Sumber Gambar: Veronika Febby dari HMPKn FKIPÂ Unmul
SKETSA – Perempuan di Unmul kini kian menunjukkan perannya dalam berbagai posisi kepemimpinan. Meski peluang untuk menduduki jabatan strategis terbuka luas, bias budaya dan pandangan konservatif terhadap pemimpin perempuan disebut masih menjadi tantangan yang belum sepenuhnya hilang.
Wakil Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (BEM KM) Unmul periode 2023–2024, Veronika Febby Ola Deo, menilai kampus telah memberikan kesempatan yang setara bagi mahasiswa, tanpa membedakan gender. Ia menyoroti semakin banyaknya perempuan yang memegang jabatan penting baik di tingkat organisasi kemahasiswaan maupun di struktur kelembagaan kampus.
“Sekarang sudah banyak posisi strategis yang diisi perempuan. Artinya, kampus sudah memberikan ruang yang sama, baik untuk laki-laki maupun perempuan,” ujarnya melalui pesan suara, Senin (13/10).
Demikian, Veronika mengakui masih ada sebagian pihak yang memandang sebelah mata kemampuan perempuan dalam memimpin. Ia menyebut hal ini bukan disebabkan oleh kebijakan, melainkan cara pandang sebagian orang yang masih bias terhadap gender.
“Masih ada yang menilai pendapat perempuan tidak logis hanya karena yang berbicara itu perempuan. Jadi bukan isi pikirannya yang dilihat, tapi siapa yang mengatakannya,” ungkapnya.
Lebih lanjut, ia menyampaikan bahwa proses rekrutmen dan pemilihan pemimpin di Unmul kini semakin ramah terhadap isu gender. Namun, menurutnya, perubahan budaya tetap perlu diperkuat agar sikap setara tidak hanya berhenti di level kebijakan.
“Sekarang sudah jarang ada pertanyaan yang menyinggung hal pribadi atau gender dalam seleksi, tapi penerapannya kadang masih belum sepenuhnya setara,” jelasnya.
Ia kemudian mendorong perempuan agar tidak ragu mengambil peran dan membuktikan kemampuan mereka.
Sementara itu, Wakil Dekan Bidang Akademik FISIP Unmul, Rina Juwita, menilai secara struktural keterlibatan perempuan di Unmul sudah cukup tinggi. Ia menyebut, beberapa fakultas bahkan dipimpin oleh Dekan dan Wakil Dekan perempuan.
“Kalau bicara representasi, sebenarnya sudah banyak perempuan di jabatan strategis, tapi secara kultural, belum sepenuhnya setara. Masih ada stigma bahwa pemimpin harus laki-laki karena dianggap lebih rasional dan tegas,” ujarnya saat ditemui, Kamis (7/11).
Rina menambahkan, kultur organisasi yang masih dominan maskulin membuat perempuan harus berjuang lebih keras untuk menunjukkan kompetensinya.
“Kalau laki-laki bisa berlari tanpa beban, perempuan tetap harus berlari sambil membawa beban. Usaha yang dibutuhkan bisa dua kali lipat,” tuturnya.
Lebih lanjut, ia menjelaskan tidak ada kebijakan kampus yang secara eksplisit mengatur keterwakilan gender dalam jabatan tertentu. Menurutnya, posisi kepemimpinan di Unmul sepenuhnya ditentukan oleh kompetensi dan pengalaman, bukan jenis kelamin.
“Tidak ada aturan soal kuota perempuan. Semua punya kesempatan yang sama, tinggal bagaimana membuktikan kemampuan diri. Ini bukan soal gender, tapi soal kompetensi,” tegasnya.
Baik Veronika maupun Rina keduanya menegaskan, perempuan di Unmul telah membuktikan kapasitasnya dalam berbagai bidang. Namun, keduanya berharap perubahan pola pikir dan budaya akademik yang lebih setara bisa terus diperkuat, agar perempuan tidak lagi dinilai dari identitasnya, melainkan dari kontribusinya. (ela/mlt/myy)