Sumber Gambar: Dokumen Pribadi
Sore itu, kami tiba di markas VOC. Pakaianku telah bercampur debu. Dedaunan kering bertengger ria di janggutku. Dadaku naik turun mengikuti ritme nafasku yang cepat. Medali jenderal VOC hampir terlepas dari dadaku. Tak luput, kepalaku masih terasa sakit karena peluru sumpit Panglima itu. Kenyataannya, aku baik-baik saja bahkan tidak terluka sedikitpun. Aku hanya tidak ingin dianggap pecundang oleh prajurit yang lebih muda. Prajurit muda yang tak kuingat namanya itu membopongku hingga ke markas. Ia sepertinya kelelahan tapi enggan mengatakan apapun karena khawatir akan kudemosi. Aku duduk di luar markas, beberapa prajurit datang menghampiri kami. Mereka memberikanku air dan berusaha membuatku senyaman mungkin.
“Apa yang terjadi, Jenderal?” aku terlalu lelah untuk mencari asal pertanyaan itu.
“Kami bertemu beberapa inlander,” prajurit yang membopongku berusaha mengatur nafasnya.
“Apa kalian terluka?” tanya tangan kananku, Charles Bosch. Ia terdengar khawatir.
Dengan terburu-buru, prajurit muda itu menghabisi air secangkir penuh. Ia mengusap keringatnya, menyembunyikan nafasnya yang berat, dan mengiyakan pertanyaan Bosch.
Bosch menoleh kebalik bahunya, “panggilkan dokter untuk memeriksa Jenderal!” perintahnya langsung dituruti prajurit lain.
“Kumpulkan semua prajurit! Kita akan menyerang malam ini!” ucap Bosch.
“TUNGGU!” aku menghabiskan sisa nafas yang kupunya.
Aku menarik nafas panjang. Bosch dan prajurit lain menungguku memberi arahan, “Bosch, pergi dan bawalah beberapa prajurit. Cari tahu letak perkemahan mereka dan janganlah menyerang,” wajahku hanya berjarak beberapa senti darinya.
Aku tidak bisa mengambil resiko. Jika seluruh prajurit tahu tentang eksistensi Panglima, tidak hanya akan terjadi pertumpahan darah yang tak terelakkan, melainkan aku akan kehilangan kesempatan pensiun dan bertemu keluargaku. Lagi pula, aku punya rencana lain.
“Tapi, sir,” Bosch mengerutkan dahinya.
“JANGAN. MENYERANG. APA KAU PAHAM?” aku bersikeras yang disusul dengan anggukan Bosch.
Menjelang malam, aku telah sehat kembali. Lebih tepatnya karena aku memang tidak luka sedikitpun. Panglima hanya menyerang prajurit muda itu dan ia masih dirawat hingga saat ini. Nampaknya, racun dari sumpit itu membuatnya sulit berjalan. Aku akan memulangkannya ke Batavia besok. Prajurit sepertinya hanya akan merepotkanku. Aku bergegas menghampiri Bosch dan pasukannya. Sebelum mereka berangkat, aku ingin mengingatkan Bosch.
“Bagaimana kondisimu, sir?” tanya Bosch.
“Aku baik-baik saja, Bosch. Kemarilah,” aku merangkulnya untuk menjauh dari pasukan lain.
“Begini. Setibanya kau di sana, cari tahulah rencana mereka untuk menyembuhkan anak itu,” aku berbisik.
Bosch berusaha memahami yang didengarnya, “maaf, sir?” jawabnya.
“Ketika aku menghadapi para inlander itu, seorang anak dari mereka nampaknya sedang sakit. Lebih tepatnya, tak sadarkan diri. Dilihat dari gejalanya, aku yakin itu bukanlah penyakit biasa sehingga memerlukan lebih dari sekedar obat biasa. Tugasmu adalah untuk mencari tahu tentang obatnya dan beri tahu aku. Jika obat itu mampu menyembuhkan anak itu, obat itu mungkin dapat menghentikan wabah kolera,” tuturku.
Bosch mengerutkan dahinya. Kepatuhan merupakan hal yang kusuka darinya. Tanpa bertanya lebih banyak, “baik, sir,” Bosch kemudian berangkat bersama pasukannya.
Aku melanjutkan aktivitasku sebagai seorang Jenderal. Menandatangani beberapa surat, memberikan pidato singkat, menangani beberapa prajurit malas, hingga menuntut hasil Cultuurstelsel pada inlander. Mengingat tidak semua inlander memiliki sifat yang patuh, aku membawa beberapa prajurit untuk menemaniku. Para inlander ini selalu beralasan yang sama. Masalah cuaca, kelaparan, dan lain-lain menjadi alasan mereka yang tidak ingin membagi hasil jerih payahnya. Aku muak dan memenjarakan beberapa dari mereka. Selain itu, teruntuk inlander perempuan, aku hadiahkan bagi para prajurit.
Ketika malam telah larut, seorang prajurit mengetuk pintu kamarku, menyadarkanku yang terlelap. Aku bersumpah akan menurunkan pangkatnya. Ia mengatakan Bosch dan pasukannya telah kembali. Dengan rasa kantuk yang memudar, aku mengambil pelita dan bergegas menghampiri mereka di lapangan. Mereka terluka parah dan hanya sepertiga prajurit yang kembali. Dokter terlihat kerepotan membantu mereka. Luka yang mereka bawa pulang lebih mengerikan dari luka perang manapun yang pernah kulihat. Aku menduga Panglima terlibat dalam hal ini. Dengan spontan, aku mencari Bosch dengan cepat, namun tidak menemukannya. Prajurit seperti dirinya hanya akan tertimpa dua kemungkinan: mati di pertempuran atau tidak terluka sama sekali.
“Sir,” suara itu terdengar familiar.
Aku menoleh tak percaya. Penampilannya bersih bak prajurit di pagi hari. Rambutnya tersisir rapi dan mengkilap terkena cahaya pelitaku. Tak satupun luka atau debu mampir di tubuhnya. Aku yakin, ia pasti lebih memilih mengorbankan prajurit lain dan menyaksikannya dari jauh. Ia mengingatkanku ketika masih muda. Keparat sepertinya akan mudah mendapatkan jabatan di VOC. Sebelum aku sempat berbicara, ia memberiku salam hormat.
“Maaf, sir. Pengintaian kami terbongkar sehingga kami terpaksa melawan. Kami berhasil menghanguskan beberapa kemah tetapi kami juga kehilangan beberapa prajurit, sir,” Bosch melapor.
Aku tahu ia berbohong, tapi aku tidak mengacuhkannya. Ia bukanlah tipe prajurit yang suka melakukan pengintaian. Terlebih lagi, kebenciannya pada inlader kerap membuatnya lupa diri. Aku pernah menyaksikannya mengeksekusi inlader yang tak sengaja menumpahkan karung padi kami. Efesiensi dan kepatuhannya yang menjadikannya layak menjadi tangan kananku.
“Ada hal lain yang ingin kau sampaikan, Bosch?” aku menunggu informasi tentang anak itu.
Bosch terlihat ragu-ragu, “Kami sempat berhadapan dengan sosok aneh, sir. Ia bisa terbang dan...”
“…apa kau dapat informasi tentang anak itu?” aku muak mendengar basa-basinya. Lagi pula, aku tahu sosok yang dimaksudnya, tapi bukan itu tujuanku mengirim pasukan ke sana.
Bosch terkejut melihat reaksiku. Aku akui, untuk saat ini informasi tentang anak itu lebih berharga ketimbang sosok yang dimaksud Bosch atau nyawa para prajurit. Bosch sadar bahwa aku sebelumnya telah bertemu sosok Panglima.
“Ya, sir. Aku mendapatkan informasinya. Ayah anak itu, Taman, pergi mencari Pusaka Pembeliant yang dipercaya dapat menyembuhkan segala macam penyakit. Letaknya beberapa kilometer dari sini. Jika kita berangkat sekarang, kita bisa mencegah mereka, sir,” jelas Bosch.
“Bagus. Siapkan para prajurit. Mari kita ambil pusaka itu dan hentikan wabah kolera ini,” ujarku pada Bosch. Lebih tepatnya, sudah saatnya aku mendapatkan tiket pensiun itu.
Bersambung…
Cerpen ditulis oleh F. Sandro Asshary, Alumni Sastra Inggris, FIB 2018.