Tepat satu minggu lagi adalah prosesi Kawin Annik antara Dehen dan Arai. Kawin ini merupakan kawin batin di antara keduanya sebelum nantinya mereka akan melaksanakan kawin besar.
“Arai, tolong bawakan makanan ini pada ayah dan calon suamimu di ladang. Kasihan mereka kalau harus menunggu makan siang.”
Pagi ini, Dehen kembali menjalani kewajibannya untuk membantu orang tua Arai. Arai yang mendapati perintah ibunya lantas segera membawa bekal tersebut.
Dalam perjalanannya menuju ladang orang tuanya, ia melihat teman-temannya juga sedang asyik berladang di tempat mereka dulu. Niatnya ia ingin singgah sebentar.
“Arai! Arai!” teriakan Nara dari arah berlawanan sontak membuatnya menoleh. Gadis itu berlari hingga terengah-engah.
“Nara, ada apa? Tenanglah dulu." jawab Arai bingung.
“Djata… Djata melamar perempuan lain.”
***
Arai tak mengerti akan perasaannya. Sebaliknya dari mengantar bekal, ia tidak berbicara apa pun dan mengurung diri di dalam kamarnya. Ia menangisi Djata. Ya, Arai masih sangat mencintai pria itu. Selama ini, ia berusaha melupakan Djata dan belajar mencintai Dehen, semuanya sia-sia. Ia masih terjerat cinta lamanya.
Malam harinya, Arai keluar dari Lamin. Ia mengatakan akan bertemu dengan teman-temannya di Sunta dan tidak ingin ditemani oleh Dehen. Sesampainya di Sunta, ia langsung mencari keberadaan Djata.
“Arai,” panggil Djata kaget melihat Arai ada di Sunta malam ini.
“Djata, kau sungguh sudah tidak mencintaiku lagi?” tanya Arai dengan mata yang telah berkaca-kaca.
“Arai! Sadarlah! Kau sudah bertunangan dan aku sekarang sudah melamar gadis lain! Lupakan masa lalu kita. Kau akan Kawin Annik sebentar lagi. Mengapa kau masih bertanya hal itu padaku?” ucap Djata tak habis pikir.
“Cukup jawab! Apa kau sudah tidak mencintaiku Djata?” Lolos sudah air mata Arai. Ia tak sanggup menahan ini lagi.
“Hentikan Arai! Aku sudah tidak mencintaimu!” Djata berlalu dari hadapan Arai dengan emosi menggebu.
Masih sesenggukan, Arai pergi dari Sunta. Bukan arah rumahnya yang Arai tuju. Kini ia menuju tempat yang memiliki ribuan kenangan dengan Djata dan teman-temannya, sungai. Sudah cukup, Arai tidak yakin akan sanggup menjalani rasa bersalahnya pada Dehen jika melanjutkan semua ini. Ia juga tidak akan kuasa melihat raut wajah kecewa kedua orang tuanya.
Dengan penglihatannya yang mulai kabur, Arai merasa dinginnya air sungai mulai memeluk tubuh gemetarnya. Ia sempat tersenyum, sebelum sepenuhnya menutup mata legamnya.
Cerpen ditulis oleh Alyda Khairunnisa, mahasiswi prodi Ilmu Komunikasi, FISIP 2022.